03. Masakan Pertama
Dear Atlas
.
.
.
🌷🌷🌷
Kalau tetesan air saja bisa menghancurkan batu yang kuat, maka aku harap kesabaran ini bisa melembutkan hati kamu yang keras. Aku percaya bahwa cinta itu akan ada karena terbiasa bersama.
-Anindya Nazhira-
🌷🌷🌷
Setelah selesai memasak Anin akhirnya mengantarkan makan siang untuk suaminya. Menempuh perjalanan kurang lebih tiga puluh menit, akhirnya Anin sampai juga di kantor Atlas, ia memasuki gedung bertingkat itu sambil tersenyum membalas sapaan dari beberapa karyawan yang berpapasan dengannya.
Memasuki lift, perempuan itu sudah tak sabar memberi kejutan pada Atlas. Ia yakin suaminya itu pasti senang karena dibawakan makan siang sehingga tak perlu lagi keluar kantor.
Beberapa saat kemudian akhirnya Anin sampai di lantai 21. Ia sudah tahu di mana ruang kerja Atlas.
Sehingga membuatnya lebih gampang untuk mencari keberadaan sang suami.
Anin mendorong kenop pintu dan mendapati Atlas yang ada di ruangannya. Lelaki itu tengah menerima telepon. Tapi telepon dari siapa? Kenapa ia terlihat begitu bahagia ketika diajak berbicara oleh seseorang dari seberang sana?
"Sayang, udah dulu, ya. Nanti aku telfon lagi."
Kalimat sayang yang keluar dari mulut Atlas serasa membuat aliran darah dalam tubuh ya terhenti seketika. Siapakah orang yang Atlas panggil sayang barusan?
"Kamu ngapain di sini?"
"Aku, aku antar makanan buat, Mas."
"Lain kali nggak usah repot-repot. Aku bisa makan di luar. Lagian belum tentu juga aku mau masakan kamu, 'kan?"
"Mas kenapa bicara kayak gitu? Terus tadi siapa yang telfon Mas? Aku dengar Mas sebut dia dengan panggilan sayang."
Atlas tersenyum sarkas, sudah terlanjur ketahuan mau tidak mau ia pun harus bicara yang jujur. Lagi pula Atlas juga tidak peduli bagaimana dengan tanggapan Anin nantinya.
"Iya, dia pacar aku, Alina."
"Pacar? Mas masih berhubungan sama pacar, Mas? Mas kita udah menikah lho. Kamu nggak bisa terus-terusan selingkuh di belakang aku."
"Selingkuh? Tolong dijaga ucapan kamu. Aku tidak selingkuh, jelas-jelas aku menjalin hubungan lebih dulu dengan Alina ketimbang pernikahan kita. Aku jauh mengenal Alina lebih dulu dari pada aku mengenal kamu."
Anin meletakan rantang makanan yang ia bawa di atas meja kerja Atlas.
"Mas, mau dia pacar kamu tetap aja dia orang di masa lalu kamu. Lagipula dia juga yang ninggalin kamu, 'kan? Aku udah tau dari mama dan bisa-bisanya kamu maafin orang yang udah ninggalin kamu gitu aja?"
Terdengar helaan napas dari mulut Atlas. Lelaki itu memasukkan tangan ke dalam kantong celana dan mendekati Anin.
Anin memandang heran ke arah Atlas yang menatapnya dengan tatapan tak terbaca.
Perempuan itu mundur beberapa langkah untung menghindari tatapan Atlas yang menyeramkan.
"Dia punya alasan. Dan aku terima apa alasan dia pergi waktu itu. Lagipula aku sangat mencintai Alina, hubungan kamu sudah terjalin selama hampir delapan tahun, dia yang selalu memberi aku semangat. Bahkan ketika awal-awal aku merasa nggak bisa bekerja di perusahaan orang tua aku, dia yang selalu bikin aku yakin kalau aku bisa. Sekarang saat aku sudah menguasai segalanya, kamu yang menikmati itu semua? Oh, tentu saja itu tidak adil buat Alina."
"Terus kalau memang Mas masih mencintai dia, kenapa Mas mau menerima perjodohan kita?"
"Karena papa kamu adalah investor terbesar di perusahaan ini. Papa aku begitu terobsesi ingin perusahaan ini menjadi lebih besar lagi. Lagipula kemarin aku sempat putus asa karena Alina tak pernah muncul lagi. Tapi sekarang Alina kembali. Tentu hal itu bikin aku sangat bahagia. Sayangnya pernikahan kita sudah terlanjur dan aku gak bisa berbuat apa-apa."
"Maksudnya Mas tetap menjalankan pernikahan ini sekaligus untuk melanjutkan hubungan Mas sama Alina?"
Atlas menganggukkan kepala tanpa ragu.
"Bisa dibilang begitu, karena dengan adanya pernikahan kita, orang tua aku nggak bakal tahu kalau aku tetap menjalin hubungan dengan Alina."
"Kamu tega ngorbanin pernikahan kita?"
"Harus tega, karena Alina pun sudah rela mengorbankan aku untuk tetap menikah dengan kamu."
"Tapi ini salah, Mas!"
"Apa yang salah. Kita tinggal nikmati seperti yang udah berjalan. Tapi maaf, aku nggak bisa menjadi suami kamu seutuhnya. Kalau kamu mau bertahan bagus, kalau enggak, bilang sama orang tua kita kalau kamu minta pisah. Tapi jangan pernah sekali pun kamu bilang kalau Alina yang menjadi penyebab kita bercerai."
Anin menghirup udara sebanyak-banyaknya. Ia tak akan menangis di hadapan Atlas. Apa pun yang terjadi dia tidak boleh lemah. Atlas adalah miliknya sekarang, apa pun yang terjadi dia harus bisa membuat Atlas menerima pernikahan mereka dan mencintainya.
"Aku nggak akan minta cerai dari kamu, Mas. Aku bakal berusaha bikin kamu berubah pikiran dan memilih aku untuk kamu perjuangkan. Sekarang mending kamu makan dulu, tadi aku masak udang saos tiram kesukaan kamu."
Kening Atlas berkerut. Dari mana Anin tahu makanan kesukaan?
"Aku tahu dari mama, awalnya aku bingung mau masak apa. Akhirnya aku tanya ke mama Mas suka makanan apa. Dan mama bilang Mas suka sama udang saos tiram."
Atlas menatap heran kepada istrinya itu. Masa iya dia tidak sakit hati?
"Awas kalau makanannya nggak enak."
"Pasti enak kok, Mas. Mana mungkin aku bawain suami aku makanan yang nggak enak."
Atlas duduk di kursi sambil menatap makanan yang dihidangkan oleh Anin. Dari aromanya Atlas yakin rasanya pasti enak. Apalagi ini memang makanan kesukaannya ditambah sekarang perutnya dalam keadaan kosong.
"Mau ngapain?" tanya Atlas menghentikan tangan Anin mendekati mulutnya.
"Mau suapin, Mas."
"Nggak perlu. Aku punya tangan dan aku bisa makan sendiri."
Atlas mengambil sendok yang dipegang oleh Anin. Perempuan itu kembali mengembuskan napas resah. Tidak apa-apa, Atlas mau memakan masakannya saja itu sudah lebih dari cukup.
"Gimana? Enak?"
"Lumayan. Ini cuma karena aku lapar. Sebenarnya nggak begitu enak, tapi apa boleh buat. Dari pada mubazir." Kata Atlas santai, meski bukan itu jawaban sebenarnya. Karena pada kenyataan masakan Anin memang enak.
Ia tidak menyangka kalau perempuan yang ia nikahi pandai memasak.
"Mas nanti pulang jam berapa?"
"Kenapa memangnya?"
"Aku mau pulang sama, Mas."
"Jangan aneh-aneh. Aku masih ada meeting penting hari ini. Kamu bakal bosen nunggu aku."
"Enggak, malahan ini perintah mama. Katanya nanti pulang dari kantor kita ke rumah mama dan aku harus datang bareng, Mas."
Atlas memijit kepalanya. Padahal hari ini dia ada janji dengan Alina. Bagaimana ia bisa memperbaiki hubungannya dengan Alina jika hari pertama ingin menyenangkan sang kekasih ia malah akan membuat gadis itu kecewa.
"Kenapa? Mas kok kayak nggak senang?"
"Gimana mau senang. Kalau hari ini aku ada janji sama Alina. Lagipula mama ada urusan apa sih, kenapa harus suruh kita datang ke rumah."
"Ya aku juga gak tahu, Mas."
"Yaudahlah, nanti aku bisa ganti jam jalan sama Alina. Palingan nanti setelah kita pulang dari rumah mama aku bakal langsung jalan sama dia."
"Terus aku pulang gimana?"
"Aku bisa pesenin taksi buat kamu."
"Yaudah, terserah Mas Atlas aja."
🌷🌷🌷
"Atlas, kamu seharusnya hari ini nggak perlu masuk kerja lho. Kasihan Anin malah kamu tinggal gitu aja."
"Mama tahu sendiri aku ini gimana. Aku nggak bakal tenang kalau nggak kerja. Apalagi di perusahaan papa itu sendiri karena kak Arga belum balik. Mau nggak mau pekerjaan aku jadi duoble."
"Tapi sebetulnya papa bisa handle sendiri lho. Lagipula ada Aksel yang bantu papa di kantor."
"Tetap aja aku mau kerjain kerjaan aku. Lagipula aku nggak mengabaikan, Anin. Dia tadi datang ke kantor dan kita sempat makan berdua, iya, 'kan?"
Pandangan Atlas beralih pada Anin seakan meminta dukungan atas ucapannya barusan.
"Iya, Ma. Nggak apa-apa, kok. Lagian tadi pagi aku juga ngizinin mas Atlas buat ke kantor."
"Tuh, Mama sama Papa denger sendiri."
"Iya, tapi seharusnya kalian itu menghabiskan banyak waktu berdua. Biar semakin lebih dekat." Kata Indri.
"Kan udah tinggal berdua, jadi kedekatan itu pasti bakal terjadi dengan sendirinya."
"Anak kamu memang selalu ada aja jawabannya, Pa."
Irwan hanya terkekeh pelan. Tapi dia senang karena Atlas terlihat baik-baik saja dengan pernikahan itu. Pun dengan Anin, dia seperti ikut bahagia dengan pernikahan mereka.
Irwan pun yakin mereka pasti bisa saling mencintai nantinya.
"Tapi mama mau cucu secepatnya, kamu jangan pasang alat kontrasepsi ya, Nin."
Anin yang saat itu sedang minum pun langsung tersedak. Perempuan itu batuk beberapa kali karena terkejut.
"Eh, aduh, Anin. Kamu kaget ya?" tanya Indri panik.
"Mama apa-apaan coba. Gimana nggak kaget mama ngomongnya nggak difilter begitu." Gerutu Atlas kesal. Ia mengusap pundak Anin beberapa kali sambil memberikan tissu padanya.
"Ya mama khawatir aja, kan banyak tuh pasangan muda yang sekarang mau nunda punya anak dulu karena mau berduaan. Mama nggak mau kalian melakukan hal itu. Mama mau kamu sama Anin kasih mama cucu secepatnya. Mama mau dapat gantinya cucu Mama yang udah meninggal. Kamu tahu sendiri istri sama anak Arga meninggal dan itu masih bikin mama terpukul. Makanya biar mama terhibur kalian harus kasih cucu secepatnya."
"Iya. Nanti bakal aku usahakan. Aku sama Anin nggak pake begituan, mama tenang aja."
'Hamil? gimana aku mau hamil kalau Mas Atlas aja nggak cinta sama aku. Mana mungkin dia mau menyentuh aku sementara ada wanita lain di hatinya.'
"Bagus deh kalau begitu. Mama nggak mau tau, secepatnya kalian kasih mama cucu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top