02. Kewajiban untuk mencintai.

Seseorang pernah berkata. Jodoh sudah tercatat tak mungkin tersesat. Jodoh sudah tertakar tak mungkin tertukar, jodoh sudah terjamin tak mungkin diambil orang lain. Kalau dia tak ditakdirkan untuk kita, maka tak akan pernah menjadi milik kita, pun sebaliknya. Maka seperti itu pula Anindya Nazhira mendedikasikan jodoh masa depannya. Semuanya ia serahkan sesuai ketentuan Allah.
.
.
.

Anindya Nazhira tak menyangka bahwa dia menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya. Sebagai bentuk baktinya kepada orang tua, Anin bersedia menjalankan pernikahan dengan lelaki yang belum ia kenal sebelumnya.

Jujur, awalnya Anin ragu untuk menjalankan pernikahan ini. Namun berkat keyakinan yang muncul dalam hatinya membuat seorang Anin bersedia mengambil keputusan besar dalam hidupnya.

Anin keluar dari dalam kamar mandi dan mendapati Atlas---Suaminya---sudah berbaring di atas tempat tidur.

Anin mengembuskan napas lega. Suaminya itu pasti lelah sekali setelah seharian mengikuti serangkaian acara resepsi pernikahan.

Anin melangkah mendekati Atlas dan duduk dipinggiran ranjang. Dengan ragu-ragu Anin menyentuh bahu lelaki itu dan menggoyangkan tubuhnya secara perlahan.

"Mas, kamu nggak mau mandi dulu?"

Atlas yang belum sepenuhnya masuk ke alam mimpi pun kembali membuka mata. Dua bola mata lelaki itu mendelik dan kembali menarik selimutnya.

"Aku capek. Malas kalau harus mandi lagi. Mending kamu juga tidur, jangan bikin keributan."

Anin tersenyum tipis, tak lama dia pun ikut membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur.

Satu jam telah berlalu, Anin tak kunjung menutup matanya. Ia mengubah posisi tidurnya untuk miring ke arah kanan. Ujung bibir perempuan itu tertarik ke samping hingga membentuk lengkungan manis.

Untuk pertama kalinya Anin melihat seorang lelaki begitu dekat dengannya dalam posisi tidur seperti ini. Anin berjanji akan menghormati lelaki yang sudah menjadi suaminya ini.

Dengan kesadaran penuh ia mengucapkan bahwa ia akan terus mencintai Atlas dan berusaha untuk menjadi istri yang baik.

Tangan Anin terangkat dan menyentuh pipi Atlas dengan lembut. Ucapan lelaki itu yang mengatakan bahwa ia lelah, benar adanya. Terbukti saat ia tidak terganggu sama sekali saat Anin menyentuhnya.

"Mas, kewajiban aku sekarang adalah mencintai lelaki yang sudah menikahi aku. Aku harap kamu pun begitu. Bersedia mencintai aku dan sama-sama membangun rumah tangga ini."

Lirih Anin pelan. Ia pun ikut memejamkan mata dengan tangan yang masih menempel di pipi Atlas.

🌷🌷🌷

Cahaya matahari memasuki celah-celah jendela kamar membuat silau kedua mata Anin. Perempuan itu mengerjapkan mata beberapa kali dan meraba kasur bagian samping.

Kosong?

Lekas Anin membuka mata dan melihat Atlas yang duduk di atas sofa sambil mengenakan sepatu.

"Mas, udah bangun?"

"Kamu lihatnya gimana?"

Anin tersenyum kaku dan menggaruk kepala yang tak gatal.

"Mas mau ke mana? Kok udah rapi?"

"Mau ke kantor."

"Lho, udah masuk? Bukannya seharusnya Mas libur?"

"Kenapa harus libur kalau kemarin sudah libur?"

"Tapi, Mas. Kita baru menikah kemarin lho. Masa hari ini langsung masuk?"

"Anin. Aku harus tetap kerja karena kalau aku nggak masuk ke kantor bikin aku pusing. Jadi tolong jangan banyak bicara karena aku nggak suka."

"Yaudah, aku minta maaf kalau aku udah bikin Mas Atlas nggak nyaman. Mas mau dibikinin sarapan? Biar aku masak dulu."

Atlas melirik jam dinding dan diikuti oleh Anin. Jam sudah menunjukkan pukul delapan.

"Kamu lihat udah jam berapa? Kalau aku tungguin kamu masak, aku bisa telat."

"Tapi, Mas..."

Belum sempat Anin melanjutkan ucapannya Atlas malah berlalu begitu saja.

"Aduh Anin. Kenapa kamu malah kesiangan sih, kalau begini pasti suami kamu marah." Anin malah merutuki dirinya sendiri.

"Nggak, aku nggak boleh diem aja. Aku harus masak dan antarin makanan buat Mas Atlas ke kantor."

Anin buru-buru mengikat rambut dan ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Setelah itu ia langsung turun ke bawah dan memasak makanan seadanya untuk Atlas.

🌷🌷🌷

Air mata Alina tak berhenti mengalir tatkala jasad sang adik hilang ditimbun tanah. Satu-satunya orang yang selalu ia perjuangkan agar tetap hidup kini sudah tiada.

Karena tak sanggup lagi menahan beban yang menyesakkan dada, Alina menjatuhkan tubuhnya di atas tanah.

Beberapa kali ia memanggil nama Keanu dengan suara bergetar.

"Adik gue, Bec. Adik gue udah nggak ada." Lirih Alina sesak. Becca, sang sahabat yang ada di sampingnya pun hanya bisa memeluk Alina dan berusaha untuk menenangkannya perempuan itu.

"Lo harus ikhlasin Keanu, Al. Sekarang dia udah nggak ngerasain sakit lagi."

"Tapi sekarang gue udah nggak punya siapa-siapa lagi. Gue sendiri, Bec. Gue sendiri."

"Lo lupa? Lo masih punya gue. Gue ini sahabat lo, Al. Orang yang akan selalu ada di samping lo seburuk apa pun kondisi lo."

Alina menatap Becca, detik selanjutnya perempuan itu langsung memeluk Becca erat.

Benar kata Becca. Ia tak hanya sendiri di dunia ini. Setidaknya sekarang ia masih punya teman baik seperti Becca. Orang yang akan selalu menjadi rumah untuk dia pulang.

Sekarang Alina harus memulai kehidupan barunya lagi. Menata segala kepingan-kepingan hidup yang sudah hancur berantakan.

"Ingat, hidup lo masih panjang, jangan putus asa, Al."

"Makasih ya, makasih kamu selalu nguatin aku. Aku benar-benar beruntung punya sahabat seperti kamu."

"Itu gunanya sahabat. Gue bakal nguatin lo saat lo rapuh. Pun sebaliknya, lo juga harus jadi penguat jika suatu saat nanti gue rapuh."

Alina menganggukkan kepala dan mengusap sisa air mata yang ada di pipinya.

Setelah acara proses pemakaman selesai, Alina dan Becca pun kembali ke kontrakan mereka.

"Lo masih berhubungan sama Atlas?"

"Kenapa tiba-tiba lo nanya begitu?"

"Nggak apa-apa. Gue tiba-tiba kepikiran aja."

"Gue nggak berani dekatin Atlas karena ancaman orang tuanya waktu itu."

"Terus lo udah bisa lupain Atlas?"

"Mana bisa, Bec. Mana mungkin gue lupain Atlas gitu aja."

"Terus calon suami lo gimana?"

"Gue mutusin buat membatalkan semuanya. Toh dia juga belum jadi membiayai pengobatan Keanu, kan."

"Gila. Parah sih lo. Tega mainin dia."

"Bukan begitu. Gue pikir juga gak mungkin gue menikah sama orang yang gak gue cintai, Bec. Seumur hidup itu terlalu lama kalau bukan sama orang yang kita cintai."

"Iya juga, sih. Tapi semua sih terserah lo, Al. Gue juga gak bisa maksa buat lo tetap lanjutkan pernikahan itu. Terus sekarang Lo mau gimana?"

"Mungkin aku bakal nemuin Atlas."

"Demi apa?"

Alina mengangkat kedua bahunya.

"Lo mau lawan orang tuanya?"

"Maybe. Apalagi yang harus gue takutin kan?"

"Iya juga sih."

"Lo kenapa?"

"Kenapa apanya?"

"Kayak gak senang."

"Maksud Lo?"

"Hahaha becanda gue, serius banget muka Lo, Bec. Gue tahu kok Lo nggak mungkin cinta lagi kan sama Atlas."

"Halah, bikin kaget aja lo. Enggak lah, itu kan dulu, pas masih SMA. Masih cinta monyet itu."

"Hahah, sorry, sorry."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top