Chapter 8 ~ Helaan Napas
Mengalahmu bukan berarti kau tak mampu.
Kau menghindar, bukan berarti lari dari kenyataan.
Dan saat kau pergi, bukan berarti kau ingin sendiri.
Karena nyatanya, ada banyak hati yang harus kau jaga, supaya tak tersakiti.
(Birendra Sadhana)
🍁🍁🍁
Semalam, Ganesh menyusul Birendra ke kamarnya. Sang adik tidak kembali setelah pamit untuk merapikan barang bawaan kakaknya itu.
"Bi, makan malam sudah siap," ujar Ganesh saat memasuki kamar adiknya.
Birendra menoleh lantas mengembalikan pandangan pada laptop di hadapannya. "Bi masih kenyang, Mas. Kalian lanjut saja makan malam. Ayah dan mama tidak akan kesepian karena Zio sudah menemani mereka."
"Yakin sudah kenyang?" Ganesh mencoba mengalihkan pembicaraan, karena dia paham adiknya itu memendam rasa iri pada Zio. "Nanti magnya kambuh kalo telat diisi," bujuknya sekali lagi.
"Nggak akan, Mas. Tadi sebelum pulang Bang Radit ngajak makan bakso. Mm ..., sekalian sampaikan pada ayah, Bi sudah dapat pekerjaan, jadi editor lepas. Sebenarnya sudah sejak tiga minggu kemarin, sih! Kalau ditanya kenapa baru bilang, ya karena mulai malam ini sampai beberapa minggu ke depan sudah banyak naskah masuk untuk Bi kerjakan."
Ganesh hanya mengangguk, diam-diam dia bangga pada kegigihan adiknya ini untuk mandiri. Berbeda dengan dirinya, ketika baru menyandang gelar sarjana sudah menuruti kemauan ayahnya. Sehingga tak banyak kesulitan yang dia hadapi.
"Ok, nanti Mas sampaikan! Jangan terlalu lelah. Tubuhmu juga butuh istirahat. Nanti biar Mas minta mama untuk membawa kudapan sebagai teman bekerja."
"Nggak usah, Mas! Bi masih punya keju slice." Birendra mengangkat bungkus biru dan menunjukkan pada kakaknya.
"Dasar! Penggila keju."
"Bukan, Mas, aku penggila susu! Eh ..., olahan susu maksudnya. Nggak usah nggeplak juga kali, Mas, sakit! Keluar gih dari kamarku!" gerutu Birendra saat jitakan sang kakak itu mendarat di kepalanya.
"Hm ..., Mas bakal keluar dari sini, tapi jawab dulu pertanyaan dari Mas Ganesh dengan cepat!"
"Apa?"
"Bi, awan, warna?"
"Putih!"
"Kertas, warna?"
"Putih!"
"Kapas, warna?"
"Putih!"
"Pocong, warna?"
"Putih, lah!"
"Kalo sapi minum?"
"Susu!"
"Bego! Sapi minum air, dodol!" Ganesh melenggang pergi dan meninggalkan Birendra berpikir keras.
Birendra masih mencerna apa yang diucapkan kakaknya, seketika dia menepuk jidatnya sendiri. "Bayi sapi bener minum susu, kalo sapi dewasa minumnya air! Iya 'kan, Mas? Anak bungsu keluarga Wardhana itu menoleh ke arah kakaknya.
"Lah, kapan perginya? Kek jelangkung aja sih, Mas?"
🍁🍁🍁
Pagi ini Birendra menuruni tangga dengan tergesa. Dia bergegas menuju ruang makan dan tidak menemukan mamanya di sana. Biasanya sang mama akan berkutat di meja makan, tetapi kali ini tidak ada.
"Ma? Bi mau berangkat ke sekolah! Ma ..., Mama?"
Mamanya menuruni tangga dengan terburu-buru dan segera menghampiri Birendra di meja makan.
"Mau sarapan dulu, Nak? Mama ambilkan roti, ya?"
"Bi bakal telat kalau masih sarapan, bekalnya saja, Ma. Biar Bi makan sesampainnya di sekolah."
"Be-bekal? Aduh! Maaf, Bi, Mama lupa! Zio hari ini masuk kampus baru. Jadi Mama bantu siapin beberapa berkas yang harus dibawa. Maafkan Mama, Bi!"
Birendra hanya mengangguk dan menghela napas. Lupakah mamanya bahwa semalam dia sudah tidak ikut makan malam? Dan pagi ini untuk pertama kalinya sang mama melupakan bekal yang biasa dibuat untuknya.
"Mama masih stok keju slice, nggak? Bi bawa itu saja!" ujarnya dengan bahu yang merosot.
Mamanya bergegas ke arah lemari gantung, mengambil bungkus biru dari dalam sana dan menyerahkannya pada putra bungsunya itu.
"Makasih, Ma. Bi berangkat! Asalamualaikum."
"Wa alaikum salam .... Bi Mama minta maaf ya, Nak!" Ucapan itu hanya dibalas dengan aggukan dari Birendra.
Birendra mengendarai motornya dengan perlahan. Dia tahu jika rasa kesal dan kecewanya dituruti akan berdampak pada pikirannya. Guru muda itu akhirnya mencoba meredam kesalnya dan memaklumi jika mamanya lupa membuatkan bekal. Toh, ini baru yang pertama. Itu pun sudah bisa dipastikan karena Zio yang merengek pada sang mama.
Sesampainya di sekolah, Birendra melihat ada mobil box besar yang terparkir di area sekolah. Ada Pak Tjah dan beberapa orang bagian caraka atau peseruh sekolah yang berdiri di belakang mobil tersebut.
Setelah memarkir motornya di tempat parkir khusus guru, Birendra menghampiri sang kepala sekolah dan meminta maaf atas keterlambatannya. Pak Tjah hanya mengangguk dan fokus pada kegiatan bongkar muatan isi mobil box itu.
Birendra yang merasa keberadaannya sudah tak dibutuhkan,akhirnya melangkahkan kaki untuk menujut ruang guru. Belum ada se-meter dia pergi, kepala sekolah memanggilnya.
"Tunggu, Mas! Mas Birendra, ada jam hari ini?"
"Ada, Pak! Tapi masih nanti setelah jam istirahat ke dua, ada apa?"
"Baguslah, ini minta tolong bantu Pak Parmin untuk bawa buku-buku ini ke perpustakaan. Sekalian nanti bantu Bu Lystia untuk mendatanya, karena petugas perpus hari ini hanya dia, kasihan kalau tidak ada yang membantu."
Birendra hanya mengangguk dan mengambil kardus lain yang tidak dibawa oleh Pak Parmin. Niat hatinya untuk menikmati keju sebagai sarapan, sirna sudah. Birendra berjalan perlahan sembari membawa kardus dalam pelukannya. Berat, tetapi itu adalah amanah kepala sekolah, jadi harus dia laksanakan.
Memasuki perpustakaan, Birendra disambut oleh penunggu setia ruangan itu. Kali ini pikirannya sudah benar, bukan penunggu yang lain, tetapi penunggu asli, manusia tulen. Lystia menyambutnya dan membantu memegangi kardus yang akan Birendra turunkan.
"Makasih, Pak Birendra, Pak Parmin, taruh di situ saja, nanti saya yang bongkar sendiri." Pak Parmin langsung undur diri setelah meletakkan kardus tersebut.
"Bu, Pak Tjah meminta saya untuk membantu Bu Lilis mendata buku-buku ini," sela Birendra.
Daripada memanggil Lystia, guru muda itu lebih suka mengikuti cara Radit ketika memanggil namanya. Menurut Birendra, Lilis itu panggilannya terkesan lebih manis.
"Alhamdulillah, dapat bala bantuan. Pak Tjah emang selalu peka. Hm ..., memangnya Pak Birendra nggak ada jam ngajar?"
"Ada, tapi masih nanti." Birendra menjawab sambil mengeluarkan beberapa buku dari kardus. "Bu, ini mau ditata sebelah mana?"
"Oh ..., ditata di meja saja, Pak, setelah ini masih mau saya masukkan data dulu banyak dan jenis bukunya. Baru kemudian dilabeli."
"Siap, Bu! Laksanakan!"
Saat sedang membawa tumpukan buku ketiga, Birendra merasa perutnya tak enak. Perih dan panas menyerang ulu hatinya dengan amat sadis. Nyeri kemudian mual juga mulai dia rasakan. Bulir keringat sudah mulai membasahi keningnya. Tak ketinggalan kernyitan di dahinya sangat kentara saat sakit kembali menghajar perutnya.
Tumpukan buku ketiga dalam pelukannya berhasil diletakkan dengan selamat. Namun, perutnya tidak selamat. Sakit datang dan menghajar tanpa ampun. Dia menyangga tubuhnya yang limbung dengan berpegang pada meja. Setelah itu berusaha menarik sebuah kursi untuk dia duduki.
Birendra duduk dan membukukkan tubuhnya dalam-dalam. Berharap dengan posisi seperti itu rasa sakitnya sedikit berkurang. Lystia yang saat itu masih fokus mencatat beberapa buku di meja depan menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, karena tidak mendapati Birendra mengambil tumpukan buku keempat.
Lystia berjalan ke belakang lemari tempat tumpukan buku lainnya berada. Dia kaget saat mendapati Birendra meringis dan membungkukkan tubuhnya.
"Ya ampun! Pak ..., Pak Birendra kenapa? Sakit?" cemas Lystia sambil menepuk bahu Birendra
Merasa terpanggil, Birendra mengangkat kepalanya dan tersenyum kecut sambil mengangkat jempolnya.
"Pak, saya tanya Bapak kenapa? Kok malah dikasih jempol? Mana yang sakit? Ke UKS saja, ya? Atau mau istirahat di musola perpus? Saya panggil Pak Radit ya?" Lystia akan melangkahkan kakinya, tetapi terhenti karena cekalan tangan Birendra.
"Saya baik-baik saja!"
"Kalo baik-baik itu bukan seperti ini, Bapak! Kalo seperti ini namanya kenapa-kenapa! Sudah sarapan belum? Bapak biasa sarapan?"
Birendra berusaha menegakkan tubuhnya secara perlahan. Begitu punggungnya lurus, nyeri di perutnya kembali menyerang. Dia mencoba bertahan dan hanya meringis sambil memejamkan matanya.
"Bu Lilis kalau tanya satu-satu, saya pusing, Bu. Saya belum sarapan, makanya begini," jelas Birendra sambil berusaha mengatur napasnya.
"Saya ke kantin sebentar, Pak, sarapan bubur, mau? Lah, kalau saya pergi yang jaga Bapak, siapa?" Lystia kebingungan.
Di saat yang bersamaan, Lystia mendengar salam dari dua orang siswa yang. Setelah menjawabnya, perempuan manis itu bergegas menarik kedua anak yang baru saja datang ke hadapan Birendra.
"Kalian di sini dulu, Bu Lysti masih mau ke kantin. Minta tolong jagakan Pak Birendra dulu, ya! Bapaknya lagi sakit ini." Kedua anak laki-laki itu mengangguk paham
"Bu, nggak usah, saya bisa pergi sen ...." Ucapan Birendra seperti tertelan angin karena Lystia sudah pergi.
"Kalian mau apa? Ssh ..., Mr. Bi mau minta tolong, bisa?" Lagi-lagi hanya anggukan yang menjawab.
"Minta tolong belikan susu sapi yang kalengnya gambar beruang tapi diiklan muncul naga!"
"Ha ...?" kompak keduanya.
"Susu beruang!"
"Oooh ...! Terus Mr. Bi sama siapa di sini? Bukannya kita diminta buat jagain Mr. Bi?" tanya siswa yang berkacamata.
"Pergi saja berdua, Mr. Bi juga nggak bakal hilang, kok!" tukas Birendra sambil memberikan uang pecahan dua puluh ribu rupiah.
Kedua siswa tersebut pergi meninggalkan Birendra sendirian. Kesempatan baginya untuk menenangkan denyutan di kepala yang selalu berdentum kala lambungnya berulah seperti saat ini. Kompak sekali, lambung berulah, kepalanya juga ikutan berulah.
Sebenarnya, Birendra lebih suka mendahului minum susu beruang saat perutnya bermasalah. Namun, jika dia juga meminta Lystia untuk membelikannya, akan sangat melelahkan untuk penjaga perpus itu. Kantin letaknya di area belakang, sedangkan mini market yang disediakan pihak sekolah berada di halaman depan, dekat gerbang.
Akhirnya Lystia dan kedua siswa tadi datang hampir bersamaan. Setelah siswa tersebut memberikan susu beruang pesanan Birendra, mereka segera meminta Lystia untuk mencarikan buku referensi pesanan dari guru Sejarah Indonesia. Lalu, keduanya beranjak pergi setelah mendapat apa yang diperlukan.
"Pak Birendra, ini bubur ayam, tapi tanpa ayam dan kawan-kawan. Saya lebih khawatir kalo buburnya pake macam-macam malah bikin tambah sakit. Apalagi kuah santannya. Jadi saya hanya beli buburnya saja."
"Bakal hambar ini, Bu! Terima kasih, Bu Lilis! Gak apa-apa bubur hambar, daripada jatuh cinta tapi bertepuk sebelah tangan, itu jauh lebih hambar, iya 'kan, Bu?"
"Hm? Kenapa pak?"
"Nggak apa-apa Bu, saya mau makan dulu!"
Birendra lantas membuka kaleng susu beruang, menengguknya sedikit lalu menuang sisanya ke dalam mangkuk sekali pakai yang berisi bubur itu. Tak lupa dia menyertakan keju, bekalnya dari rumah.
Lystia menoleh dan memandang tak percaya pada apa yang Birendra lakukan. Bubur tawar, berkuah susu beruang dengan topping keju slice.
"Pak, bukannya olahan susu tidak dianjurkan untuk lambung yang bermasalah?"
"Kalau saya makan yang polosan, belum lima belas menit pasti akan keluar lagi, sayang buburnya, mending begini."
Lystia menggelengkan kepalanya. Baru kali ini dia melihat cara makan yang lain dari biasanya. Aneh.
🍁🍁🍁
Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca kisah Birendra.
Tetap setia sama Bi hingga akhir, ya!
Jangan lupa untuk vote dan komen. 😉😉
Selamat Hari Bumi, 22 April 2020
ONE DAY ONE CHAPTER
#DAY8
Bondowoso, 22 April 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top