Chapter 6 ~ Editor Lepas?

Jangan pernah berhenti, teruskanlah.
Jangan pernah menyesali, jalanilah.
Selesaikanlah segala apa yang kau mulai.
Jika kau sudah memulai, maka kau juga yang harusnya mengakhiri.
Ingatlah, tak ada rasa sesal yang muncul di awal.
(Birendra Sadhana)

🍁🍁🍁

Kembali, malamnya terusik. Bayang-bayang pekerjaan kedua terus menari-nari dalam benaknya. Membuatnya terjaga semalam suntuk. Begitulah Birendra jika memiliki beban pikiran yang berlebih. Matanya akan sulit terpejam hingga dini hari. Kalaupun terpejam percuma saja, mimpi buruk akan menemani.

Jika saat mencari lowongan kemarin dia masih bisa tidur selama dua jam, kali ini sama sekali dia tak dapat memejamkan matanya. Hingga azan Subuh berkumandang dan ketukan lembut sang mama pada daun pintu kamarnya itu terdengar.

Bukan hanya mengetuk pelan, sang mama justru membuka dan masuk ke kamar Birendra. Dia melihat dari celah pintu cahaya lampu kamar menerobos celah bawah pintu. Tak seperti biasanya, karena Birendra lebih suka tidur dalam keadaan gelap.

Ajeng menghampiri Birendra yang sedang duduk membelakangi pintu. Laptop di hadapannya menyala. Beberapa buku berserakan di mejanya. Buku-buku pelajaran juga menemani malamnya.

"Bi ..., kok sudah ada di meja belajar, Nak?" ujar sang mama dengan usapan lembut di kepala Birendra.

Birendra menoleh dan tersenyum kepada wanita yang sudah melahirkannya itu. "Bi nggak bisa tidur, Ma. Besok mengajar di jam pertama. Bi harus persiapkan media pembelajaran terlebih dahulu."

"Bukan karena memikirkan yang semalam 'kan?"

Birendra hanya menggelengkan kepala dengan pelan dengan senyum yang tak pernah pudar dari bibirnya. Padahal, jauh di dalam pikiran dia memang memikirkan tentang pekerjaannya yang baru. Namun, dia tak ingin membuat mamanya itu turut terbebani karenanya.

"Manisnya anak Mama," ujar Ajeng sambil mencubit pipi putra bungsunya itu.

"Mama buruan turun, bisa habis nanti pipi Bi dicubitin terus sama Mama. Lagian itu bayi besar Mama sudah bangun? Nanti dicari, loh!"

"Tenang saja, Bi. Bayi besar Mama sudah anteng, pas dibangunin tadi langsung bangun dan bersiap mau ke masjid. Tinggal bayi kecil Mama ini yang belum apa-apa," jawab sang mama sambil mengapit kedua pipi Birendra dengan tangannya.

🍁🍁🍁

Mobil di hadapannya sudah lebih dulu memasuki pekarangan rumah berpagar coklat itu. Birendra mengekori, dan segera turun dari motor setelah sang pemilik mobil memintanya untuk mendekat. Birendra pun mendekat, rangkulan dari pemilik mobil menyambutnya dengan hangat.

"Bang, nggak usah peluk-peluk! Ntar orang pikir kita homo!"

"Mulutmu, Bi! Mau di sekolahin lagi?" ujar Radit sebal.

Mereka berdua memasuki ruang tamu, embusan udara dingin menyapa membuat sedikit bergidik karena perbedaan suhu yang sangat kentara.

"Bunda ..., ada tamu!" panggil Radit begitu memasuki rumahnya.

"Kebiasaan deh, Nak. Masuk rumah, salam dulu, bukan teriak. Jadi Pak Guru kok sering lupa? Ketahuan muridnya baru tahu rasa!" ucap Karina-Bunda Radit.

"Loh, ini Birendra 'kan? Sini, Bunda kangen sama kamu!" Karina merentangkan tangannya guna merengkuh Birendra dalam pelukannya.

Birendra membalas pelukan hangat yang sama sekali tak pernah berubah. Dia akan selalu di terima oleh Radit dan keluarganya. Entah mengapa, Karina begitu sayang kepada Birendra. Radit yang terlahir sebagai anak tunggal memang sangat akrab dengan Birendra dan Ganesh.

Dulu, mereka bersebelahan, sehingga bisa menghabiskan sore bersama. Bahkan jika Karina menyuapi Radit, tak segan Ganesh dan Birendra akan bergabung untuk makan bersama sambil bermain.

Perihal hari ini Birendra datang kembali ke rumah Radit, dia ingin menginap. Pikirannya sudah sangat buntu kali ini. Sehingga, sebelum berangkat ke sekolah, dia berpamitan kepada sang mama untuk berkunjung dan bermalam di rumah Radit.

Mamanya tak memberikan izin karena hari itu juga Ganesh sudah berangkat ke luar kota selama tiga Minggu ke depan. Jika Birendra menginap di rumah Radit, maka rumah akan terasa sepi. Namun, setelah menampilkan wajah manis dan jurus rayuan maut, mamanya luluh dan mengangguk setuju dengan permintaan Birendra.

🍁🍁🍁

"Hah!" Helaan napas berat terdengar dari mulut Birendra.

"Jangan terlalu banyak menghela napas, katanya kalo sering menghela napas maka satu nikmatnya sudah tercabut, banyakin istigfar!" Ucapan Radit hanya dibalas dengan lirikan oleh Birendra.

"Bang, cariin kerjaan lagi! Tapi yang nggak ganggu jam sekolah.

"Ngajar aja nggak cukupkah? Sekolah kita itu full day school, mau jam berapa kamu kerjanya? Belum apa-apa bisa tepar kamu, Bi!"

"Ya makanya jangan carikan yang bersamaan dengan jam ngajar, Bang, biarlah siang sampai sore aku ngajar. Malamnya aku kerja!"

"Semiskin itukah ayahmu, Bi. Sampai anaknya diminta double kerja?"

"Lambemu, Bang! Bukan salah ayah, salahku yang nantangin ayah! Ayah itu nggak setuju aku jadi guru, tapi aku maksa. Sebenarnya ayah sudah siapkan satu posisi di perusahaannya. Cuma, aku kepikiran sama keinginan kakek. Ya, beginilah akhirnya."

"Emang, akhirnya gimana?" tanya Radit keheranan.

"Ya gini ini, dah. Karena aku bebal, ayah cabut subsidi materi, terus aku juga diminta cari kerjaan yang sekiranya bisa memenuhi kebutuhanku sendiri."

"Lah, kalo subsidi materi dicabut, motor kok masih dipake, Bi?"

"Bang, itu bukan materi, itu properti! Eh, sarana transportasi, deng! Materi itu yang kaitannya sama duit, segala macam ATM sama kartu kredit sudah aku kasih ke ayah."

"Ayahmu sadis, Bi!"

Birendra melemparkan bantal yang sedang dipakainya kearah Radit yang sedang memainkan ponselnya.

"Ayah itu tegas, Bang! Supaya aku itu bertanggungjawab dengan segala keputusan yang sudah aku ambil."

"Ketemu!" lonjak Radit sambil menyodorkan ponsel pintarnya ke hadapan Birendra.

Sebuah banner terpampang di ponsel Radit. Lowongan mengenai editor lepas.

"Editor lepas? Lah, aku lulusan sastra Inggris, Bang!"

"Baca dulu! itu untuk S1 Sastra semua jurusan! Lagian kamu itu hobinya nulis, paling tidak sudah paham dengan dunia kepenulisan, tentang tetek-bengeknya dunia menulis. Coba saja dulu! Lagian itu masih ada proses seleksinya 'kan? Kalau beruntung, ya Alhamdulillah. Kalau nggak, ya Innalillah, kita cari lagi!"

"Duh! Kemarin pas PDP sengsara banget sampe mikir bakal lama jadi ODP! Sekalinya kerja, langsung double job! Paringi sehat, ya Allah!"

"Amin! Eh, ODP sama PDP apaan?"

"Masa nggak paham, Bang! PDP itu positif dhadi pengangguran. Kalau ODP itu ora dhuwe penghasilan, paham?"

"Bocah saiki ancene ono-ono wae!" balas Radit menggunakan bahasa ibunya.

Birendra juga ikut tertawa sembari menikmati mozzarella stick, cemilan yang diberikan oleh Karina setelah makan malam. Ternyata Karina tak pernah lupa pada kesukaan nya. Bahkan, tak lupa, segelas susu hangat juga mendampingi cemilan khusus untuk Birendra.

🍁🍁🍁

Setelah semalam mendapat pencerahan, Sabtu pagi Birendra bergegas pulang untuk melanjutkan pendaftarannya untuk menjadi editor lepas di Orinami Publisher. Ternyata, ketika mendaftar, Birendra adalah orang terakhir yang masuk. Karena setelahnya, dengan alasan kuota sudah terpenuhi maka pendaftaran ditutup.

Ada beberapa tahapan yang perlu dilewati oleh Birendra. Dua diantaranya yaitu interview online melalui telekonferensi dan tantangan tugas tentang kepenulisan. Pihak publisher tidak ingin menyulitkan para pendaftar yang berasal dari beberapa daerah, bahkan dari kepulauan lain. Sehingga telekonferensi adalah jalan yang dipilih untuk mengenal calon pegawainya itu.

Birendra yang sebenarnya hobi menulis menyelesaikan semua tantangan. Dia memberikan yang terbaik, tidak ada main-main kali ini. Tekadnya sangatlah kuat. Tinggal melihat bagaimana Tuhan menetapkan takdirnya kali ini.

Lelaki itu menunggu dengan sabar detik pengumuman yang akan diumumkan pukul 20.00 WIB. Dengan santai dia duduk di ruang tamu, tanpa mama dan ayahnya. Karena mereka berdua sedang menghadiri acara pernikahan putri dari salah satu relasi sang ayah.

Tepat pukul delapan malam, sesuai dengan pesan Orinami Publisher, yang lolos menjadi editor adalah dia yang menerima pesan melalui e-mail. Birendra membelalakkan matanya tak percaya. Sebuah pesan e-mail masuk ke kotak pesan. Isi pesan itu membuatnya terpana, hingga bersorak bahagia.

Birendra menjadi satu diantara tiga peserta yang lolos seleksi dan diterima menjadi editor lepas untuk Orinami Publisher. Berkali-kali ucapan hamdalah dia ucapkan. Dia masih tak percaya dengan apa yang dia lihat.

Dia teringat pada ucapan Radit semalam, dengan yakin abangnya itu berkata bahwa Birendra adalah orang pilihan yang beruntung. Semua orang bisa mencapai apa yang mereka inginkan. Namun, Birendra seperti orang beruntung yang sekali mencoba langsung mendapatkannya. Orang lain bisa meniru Birendra, tapi tidak bisa untuk meniru keberuntungannya. Ya, kata Radit, Birendra itu orang bejho!

Kebahagiaan Birendra terjeda ketika mendengar suara pintu terbuka dengan kasar. Kemudian sesosok laki-laki yang lebih muda darinya muncul dengan senyuman lebar sembari merentangkan tangan.

"Asalamualikum, Mama Ajeng, Ayah Yudis! Anak bungsumu datang!"

Birendra menatap sang pemilik suara dan membatu di tempatnya berdiri

"Zi-Zio? K-kamu ngapain? Kok di sini?" Birendra tergagap.

🍁🍁🍁

Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca kisah Birendra.
Tetap setia sama Bi hingga akhir, ya!
Jangan lupa untuk vote dan komen. 😉😉

Terima kasih tak terkira untuk Neng Lilissuryani22 yang sudah mengizinkan Orinami Publisher nampang di sini. 😘😘

ONE DAY ONE CHAPTER
#DAY6
Bondowoso, 20 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top