Chapter 10 ~ Lelah
Jika lelah, katakan lelah.
Jangan mencoba bertahan, lantas kalah!
Jangan mencoba tegar, tapi ambyar!
Hidup ini berputar, semua ada masanya.
(Birendra Sadhana)
🍁🍁🍁
Suasana ruang UKS sedikit canggung. Akan dikata mencekam nyatanya tak seseram film horor. Ada hawa panas di ruangan itu karena tiba-tiba saja Lystia yang sedang menjadi objek pembicaraan antara Radit dan Birendra muncul di belakang mereka.
Radit hanya menampilkan deretan gigi putihnya, sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sementara itu, Birendra masih tetap menutup sebagian wajah pucatnya dengan lengan atas.
"Hati siapa, Pak?" ulang Lystia sekali lagi.
"Bukan apa-apa, Neng! Mau jengukin Bi, ya?"
Lystia menggelengkan kepalanya. "Mau ambil plester," jawabnya sambil menunjukkan jarinya yang terluka.
"Itu kenapa?" Birendra bangkit dari tidurnya karena merasa tak nyaman dengan panas di area punggungnya.
"Kena pinggiran kertas." Lystia hanya menjawab singkat lantas melihat ke arah Birendra.
"Padahal tadi Pak Birendra sudah nggak kenapa-kenapa, kok malah berbaring di sini?"
"Abis dikerjain orang, tuh di sebelah Bu Lilis pelakunya!"
"Kok tega sama adik sendiri, Pak Radit?"
Sudah bukan rahasia lagi bahwa Birendra adalah adik dari Radit. Segenap dewan guru pun juga sudah mengetahui hal ini. Karena pada awal perkenalan di SMK Bina Bangsa, Radit langsung mengenalkannya dan memberitahukan hubungan diantara mereka.
"Saya lupa kalo dia itu ada trauma, Neng! Lama nggak usil, jiwa usil saya meronta-ronta!"
"Ya nggak gitu juga, Bang! Sudah tua juga, kurang-kurangin usil sama orang. Cepat cari istri biar bisa diusilin."
"Pak Birendra nggak apa-apa?" tanya Lystia sembari menatap dengan pandangan penuh selidik.
Birendra yang ditanya hanya menganggukkan kepala, kemudian menyentuh tengkuk lehernya yang terasa pegal. Lelaki itu berbohong, apa yang dirasakannya tidak baik-baik saja. Dia merasa tubuhnya itu kedinginan, tetapi panas merambah tangannya sejenak ketika dia menyentuh tengkuknya tadi.
"Pak Radit, apa nggak sebaiknya dibawa pulang saja?"
"Saya masih ada jam mengajar, Bu!" elak Birendra sebelum Radit menjawabnya.
"Sudah saya suruh pulang, dia kekeuh nggak mau," keluh Radit.
"Bawa pulang saja Pak, itu wajahnya sudah kayak kepiting rebus begitu." Lystia memangkas jaraknya dengan Birendra dan hendak menyentuh kening lelaki di hadapannya itu.
Birendra segera memundurkan kepalanya bermaksud menghindar, tetapi belum terlalu jauh, tangan dingin Lystia sudah mendarat di keningnya. Entah tangan perempuan itu yang dingin, atau memang keningnya yang terlalu panas.
Lystia lantas mengambil sebuat termometer digital di laci, mengarahkan ke telinga Brendra. Dan membelalakkan mata melihat angka yang tertera di sana.
"Pak, lebih dari 38°, mending pulang saja biar bisa beristirahat."
Radit yang berdiri di sebelah Lystia turut memeriksa kening sang adik. Benar, suhu yang berbeda dengan tubuhnya sendiri dengan sangat cepat merambahi tangannya. Bergegas Radit menyiapkan sepatu adiknya itu.
"Bang, hari ini jadwalku dua kelas, kasian anak-anak kalau aku tinggal."
"Yakin kamu bisa ngajar? Abang saja nggak yakin kamu bisa berdiri lebih dari lima menit. Nggak usah batu! Apa Abang telpon Ganesh saja buat jemput?"
Birendra menggelengkan kepalanya. "Nggak usah, Bi pulang sendiri saja. Bi bawa motor."
"Iya, pulang sendiri, bawa motornya, udah tahu kondisi lagi begini masih mau bawa motor? Pulang-pulang tinggal nama aja kamu, Bi!"
"Mulutnya, Bang? Kok malah nyumpahin, sih?"
"Kamu aja yang bebal. Nurutlah, Abang antar pulang! Kamu tunggu di sini sebentar sama Neng Lilis. Abang mau izin sama Pak Tjah, sekalian carikan tugas untuk anak-anakmu. Biar guru piket yang jaga ntar."
Radit melangkahkan kakinya lebar-lebar untuk berpamitan, belum sampai di pintu dia kembali lagi.
"Neng, titip Birendra sebentar, kalo nggak nurut boleh di geplak." Radit mendapat lirikan tajam dari adiknya itu.
"Makanya, nurut! Nggak usah macem-macem, apalagi gombalin anak orang!" Ancam Radit.
"Ya Allah, udah sakit, diancam, masih juga dituduh mau macem-macem. Apa dosa hambamu ini, Ya Allah." Birendra meratap saat Radit sudah meninggalkannya berdua saja bersama Lystia.
Sepeninggal Radit, Lystia justru sedikit menunduk guna menyembunyikan wajahnya. Wanita itu takut Birendra memergokinya saat menahan tawa.
"Nggak usah ditahan, Bu! Kalau mau tertawa ya tertawa saja. Atau mau tersenyum? Boleh, senyuman Bu Lilis itu manis," ujar Birendra sembari merebahkan tubuhnya kembali.
Dengan tidak bertanggungjawab sama sekali, Birendra malah memejamkan matanya, dan membiarkan wanita di hadapannya itu kelabakan. Wajah putih Lystia itu bersemu merah akibat ucapan Birendra.
🍁🍁🍁
"Bi, Abang antar sampai dalam, ya?"
"Nggak usah, di sini saja. Nggak apa-apa."
"Kuat nggak?" Birendra hanya mengangguk.
"Motornya biar Pak Parmin yang antar ke rumah Abang, kalau besok masih belum baikan, nggak usha masuk cukup beri kabar! Biar Abang yang izinkan ke Pak Tjah."
Lagi-lagi Birendra hanya menganggukkan kepala. Bukannya berniat tak menerima Radit di rumahnya, hanya saja posisi Radit di situ sama seperti Zio.
Ganesh seringkali merasa tak suka jika adiknya tampak lebih dekat dan akrab dengan Radit. Dia merasa terabaikan jika Birendra bersama sepupu jauhnya itu.
Birendra memasuki halaman rumah dengan sangat perlahan. Panas tubuhnya itu membuat sendi-sendinya sedikit nyeri. Perjalanannya untuk sampai pada pintu rumah terasa sangat jauh.
Radit yang khawatir, sengaja belum meninggalkan kediaman Keluarga Wardhan itu. Dia masih berjaga jika tiba-tiba Birendra tumbang sebelum memasuki rumah. Mengingat selama perjalanan Birendra tidur dalam keadaan gelisah.
Begitu adiknya sudah memasuki rumah, Radit langsung tancap gas dan kembali lagi ke sekolah. Tak masalah baginya meski harus bolak-balik. Itu semua demi Birendra.
"Asalamualaikum ...." Birendra membuka pintu dan mengucap salam dengan lirih.
"Wa alaikum salam. Tumben dah balik? Biasanya sampai sore 'kan?" Zio yang menjawab salamnya kali ini.
"Hm."
"Laah, cuma hm doang?"
"Nggak enak badan."
"Oh .... Bi ntar mau gue pinjem buku. Beberapa kayaknya ada yang pas dengan yang gue cari."
"Hm ..., ambil sendiri."
Birendra menyeret kakinya ke meja makan, menuang air dan menandaskannya segera. Sungguh, tenggorokannya itu masih sedikit perih akibat aksi 'jackpot' setelah berhadapan dengan makhluk melata di sekolahnya itu.
"Mama Ajeng lagi keluar, belanja bulanan. Mas Ganesh ada di kamarnya."
"Hm ...."
"Nggak punya mulut, lo? Dari tadi ha-hm, ha-hm bae!"
Telinga Birendra seperti tersengat api, kala mendengar ucapan Zio. Tak bisakah dia melihat keadaan dirinya yang sedang berantakan? Belum cukupkah terpampang keadaan menyedihkannya ini? Zio seolah tak peka sama sekali pada keadaannya.
Zio yang tak mendengar suara jawaban mengalihkan pandangannya dari acara yang sedang ditonton pada sepupunya yang tengah duduk di anak tangga terbawah.
"Kenapa lo? Nggak enak badan itu istirahat, bukannya malah njogrok di tangga!"
"Bacot, Zi!"
"Iye, bacot gue! Kenapa?"
Birendra memilih tak meladeninya. Dia menengok ke belakang punggungnya, melihat beberapa anak tangga yang harus dia jejak untuk sampai ke kamarnya. Jika kondisinya baik-baik saja, Birendra bisa saja melewati dua anak tangga sekaligus dalam sekali melangkah. Tapi tidak untuk kali ini.
"Bi ..., lo beneran mendadak bisu apa gimana, sih?"
"Gue capek, Zi."
"Oh ..., nanti gue pilih-pilih bukunya nggak apa-apa?"
"Iya," ujar Birendra singkat.
"Cuma iya?"
"Lo mau jawaban apa? Tadi udah gue bilang, 'ambil sendiri' lo nggak paham?"
"Wues, santai Bro, nggak usah gaspol! Gitu aja kok nge-gas. jawab Zio sambil tertawa masam.
Birendra mengusap kasar wajahnya, dia mencoba untuk menghindari perdebatan saat kondisinya tak memungkinkan.
Zio berjalan ke arah dapur guna mengisi gelasnya yang sudah kosong. Tapi pandangannya tertarik pada Birendra yang masih saja duduk di anak tangga. Sepupunya itu menumpukan kepalanya di atas lutut.
Perlahan Zio menghampiri Birendra dan menyentuh pundak sepupunya.
"Bi, lo beneran sakit?" tanya Zio saat merasakan panas tubuh Birendra berbeda darinya.
Yang ditanya masih saja terdiam.
"Gue anter ke kamar."
"Gak usah!"
"Ayolah! Lo tuh nggak cocok buat keras kepala! Lo aja manja nggak ketulungan gini."
"Gue bisa sendiri"
"Gue bantu ya!" Zio berkata dengan suara pelan setelah melihat betapa pucatnya wajah Birendra.
Lelaki yang lebih muda empat tahun itu menarik lengan sepupunya berniat membawanya ke kamar. Namun, lelaki dihadapannya itu mencekal tangannya dan dihempaskannya dengan kasar hingga terantuk pada pegangan tangga.
Zio mengaduh, Ganesh yang baru saja keluar dari kamarnya mendengar suara Zio lantas menghampiri kedua saudaranya itu.
"Bi, jangan kasar begitu."
Mendengar suara kakaknya, Birendra beranjak dari duduknya dan mulai melangkahkan kakinya menjejak anak tangga di hadapannya.
Zio mengusap tangannya yang terlihat membiru.
"Bi, kok malah kabur? Ini tangan Zio kamu apakan sampai biru begini?"
Sang adik tak menggubris ucapan Ganesh.
"Bi! Mama nggak pernah ngajarkan kita untuk lari dari tanggung jawab!"
"Mas Ganesh urus saja itu adik kesayangannya. Nggak usah panggil Bi lagi. Sebenarnya adik kandung Mas Ganesh itu aku atau Zio? Kok perhatiannya lebih ke Zio?"
Birendra mengucapkannya tanpa menoleh ke arah kakaknya. Itu memang salahnya, menghempas tangan Zio dengan kasar, tetapi apa kakaknya itu tidak mendengar percakapan sebelumnya?
Harusnya Zio menjelaskan apa yang terjadi, tetapi dengan bodohya dia membiarkan semua kesalahpahaman terjadi diantara kakak-beradik ini.
Ini hanya masalah sepele. Hanya soal perkataan saja. Yang satu sedang sensitif karena tidak sehat, sedangkan yang satunya terkadang masih belum bisa bersikap lebih dewasa.
Ketika masalah sepele kemudian diracik dengan rasa cemburu, jengkel, dan lelah, itu semua seperti bom waktu yang tiba-tiba meledak. Atau seperti api dalam sekam yang perlahan tapi pasti membakar semuanya.
Janganlah menuruti cemburu jika tak ingin merugi. Jangan mengurangi tingkat kepekaan jika tak ingin menyesal. Jangan pula meninggikan ego jika tak ingin semua menghindar.
🍁🍁🍁
Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca kisah Birendra.
Tetap setia sama Bi hingga akhir, ya!
Jangan lupa untuk vote dan komen. 😉😉
ONE DAY ONE CHAPTER
#DAY10
Bondowoso, 24 April 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top