Epilog

Desiran angin dengan halus membelai kulit. Silir-silirnya mengitari alam yang tak berujung searah mata angin. Sedikit mengacaukan tatanan rambut kecoklatan yang menari-nari bersamanya. Helai dedaunan turut melayang hanya saja mengedari sosok pemuda yang tengah memandang langit di atas atap.

Senyum simpul terbingkai tampan dalam alunan daun-daun di sekitar dirinya. Menambah ketenangan yang menyertai pemuda tersebut. Namun, dalam sekejap daun-daun itu tertarik meninggalkan sisinya. Laki-laki berambut kecoklatan pun membalikkan badan, menatap seseorang yang baru saja mencuri daun-daun.

"Menikmati istirahat, Je?"

Jekha berdeham singkat lalu kembali memandang langit. Tangannya mengayun dari bawah ke atas, menengadahkan sehelai daun yang hampir jatuh berguguran. Ketika seseorang yang tadi menyapanya duduk tak jauh di sebelah, dedauanan kembali mengitari badannya dan juga orang tersebut.

"Kamu akhirnya masuk sekolah lagi," ujar Jekha tanpa melihat lawan bicara.

"Banyak yang perlu kuurus." Desah berat terselubungi di bawah napas. Jekha perlahan melihatnya hingga mereka saling beradu kontak mata.

"Dahi kamu sudah tidak berkerut terus," celetuk Pemuda yang memiliki mata dan rambut sehitam jelaga.

Refleks Jekha meraba-raba dahinya memastikan, tetapi ia malah mendapati tawa dari lawan bicaranya. Jekha menyipitkan mata sambil mencebik bibir, membuat kesal yang dibuat-buat. "Terus saja ketawa Van, sampai puas."

Revan memutus pandangan terlebih dahulu. Kedua lengannya melambai ke udara membelah angin, mengaburkan daun-daun sampai perlahan turun. Ekspresi Revan berganti setelah dedaunan jatuh dari yang menggelakkan tawa hingga tersenyum.

"Soalnya kamu kalau melihatku, selalu mengerutkan dahi ...."

Punggung Jekha mendadak tegang. Ia sudah lupa pernah memasang barikade kewaspadaan yang dikiranya kasat mata, tetapi tampak jelas di mata Revan. Namun, ketegangan itu perlahan mengendur begitu Revan meneruskan kalimatnya.

Dia berkata, "Tapi sekarang kamu kelihatan lebih tenang, lumayan santai walau tampangnya masih agak bodoh."

"HEI!"

"Bercanda, bercanda," kelit Revan segera. Dia menumpukan kedua tangannya ke belakang seolah-olah bersandar dengan lengan. "Kamu pasti sudah tidak khawatir menunjukkan kekuatanmu."

"Masih," ucap Jekha singkat. Revan yang di sebelahnya hampir melompat jika saja Jekha tidak meneruskan bicara. "Orang biasa masih takut dengan kekuatan kita tapi sekarang aku bisa membuktikannya, kekuatan ini bukan ancaman."

"Aku akhirnya bisa merasa lega."

Sudah sejak kematian Jetza, Jekha terbayangi momok kegelisahan tentang bagaimana hidup para pemilik kekuatan akan berlanjut. Dulu ia merasa tidak ada tempat bagi mereka si spesial terkutuk di dunia ini. Kekuatannya menjadi sumber ketakutan mereka yang normal-normal saja dan terancam hidup dalam kekangan beratasnamakan keselamatan manusia lain.

Jekha pernah bertanya, memang ia bukan manusia sehingga harus mengutamakan keselamatan orang yang lebih layak dianggap. Namun, semua kini telah jelas, asal-usul adanya kekuatan yang ia miliki serta penyebab yang telah membuat gejolak kerusuhan yang memojokkan para pemilik kekuatan.

Pemuda iris keabuan itu meregangkan seluruh badannya setelah lama memandang langit. Tadinya ia tengah menumpang tidur di sini sampai notifikasi dari pesan Dyovor membangunkannya. "Life Power memang masih punya tanggungan, tapi aku senang Ketua Divisi Penangkapan Kekuatan Liar mau membuat banding," tutur Jekha lapang dada.

Revan tiba-tiba menyikut perut Jekha sampai yang terkena mengaduh kesakitan. "Tanggunganku juga."

"Iya tahu, lucunya divisi itu tidak tahu banyak soal kekuatan juga sampai-sampai menarik klanmu dan Life Power untuk jadi kolega kerja sama dalam departemen kekuatan spesial."

Badan Jekha menghadap Revan tiba-tiba. "Kita sekarang anak magang," serunya senang hingga membuat matanya seperti bulan sabit.

"Tidak seburuk itu kan, kalau aku dan klanku menyerahkan diri pada mereka, akhirnya mereka mengubah peraturan yang sudah membuat semua pemilik kekuatan menderita."

Jekha menilik raut wajah Revan yang santai-santai saja menyebutkan penyerahan dirinya ke Divisi Penangkapan Kekuatan Liar. Ia masih merasa tidak nyaman dengan itu meski pengadilan menyatakan Revan dibebaskan dari bersalah karena termasuk korban yang dimanfaatkan. Namun, Revan menjalani serangkaian prosedur pengawasan yang lebih ketat sebab perbuatan kakeknya.

Pemuda itu juga harus secara sukarela memberi pengabdiannya pada departemen kekuatan spesial sebagai bentuk tanggung jawab beberapa hal yang dia sebabkan. Termasuk membuka secara transparan sejarah klannya sebagai awal pemilik kekuatan.

Kalau mengingat keputusannya, Jekha selalu terngiang di hari mereka mengalahkan Ri Xue. Revan yang tetap memutuskan bahwa semua ini perlu dipertanggungjawabkan olehnya memaksa pergi ke Divisi Penangkapan Kekuatan Liar. Hari itu Jekha menghadapi kegelisahan paling besarnya.

Mengkonfrontasi bukan kata yang paling tepat, tetapi menghadapi Divisi Penangkapan Kekuatan Liar saat itu juga tidak mudah. Ancaman penangkapan tiba-tiba mengintai langsung di depan. Namun, kehadiran Revan dan klan Ri menegaskan permasalahan yang sebenarnya, mengamankan Jekha dan Life Power.

"Terima kasih," gumam Jekha lembut. "Aku tidak menyangka divisi kolot itu mau mengubah cara rehabilitasi mereka. Di masa depan tidak akan ada yang seperti Kak Jetza lagi, penghapusan secara paksa kekuatan seseorang yang terbawa sejak lahir. Walau berarti ke depannya mereka akan memanfaatkan kekuatan medis dari klanmu."

"Ah itu tidak masalah, sejujurnya ini jauh lebih baik daripada rencana Kakek ...," ujar Revan lirih di akhir kalimatnya.

"Setelah ini kamu dan klanmu bagaimana?" tanya Jekha melirik Revan yang tengah memandang hampa tangannya yang terkepal.

Revan menyisakan dua jari telunjuk dan tengahnya lalu mengarahkan ke sosok hitam yang bersembunyi di cabang pohon. Garis bercahaya ungu langsung membelah bayangan hingga meletup dan menguap di udara. "Ayahku langsung pulang mendengar Kakek berbuat seperti itu."

"Ayah memang sudah tidak di garis pewaris pemimpin klan lagi, tapi dia masih berhak sebagai kepala keluarga menentukan mantel kepemilikan dan Ayah bilang akulah yang mengambil tempat itu sekarang. Semua keputusan klan harus didasari persetujuanku termasuk menyerahkan Kakek ke pihak berwajib," ungkap Revan agak murung.

"Jekha tahu tidak," Revan tiba-tiba mamanggil Jekha, membuat pemuda berambut brunette itu agak terkejut. Dia lalu melanjutkan, "Ayahku cerita kalau leluhur jenderal yang saat ini pernah ditolong oleh orang Rusia, katanya mereka membebaskan banyak suku bayangan dari peperangan dulu termasuk leluhur ibuku."

"Kalau tidak ada dua orang itu, mungkin ibu tidak akan pernah ada, Ayah tak pernah bertemu dan aku juga tidak ada ...."

Jekha tenggelam dalam rasa penasaran yang mengejutkannya kala mendengar cerita Revan. Dalam memorinya yang sudah bercampur aduk, ia mengingat samar-samar kenangan yang terasa nyata padahal Jekha hanya pernah melihatnya ketika tidur.

"Ayah memarahi Kakek dan menjelaskan itu semua, dia sangat marah ketika tahu Kakek berniat mengajak perbatasan Rusia berperang lagi."

Jekha sedikit mencondongkan berusaha mencuri lihat wajah Revan yang tertunduk. "Kamu tidak apa-apa?"

"Jekha, aku ingin bertanya padamu," pinta Revan tiba-tiba.

"E-eh mau tanya apa?" Jekha menarik mundur tubuhnya. Ia memiringkan kepala menanti pertanyaan Revan dengan gugup.

"Korek yang kamu bawa waktu itu, apa kamu berniat membakar tanaman klanku kalau tidak berhasil menggunakan darahku?"

Jekha langsung membuang muka, beberapa kali badannya bergerak tak nyaman. Namun, setelahnya ia menghela napas dan berkata, "Iya, kamu menyadarinya ternyata ... maaf."

"Tidak apa-apa, lagi pula kejadian ini membuka rahasia besar yang klanku tutup-tutupi," ujar Revan memaksakan senyum. "Kekuatan ini tidak benar-benar datang dari klanku saja tapi sebuah suku yang terdiri dari banyak klan, hanya saja klanku melakukan kejahatan yang amat besar sehingga meniadakan klan lain demi mewarisi kepemimpinan suku."

Revan akhirnya menegakkan tubuh dan menatap Jekha, dia memasang senyum yang lebih luwes saat saling bertatapan. "Aku sungguh tidak apa-apa, yah memang jadi pemimpin tidak mudah tapi aku belajar banyak darimu saat di Life Power."

Jekha tertawa canggung. "Aku? Aku berbuat apa di Life Power? Aku, aku bukan-"

"Iya-iya, aku tahu kamu tidak akan mengaku pemimpin Life Power tapi setidaknya saat di Life Power kamu selalu mengusahakan anggota lain dalam keadaan baik, entah itu perasaannya atau keselamatannya."

"Tapi aku ... membawa bahaya untuk mereka." Jekha merunduk murung. Jauh di lubuk hatinya, ia masih merasa bersalah karena telah membawa derita kepada anggota Life Power. Namun, Jekha juga tidak ingin menyinggung Revan yang nyatanya korban juga.

"Kamu kuat, Je, untuk melindungi mereka ...," ucap Revan bangun dari duduknya. Dia berdiri menghadap Jekha kemudian memberi bungkukan 90 derajat. "Mohon bimbingannya."

Jekha panik langsung berdiri ingin menghentikan hormat yang Revan lakukan. Sangat tidak pantas baginya menerima sebuah hormat seseorang yang kini memiliki kedudukan seorang pemimpin. Namun, Revan tidak mengindahkan usaha Jekha yang menghentikannya, dia kembali berdiri biasa seolah-olah tidak keberatan.

Di bawah siang yang agak terik, tetapi berangin mereka menautkan kelingking. Melengkapi perjanjian masa lalu dengan perasaan saling terbuka. Kala bel berdenging keras menginterupsi, Jekha dan Revan saling menatap satu sama lain.


.

.

.

END

AKHIRNYA BUNG!! NYAMPE TAMAT AAAAAA
SELAMAT UNTUK DIRIKU 😭😭🤣🤣

Lebay bgt 😭
Aku yakin masih perlu banyak yg direvisi, kemungkinan juga ada yg perlu ditambah tapi bisa sampe tahap ini dalam writing maraton tuh pencapaian besar banget buat aku

Terima kasih buat semuanya yg baca ini
Semoga kalian terhibur
Aku masih ada maunya minta kalian vote dan comment hehe

Sekian dan Terima kasih
Semoga berjumpa lagi di cerita lain

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top