6. Gundah Tiba
Jekha menahan sejenak satu suapan yang sudah di depan mulut. Tangannya yang menganggur menangkap gelas kertas yang tiba-tiba mengudara. Dengan satu sentakan, ia meletakkan kembali gelas tersebut sembari mendesah lelah. Kemudian menyuapkan makanan yang telah ia nanti seakan-akan tak terjadi apa-apa.
Pendar keunguan yang sempat melingkupi gelas pun berkedip beberapa kali sampai sinarnya hilang.
Ia sungguh tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini kekuatannya sering aktif tanpa perintah atau intuisinya. Mudah saja jika kekuatan pengendali benda miliknya sebatas membuat barang di sekitar mengapung, tetapi bagaimana kalau itu sampai ke skala lebih besar di mana Jekha tidak sanggup mengendalikan. Terutama jika kekuatannya bergerak di ruang publik, ketika banyak mata mengawasi.
Kekuatan milik Jekha dan kawan-kawan memang tidak terlalu tabu. Akan tetapi, warga biasa terlampau melabeli pemilik kekuatan sebagai bahaya, terlebih yang memilikinya masih remaja. Sering kali orang melihat malapetaka ulah pemilik kekuatan sehingga mereka yang mengendus kehadiran orang seperti Jekha memilih segera melindungi diri dan menghubungi Divisi Penanganan Kekuatan Liar.
Sama seperti lelaki yang beringsut ketakutan kala menghadapi murkanya Jemija. Jika Jekha menebaknya, pasti Kak Dyovor memberi ancaman perihal Jemija yang akan menuntaskan lelaki tersebut kalau-kalau masih menganggunya ataupun soal kejadian waktu itu.
Tentang kejadian di mana Jemija melepaskan ratusan barang-barang metal, sesuatu menganggu Jekha. Ia meremat sendoknya sendiri dan menatap kosong pada makanannya.
"Hei, Je." Suara beserta tepukan pada bahu mengembalikannya ke dunia nyata. Jekha mendongak hanya untuk mendapati Revan yang mengambil tempat di seberangnya.
"Makannya jangan melamun gitu, nanti yang di sebelah ikut makan," kelakar Revan tetap santai.
Jekha pun meringankan ketegangan di pundaknya. Ia memutar-mutar sendok makan dengan handal. "Vampir Cinamu kan doyannya darah jadi gak mungkin makan sayur."
Revan mengalihkan pandangannya dari makanan lalu berkata, "Koreksi, takutnya makan yang gak makan-makan." Usai bercanda, Revan pura-pura sibuk sembari menahan tawa, sementara Jekha berusaha mencari-cari kaki Revan di bawah meja untuk menendangi.
Pertarungan tendang kaki masih berlangsung meski dua empu yang terlibat sudah mengaduh-aduh. Lantas Revan mengalihkan perhatian dengan hal yang untungnya menyita atensi Jekha. Pemuda berdarah Tiongkok itu bertanya, "Anak baru di Life Power dari sekolah yang kemarin kalian datangi?"
Jekha langsung berhenti menendang-nendang. Ekspresinya kelihatan murung seperti ketika Revan menjumpainya melamunkan makanan. Ia mengangguk pelan lalu menyuap potongan wortel lagi sebelum berbicara.
"Jemija gabung sama kita di luar organisasi sekolah."
Kening Revan berkerut merasakan aura di sekitar mereka berubah sendu. Dia mengira ada yang tidak mengenakkan terjadi kala itu, tetapi Revan ragu perlu menanyainya atau nanti saat Jekha dalam mood yang lebih baik.
Pada akhirnya Revan memilih bertanya perihal lain. Dia berujar sambil mengetuk ujung garpu ke bibir terus-menerus. "Kalau dia dari sekolah lain, bagaimana kumpulnya?"
"Kita punya tempat di luar sekolah, lagi pula kak Dyovor juga kan sudah alumni," jelas Jekha tanpa melihat Revan. Sebelum lawan bicaranya membalas, Jekha langsung melanjutkan, nada suaranya mengambang, "Kemarin kami juga mau membawanya ke sana ...."
Suara yang terdengar gamang membuat Revan sadar. Dia memang tidak mendengar banyak detail tentang penyelidikan berkedok kunjungan Jekha dan anggota lain. Sehari setelahnya Revan tidak sedikitpun berpapasan dengan Jekha di sekolah lalu dalam dua hari berikutnya saat Czou mengajak untuk ke klinik, Revan mencuri dengar pesan Kak Dyovor. Sesuatu yang meminta Jekha agar tak terlalu memikirkan peristiwa di sekolah Jemija.
Apa yang terjadi padanya?
"Kamu ... tidak apa-apa waktu itu?" tanya Revan hati-hati kemudian dia mengibas-ngibaskan kedua tangan panik. "Kalau kamu tidak mau menjawab juga tidak apa-apa."
Jekha memaksakan senyum kecil. Meski sorot matanya kembali merenung dalam. "Aku tidak apa-apa ...," ujarnya masih melihat ke bawah. "Tapi, Jemija sangat terguncang sepertinya, emosinya lumayan berdampak padaku."
Sejak berada dalam garis kehidupan yang terjebak satu sama lain, Revan menilai pemuda di depan ini terlalu banyak menyimpan. Dia mengerti kalau Jekha perlu menutupi kekuatannya, tetapi di lain waktu kala mereka hanya seorang remaja, kelakuan penuh kejenakaan Jekha cuma topeng.
Sebab dia juga memahami, menyimpan tanggungan dalam balutan seorang Tuan Muda. Mereka berusaha terlihat normal di balik semua yang membebani.
"Aku dengar anak baru itu sampai harus bed rest seminggu dari sekolah." Badan Revan yang selalu tegap kini agak lesu, matanya pun meneleng ke samping, sedih.
Jekha balas mengangguk. "Jemija terkena perundungan, pada saat itu dia sedang tertekan berat sehingga ...."
Perasaan getir begitu mendengar cerita sehari-hari yang Jemija alami tak mudah hilang. Terperangkap takdir memiliki kekuatan saja sudah menjadi beban ditambah kehidupannya yang menderita. Jekha merasakan garis waktu berputar mundur, memberikan penayangan yang sama, rasa yang sama, duka yang sama.
Insiden Jemija baginya adalah Déjà vu.
"Terlalu mirip ...," gumam Jekha rendah.
"Apa yang mirip?" ulang Revan menangkap perkataan Jekha.
Jekha agak tersentak, iris keabuannya sempat membelalak lebar, tetapi ia menggeleng lemah. "Ah bukan apa-ap-"
Bersamaan elakan yang Jekha lontarkan, sendok milik Revan perlahan naik segaris mata. Persis seperti yang terjadi pada gelas kertasnya tadi, sendok tersebut terselubung sinar ungu pekat. Bukti kekuatan telekinesisnya mengitari benda tersebut. Jekha sudah mengirim perintah di pikirannya untuk menurunkan sendok, tetapi tangan Revan terlanjur mengambil sendok lebih dulu ke dalam genggamannya.
"Tolong ya sendokku jangan diajak terbang juga," celetuk Revan. Senyum tanpa ragu membingkai wajahnya yang teduh.
Mata Jekha terpaku garis mukanya yang tampak tenang bercanda hal ini. Padahal ia menahan napas di atas tangannya yang berkeringat. Memang benar sebagian emosi Jemija melekat dalam perasaan yang sama. Namun, sudah lewat berapa hari kenapa hal tersebut masih mengganggunya? Jekha tidak paham.
Ia berencana akan menenangkan diri seusai ini. Seperti kata Kak Dyovor, Jekha harus mengusahakan agar tak terlalu memikirkan hal yang mengusiknya atau ia sendiri yang akan kerepotan.
Tiba-tiba ponselnya bergetar menandakan pesan masuk. Isinya terbilang singkat, cuma perihal Kak Dyovor yang meminta membuat pertemuan lagi sepulang sekolah. Hanya saja Jekha merasakan perasaan yang tidak enak mengenai pembahasan dalam pertemuan mendatang atau sepertinya ia sedang mudah berpikir negatif.
"Dari Kak Dyovor," ujar Jekha singkat. Ia memasukkan kembali ponselnya dan menarik napas. "Kita harus kumpul lagi sepulang sekolah ... di markas yang luar."
Jekha mengangkat kepalanya menatap Revan. Ia berusaha menghalau gelisah yang tengah merasuki. "Ini pertama kalinya kamu mendatangi markas di luar."
"Kalian memperbolehkanku?"
"Yah, kenapa tidak?" untuk saat ini.
Kursi tempatnya duduk berbunyi kala Jekha mundur untuk berdiri. Ia membawa nampan yang hampir kosong, sebelum benar-benar pergi Jekha berdiri agak condong keluar. Wajahnya melirik Revan ragu.
"Nanti bertemu di gerbang sekolah?"
Revan menelan ludah lalu menjawab. "Ya, kalau kamu tidak keberatan."
Apakah dia keberatan?
Jekha belum yakin. Kehadiran Revan yang ia pegang ini hanya untuk memastikan, pertama, kalau pemuda itu mengalami munculnya kekuatan dan kedua, membatasi ruang geraknya jikalau dia berbuat yang merugikan mereka.
Namun, sekarang ini kejadian munculnya kekuatan menjadi sangat aneh dari biasanya. Lihat saja Czou, dia memang mengaku mengalami sakit kepala sebelum berlatih basket tetapi, Czou mengabaikannya karena bagi pemuda itu tidak terlalu sakit. Akibatnya lonjakan kekuatan keluar di momen dirinya menggebu-gebu.
Pengawasan yang Jekha amati pada Revan sejauh ini masih normal. Mungkin beberapa kali ada hal kecil yang terjadi di sekitarnya, tetapi Revan terlihat biasa saja. Emosinya stabil, tingkah lakunya lumayan wajar-kadang mengesalkan. Serta yang paling penting pendar keunguan tidak ada pada tubuhnya.
Jekha mendesah sambil menyandarkan punggungnya di gerbang. Ia akui sedikit senang dengan kekuatannya, hanya jika Jekha bisa mengetahui secara ilmiah tentang apa pun yang telah merangsang mereka memiliki kekuatan seperti ini. Jujur saja, Jekha lumayan iri dengan kekuatan kak Dyovor. Kalau itu dirinya, Jekha akan menghabiskan waktu meneliti lebih dalam.
Ia beranjak dari posisi bersandar dan mulai berjalan. Pemuda yang Jekha tunggu langsung mengikuti dalam diam. Mereka terjebak dengan suasana hening selama perjalanan. Entah mengapa, selain Jekha yang kadang masih gelisah, Revan juga jadi lebih berhati-hati sejak ia menceritakan tentang Jemija.
"Oh ternyata di sekitar sini ada Pellionia Repens juga," ujar Revan tiba-tiba.
"Hah, apa?"
Revan menunjuk daun yang menjulai dengan corak mendatar agak lebar. "Itu daun tanaman yang berwarna ungu."
Jekha hanya mengangguk sembari membuka mulut kecil. Banyak tanaman seperti itu, lanjutnya dalam hati abai.
Ketika mereka sampai di markas luar Life Power, Dyovor tengah melepas kacamatanya sambil mengembuskan napas lega. Beberapa anggota lain juga tampaknya baru melepaskan sesuatu yang berat sampai-sampai begitu lega kala Jekha datang.
Kening Jekha mengernyit bingung. "Kenapa? Kalian terlalu kangen aku sampai senang sekali aku sudah di sini?"
"Jangan percaya diri dulu," ledek Dyovor.
Jerri yang ada di sisi lain segera berujar, "Kita lagi waswas Kakak berdua ini masuk berita."
"Berita ... apa?" Revan muncul dari belakang Jekha. Dahinya menekuk tak mengerti sambutan aneh ini.
"Ada artikel yang baru rilis beberapa menit lalu, dua orang pemilik kekuatan ditangkap karena membuat kekacauan," jelas Dyovor yang semakin serius. "Tapi syukurlah kalian tidak kenapa-kenapa."
Baik Jekha maupun Revan sama-sama gugup. Tentu berita yang tersiar sangat serius sampai banyak dari anggota yang merasa khawatir. Revan melirik Jekha tanpa berkata, pemuda di sebelahnya bergumam 'ikuti' tanpa suara. Jekha tahu bahwa ia tidak mempunyai kekuatan apa pun begitu juga Kak Dyovor. Keputusan mereka pula yang hanya menyimpan ini bertiga. Akan tetapi, bagaimana jadinya jika kebohongan ini terkuak?
"Langsung saja," ujar Dyovor mengalihkan perhatian. "Aku sudah menghubungi temanku yang seorang telepati." Kumpulan pemuda di sana berseru kagum pada jenis kemampuan yang baru saja Dyovor sebut. Banyak yang bertanya-tanya apakah Dyovor menghubungi temannya tanpa alat komunikasi sama sekali, tetapi langsung ditepis sang subjek bicara. Pemuda paling tua itu mengembalikan topik dan mulai melanjutkan, "Aku ingin memanggilnya ke sini untuk membantu menyelidiki kekuatan kita yang akhir-akhir ini sering lepas kendali."
"Dia juga teman Jetza," ujar Dyovor tiba-tiba pada Jekha.
Lelaki yang tertuju membeku begitu nama itu disebut. Jekha memalingkan wajah berniat menyembunyikan ekspresinya dari seluruh pasang mata yang penasaran.
"Tapi selama menunggu temanku kemari, berkaitan dengan kejadian di artikel, kita butuh sampel orang-orang yang mengalami peristiwa serupa."
"Jadi maksud kakak, kita harus mencari orang-orang yang kemungkinan sama mengalami kehilangan kendali kekuatan?" tanya Jekha.
Dyovor mengangguk lalu berkata, "Iya, bagaimana menurutmu Je?"
"Sejujurnya aku ingin membantu yang seperti kita," ucapnya sedikit murung.
"Kalau begitu." Dyovor menjeda ucapannya sendiri kemudian mulai mengarahkan telunjuknya pada setiap individu yang dia pilih. "Jekha, Jerri, Czou ... sama Revan, cari pengguna yang berkaitan dengan fenomena kekuatan lepas kendali."
"Apalagi mereka yang masih remaja."
.
.
.
Bersambung
Sebenernya kepikiran dari kemarin-kemarin, ini belum ada cast yg cewe yahhhh?
HAAHAHAH
Oh iya Jemija dibaca Jemi(y)a
Jangan lupa vote dan komen
Sekian dan Terima kasih
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top