5. Rangkai Kemalangan
Saat suara yang terdengar agak berat dan tua memanggil, dia segera membalikkan badan. "Ri Pan ...," katanya lembut.
Revan langsung membungkuk hormat dan membalas, "Zēngzǔfù."
"Yang Tua ini mendengar dari pelayanmu kalau hari ini kamu perlu membawa tanaman untuk gerakan hijau di sekolah."
Revan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dia hanya mampu menyengir begitu diingatkan tetuanya. Di dalam hati, Revan mengutuk Xiao Ji yang tidak memberitahunya langsung.
Dia memasang senyum simpul lalu kembali membungkuk. "Ri Pan berterima kasih pada Zēngzǔfù telah mengingatkan, Ri Pan meminta izin untuk mengambil salah satu tanaman di depan hutan bambu."
"Tidak perlu," tolak sang Tetua tenang. Kemudian pelayan lain mendekat ke belakang Tetua dan memberikan tanaman yang daunnya berwarna ungu gelap serta corak mirip buah semangka, Pellionia Repens. Sosok yang dipanggil Kakek Agung itu menyerahkan pot yang baru saja diterima pada Revan lalu berkata, "Ini, bawa saja, pekarangan kita sumpek terlalu banyak tanaman ini."
Raut Revan seketika ingin jatuh mendengarnya. Memang dipikir-pikir tanaman ini terasa ada di mana-mana. Dia berusaha memahami alasan Kakek yang hampir genap 80 tahun ini. Meski sebenarnya menurut Revan agak kekanak-kanakan.
"Terima kasih atas perhatian Zēngzǔfù, Ri Pan izin berangkat sekarang," pamitnya sambil memberikan bungkuk terakhir dan segera berlalu.
Sementara punggung sempit Revan semakin hilang di antara pelataran pondok luas klan Ri. Tetua agung tersenyum kecil melihatnya. Dia menghempaskan jubahnya yang panjang dan berkata, "Ke area klan inti."
"Baik, Ri Xiān shēng."
______________
Hijau menjijikkan.
Warna itu terlalu mendominasi sampai-sampai hanya dengan lirikan kecil sangat mudah menjumpainya. Mulai dari cat bangunan, pohon-pohon yang bergelimangan serta seluruh tanaman hijau yang tengah meramaikan sekolah setengah hutan ini. Mungkin setelah sepanjang hari terjebak di sekolah ia akan menolak makan yang hijau-hijau. Lagi pula Jekha tidak doyan makan sayur.
Ia menghela napas saat melihat pot yang ditaruhnya tergeser setengah hampir jatuh. Sebenarnya Jekha sudah selesai dengan kegiatan menyimpan pot tanaman yang ia bawa, tetapi dengan kerumunan yang seperti ini, Jekha belum bisa meninggalkan potnya sendirian. Hanya untuk memastikan pot yang disiapkan ibunya tidak terpuruk di bawah seperti murid lain.
Jekha kembali mengatur jarak antar pot miliknya dan yang lain sehingga tidak berdempet. Jangan anggap ia memiliki sifat penggila kerapian, Jekha hanya tidak ingin repot-repot membawa lagi tanaman pengganti.
"Titip punyaku dijaga juga ya," celetuk suara agak meledek di samping Jekha.
Matanya menatap bosan pada sosok yang tengah menahan cekikikan. Tangan Jekha yang mengangkut pot tanaman laba-laba berhenti di udara. Alih-alih menanggapi, Jekha meneruskan penataan tanamannya.
Baru setelahnya ia berkacak pinggang layaknya ibu-ibu mau marah. "Tapi ada tarifnya kalau mau dijaga," balas Jekha pura-pura mengintimidasi.
"Apa?"
"Tanamannya berteman dulu."
Tiga detik berlalu dalam hening kemudian tawa menggelegak dari kedua insan.
"Sialan!" umpatnya sembari melempar sisa daun jatuh. Pemuda yang dilempari hanya menghalau dengan kedua lengannya yang disilangkan. Walau begitu Jekha tetap mempertahankan tawa.
"Baiklah-baiklah aku mengalah ... sepertinya aku menemukan kekuatanmu apa, Van."
Revan mencondongkan tubuh ke depan Jekha, penasaran. "Apa kekuatanku?"
"Mengumpat."
Celetukan Jekha berhasil mendatangkan umpatan lain ditambah Revan yang hendak mengejarnya. Mereka berlarian di sekitar pengumpulan tanaman meski pada akhirnya kembali di tempat keduanya menaruh pot. Jekha bertumpu pada lutut dengan napas yang tersengal-sengal. Tangannya menahan Revan yang mau menyerbu agar berhenti.
"Kamu kayaknya perlu cek lagi ke Kak Dyovor," ujar Jekha agak susah payah.
"Buat?" Revan menekuk dahi kebingungan akan topik yang tiba-tiba berubah.
"Cek kekuatan mengumpatmu."
"YA!"
Jekha akhirnya mengusahakan berdiri. Di bibirnya terlihat cengiran jahil nan menyebalkan bagi Revan. Akan tetapi, sebelum Revan sempat menubruknya lagi Jekha segera berkata, "Tapi aku serius mau mengajakmu kumpul sama Kak Dyovor dan Life Power."
"Pulang sekolah nanti, ayo ketemuan di koridor arah klinik."
Revan sedikit terpaku begitu mendengarnya. Ekspresi yang sedari tadi mengkerut kini perlahan lembut. Pemuda dengan rambut sehitam jelaga itu mengangguk beberapa kali, senyum kecil tersemat di bibirnya.
Walau tidak seperti harapan pada awalnya. Perkumpulan ini akan dikira membosankan oleh sebagian murid di sekolah nomor 19.
Secara umum, organisasi mereka bernaung sama seperti yang ada di sekolah lain. Kumpulan anak yang menyerahkan diri pada kesehatan. Kadang dianggap hanya sekumpulan remaja cupu tak ada pilihan. Padahal lebih daripada itu, Life Power, sekelompok remaja yang menyimpan kekuatan dengan dalih 'menyelamatkan melalui kesehatan'.
Memang harus Jekha akui, anggota Life Power kebanyakan introver. Akan tetapi, kali ini ada yang berbeda. Lumayan jauh dari klinik yang tempatnya terisolasi dari gedung utama sekolah terdengar suara melengking. Jekha perkirakan sekitar lima sampai tujuh meter.
Ia mengorek kupingnya kemudian menghela napas. Ingatkan Jekha untuk memberi pengarahan agar tetap merendah.
Jekha masuk klinik diikuti Revan. Pundaknya merosot saat melihat laki-laki tak berdaya kemarin tengah dikerubungi. "Czou jaga suaramu," tegurnya
"Aku sudah mengingatkan tapi anak basket memang beda," celetuk Kak Dyovor di mejanya.
Ya, anak basket, Czou si penyerang. Satu sekolah mungkin saja kaget, mendadak anggota organisasi elit dan terkenal mau bergabung dengan anak-anak payah yang hobi mendekam ini. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, Czou baru saja mengaktifkan kekuatan dan keberadaan anggota adalah untuk saling menjaga satu sama lain.
Jekha mengabaikan ribut-ribut penuh antusias kala anggota Life Power bersorak kagum atas Czou. Lantas ia bertanya, "Kenapa belum pada ke bawah?"
"Oh, kami menunggu Kakak, katanya Kakak bawa anggota baru juga," ujar Jerri, pemuda berambut coklat lebih terang. Wajahnya agak seperti tikus kecuali di bagian matanya yang berwarna biru.
"Oh iya juga, semuanya ini Revan."
Revan segera maju selangkah ketika Jekha memberi ruang kosong di sebelahnya. Dia sedikit membungkuk lalu berkata, "Halo semuanya, aku Revanoir, salam kenal."
Entah sihir apa yang menghipnotis anggota Life Power, tetapi mereka semua dibuat kagum dengan kehadiran Revan. Jerri salah satunya, anak itu langsung mengangkat tangan antusias dan bertanya, "Kekuatannya apa kak?"
Jekha langsung membalas, "Mengumpat."
Seketika Revan menendang tulang kering Jekha. Semua anggota tertawa puas melihat ada yang bisa menaklukkan kelakuan jahil senior kedua pendiri Life Power.
"Sudah-sudah, ayo kita ke bawah." Dyovor bangkit dari meja selepas menekuni berkas-berkasnya sedari tadi.
Anggota Life Power kini berjumlah sembilan orang lengkap dengan penambahan Revan dan Czou ke dalamnya. Jadi butuh waktu untuk satu per satu turun ke ruang bawah tanah. Jekha yang turun paling akhir langsung tersuguh tatapan serius Dyovor. Ia sudah menebak-nebak, selain menyambut anggota baru, pasti ada sesuatu yang perlu dikatakan.
"Ada apa kak?" tanya Jekha sembari mengambil kursi.
"Czou." Bukannya menjawab, Dyovor justru memanggil Czou. Jekha diliputi kebingungan, ada firasat yang rasanya tidak enak akan datang.
Laki-laki berkulit pucat meski pigmen kemerahan bertaburan di pipinya lantas mengangguk. "Sejujurnya aku masih baru memahami kekuatan ini, tapi aku ingat cerita sepupuku yang terasa sama dengan apa yang aku alami kemarin," ungkap Czou hati-hati.
Jekha menyatukan alis begitu mendengar informasi yang lumayan mengejutkan. Memang tidak terpikirkan olehnya keberadaan pemilik kekuatan di luar jangkauannya.
"Di sekolah sepupuku, setiap makan di kantin, mau itu sendok, garpu, nampan atau benda apa saja dari metal selalu ada bengkokan dan bukan bengkok kecil biasa tapi terlipat seperti mau patah jadi dua."
"Separah itu?" tanya Dyovor seraya menopang dagu.
"Berapa banyak benda yang bengkok?" tanya Jekha serius. Ia memaku pandangannya pada Czou lalu menambahkan, "Mungkinkah itu keisengan anak nakal?"
Mendapat tatapan yang mendalam membuat Czou gelagapan. "E-eh itu ... kata sepupuku ada di satu waktu seluruh penghuni kantin akan minta sendok pengganti karena semua sendok jadi bengkok."
"Seberapa cepat seseorang bisa membengkokkan metal sampai seisi kantin harus ganti alat makan ...," gumam Jekha tidak mengerti.
"Sangat cepat sampai tidak ada yang menyadari pastinya," ujar Dyovor yang tiba-tiba berdiri. "Kita tidak bisa mengabaikan yang satu ini, metal ... lumayan berbahaya." Pemuda yang paling tua di organisasi tersebut mengeluarkan ponsel dan berkutat cukup lama dengannya.
"Jekha, Czou, kalian ikut Kakak ke sana, kita cari tahu keanehan ini kekuatan atau bukan."
Jekha menatap Dyovor tak percaya dan mulai mengocehkan protesan. "Ta-tapi Kak?"
Dyovor lantas menggeleng, ekspresinya kokoh mempertahankan keseriusan. "Sebelum sesuatu terjadi kita harus segera menyelidiki," ucapnya tak bisa dibantah.
Jekha beringsut lemah. Bukan ia tidak mau mencari tahu perihal informasi ini, tetapi sesuatu yang tenggelam dalam memorinya tiba-tiba naik. Seolah-olah memperingatinya.
Menurutnya, ia sekarang ini seperti air yang mengalir begitu saja, mengikuti setiap tikungan dan wadah yang tengah membawanya.
Jekha berusaha menyeret kakinya yang enggan melangkah. Pintu yang memperlihatkan papan nama menutup perlahan di belakang. Mereka baru saja mengurus izin ingin studi banding sesama unit kesehatan Krasnoyarsk. Alibi yang Jekha tidak sangka benar-benar akan dipercaya pihak sekolah.
"Hei, Jekha cepat maju sini!" ajak Dyovor yang menyadari dirinya tertinggal di belakang.
Ia dengan berat kaki menyamakan langkah pada dua orang yang menunggu di depan. Czou seperti tanpa beban merangkulkan lengannya di bahu Jekha sembari berkata, "Nah, nah, jangan lesu begitu, anggap saja ini jalan-jalan."
Jalan-jalan nenek moyangmu!? Siapa tau ini berbahaya!
Saat Jekha hendak membalas, Dyovor tiba-tiba berbicara, "Anak-anak, itu kantinnya."
Baik Jekha dan Czou segera memperhatikan dengan saksama kantin yang cukup luas tersebut. Dyovor pun menggiring dua remaja itu ke dalam. Ketiganya berusaha terlihat senormal mungkin. Mereka berlagak sebagai pendatang yang hanya menyia-nyiakan waktu di tempat orang, entah itu saling mengobrol atau pun mencoba makanan.
Namun, Dyovor merasa kedutan kecil di kepala dalam beberapa detik. Dia refleks memegang pergelangan tangan kedua juniornya.
"Ada apa, Kak?" tanya Jekha bingung.
"Tunggu, aku meras-"
Sekelebat efek kejut listrik melanda seisi kantin. Terlebih pada ketiga pemuda yang langsung merasakan dampaknya di kepala mereka. Jekha meringkukkan kepalanya dalam lipatan tangan, berusaha menahan dorongan konsentrasi terhadap kekuatannnya.
Suasana kantin mendadak ricuh. Dyovor yang melihat kesempatan ini, langsung melemparkan bom asap hingga ke dekat sprinkler seperti saat di sekolah Jekha. Reaksi penyemprot air itu bekerja cepat, mengirim sinyal pada alarm darurat serta air yang segera menghujani kantin. Semua yang merasakan bahaya pergi meninggalkan kantin seketika.
Samar-samar Dyovor mendengar jerit pilu. Ketika matanya mencari sumber suara, ratusan garpu melayang pesat di atas mereka. Pemuda 20 tahun tersebut segera memberi arahan, "Czou, lihat dari plafon dan tangkap si pengendali! Jekha coba ambil alih dengan Telekinezmu!"
Czou refleks meringankan tubuhnya hingga dia melayang lalu menjejakkan kaki di plafon, mengamati di mana pengendali kekuatan yang tengah menyerang. Akan tetapi, terjangan garpu yang bergerak cepat menyulitkannya. Dyovor menyadari kesulitan Czou segera mencari-cari Jekha, barang kali remaja itu kesulitan, tetapi yang dia dapatkan Jekha mematung.
Mata Jekha tampak nanar menatap garpu yang beterbangan. Di matanya yang bening terlihat bergetar.
"Jekha! JEKHA SADARLAH!" teriak Dyovor putus asa.
Jekha kemudian menggeleng-gelengkan kepala, ia mengerjap beberapa kali. Meja yang terguling ia ubah menjadi tamengnya. Jekha menjulurkan kedua tangan ke depan, mengambil alih kendali garpu dan menariknya terbang keluar dari jalur tengah kantin, sementara Czou yang ruang bergeraknya sudah mulai leluasa langsung melakukan tolakan ke asal serbuan terjadi.
Namun, kabut asap yang tengah beredar habis terkikis air. Memberi penampakan jelas sosok yang sedang berlutut layu. Kepalanya yang tertunduk perlahan mengangkat, memperlihatkan mata kelam yang kehilangan jiwa. Tanpa membuang waktu, Czou mendaratkan diri di dekat remaja itu dan membatasi gerakannya dengan lingkaran gravitasi ungu di sekitar mereka.
Dyovor pun berlari menghampiri, bermaksud untuk memeriksa orang yang menjadi tokoh utama, tetapi dirinya tidak hanya menjumpai Czou dan remaja tersebut. Ada orang lain di belakang keduanya tengah bergetar ketakutan.
Orang itu langsung melindungi diri dan berteriak, "Tidak! Bukan karenaku, bukan karenaku!" Dia menunjuk remaja yang Czou tahan. "Kamu monster! Monster!!!"
Tuduh penuh histeris menyebabkan laki-laki dalam pegangan Czou menjerit. Hampir saja pemuda pengendali gravitasi ini kelepasan lantaran berontakan dari remaja tersebut. Dyovor langsung memegang kedua pundaknya lalu bertanya lembut, "Tenang, tenang, aku dan temanku di sini akan membantumu. Siapa namamu?"
Namun, Remaja itu enggan menjawab. Hanya menatap kosong pada sekeliling. Orang di belakang lantas mencerca, "Dia Jemija, dia pembawa sial! Anak aneh! Dia monster yang menyebabkan semua ini!"
"Diam! Kami tidak bertanya padamu!" hardik Czou.
Jekha yang terasa perangainya agak berubah datang mendekat. Ia melayangkan lirikan tajam pada orang di belakang hingga dia menciut kemudian dengan sabar mengusap punggung remaja yang gemetar. Czou di sebelah pun ikut tergerak memberikan usapan.
"Kita pergi dari sini, ya?" ajak Jekha hati-hati.
Dia tidak mengangguk atau mengiakan, tetapi mengikuti Jekha yang perlahan berdiri. Selagi membawa remaja itu menjauh, Jekha mengirimkan sinyal yang langsung dipahami Dyovor. Seniornya tinggal di sana untuk membereskan kekacauan.
Cukup lama Jekha membiarkan remaja tersebut termenung dalam perjalanan mereka. Sampai akhirnya dia membuka suara, mengucap terima kasih dengan lemah.
Jekha mengangguk senang sampai matanya berbentuk bulan sabit. "Kamu aman bersama kami, kita semua sama denganmu."
"Benarkah?"
Czou menyahut ceria, "Iya! Lebih baik jangan dipikir-"
Namun, Jemija mendadak tersungkur. Ketika Jekha ingin kembali memegang remaja itu, yang dirasakannya badan Jemija sangat panas. Belum sempat ia memanggilnya, Jemija sudah berlari kalang kabut. Arah larinya sangat acak sampai-sampai tanaman hias di taman kota berceceran tertabraknya.
Jekha dan Czou berusaha menyusul, tetapi Jemija seperti kerasukan makhluk tak kasat mata yang membuatnya menggila. Peluh Jekha menetes dengan cepat, ia terselimuti kekhawatiran. Tempat ini merupakan ruang publik dan Jekha sangat cemas remaja tersebut kehilangan kendali di sini.
Pendengarannya menangkap suara besi yang berbenturan. Jekha bergegas menuju sumber suara. Akan tetapi, saat sampai di sana ia mendapati pemandangan mengiris hati. Jemija pingsan dan bercak darah serta bulu-bulu bertebaran tak jauh dari lokasinya.
Garpu taman menancap pada burung gereja yang malang.
.
.
.
曾祖父 - Zēngzǔfù+
Kakek agung/Kakek besar+
先生 - Xiānshēng+
Guru/Tuan+
Sprinkler+
Sistem otomatis penyiraman air+
Bersambung
This chapter quite hard
Jangan lupa vote dan komen
Sekian dan Terima kasih
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top