3. Semua Kemunculan

Sepetak bangunan putih tulang hampir lusuh tak terawat beratapkan susunan seng diguyur guguran daun oranye. Meski penilaian pertama akan jatuh pada bangunannya, tetapi pelataran tempat kecil itu sangat sedap dipandang mata. Beberapa pot tanaman tertata horizontal mengikuti panjang muka tembok. Daun dari pohon birch yang berserakan telah disisih membuka jalan.

Tempat ini mungkin biasa saja, tetapi memberikan rasa aman untuk Jekha singgahi berlama-lama.

Tidak ada lonceng seperti klinik pada umumnya ketika ia membuka pintu. Pandangannya langsung disuguhkan dengan mayoritas benda bernuansa putih. Beserta sosok dalam jas putih panjang yang berkacamata.

"Oh sudah istirahat ya?"

"Iya kak," jawab Jekha yang masih di dekat pintu.

Sosok tersebut bergegas melepas jasnya. Tanpa arahan yang mengiringi mereka, keduanya berjalan lebih dalam ke tengah ruang kesehatan hingga bertemu pintu yang sebidang dengan pijakan. Jekha menanti gilirannya turun ke bawah.

Walau hanya empat buah tembok kaca yang memasukkan cahaya matahari dari luar ke dalam, Jekha bisa melihat ruang bawah tanah ini lengkap dengan perabotan yang mengisi. Sampai bunyi lampu yang dinyalakan terdengar, ruangan itu seketika terang seperti biasanya.

"Kejadian itu ... kamu yakin dia melihatmu, bukan kamu yang tidak sengaja memberitahu?" tanyanya dengan alis terangkat.

Jekha mengembuskan napas murung. "Kak Dyovor, malam itu selesai menolongnya, dia tiba-tiba berada di dekatku! Padahal yang kuingat Deadly Shadow meninggalkan dia yang 10 meter jauhnya dariku untuk menyerang," tutur Jekha sembari mendesah lelah.

"Aku sudah membodoh-bodohinya, tapi Kak, tahu tidak? Dia malah bisa menjelaskan bagaimana aku menggunakan kekuatan!" tambahnya sangat bersungut-sungut. "Ah, aku harus bagaimana?!" Jekha mengubur wajahnya yang memiliki garis-garis tegas layaknya patung Moai di pulau Paskah.

Dyovor berpangku tangan, matanya yang berada dalam bingkai kacamata tengah menyipit, menimang cerita janggal yang telah mantan adik kelasnya alami. Dia terlihat menggeleng-geleng, kemudian menunjuk Jekha. "Katamu, kamu tidak sadarkan diri sehabis kehilangan kendali?"

Jekha buru-buru mengangguk. Dyovor berdeham panjang hingga tak terdengar, pemuda itu telah mengonfirmasi peristiwa yang lebih aneh dengan kerutan di keningnya. Dalam satu malam saja sudah memaksa Dyovor berpikir sekeras ini.

"Karena ... apa?" tanya Dyovor sembari menekuk dahi. "Kamu sudah melenyapkan Deadly Shadow sebelum makhluk itu mendekat, kan? Jadi tidak mungkin dia berhasil menganggu sarafmu dari jarak jauh."

Jekha meregangkan otot yang kaku sejak semalam dan bersandar pada kursinya. Tanpa sadar Jekha meremat-remat kecil dengkul ketika mengingat lagi salah satu kondisi terlemahnya selama hidup.

Ia dengan bodohnya baru menyadari keadaan Revan saat telah berada di apartemen, walau hal itu sedikit bisa mengurangi beban yang menancap di pundaknya. Wajah Revan terlihat sangat baik-baik saja--sialnya juga sangat tampan di bawah sinar rembulan. Tidak tampak goresan atau luka di wajah remaja Tiongkok tersebut. Dari pergerakannya dan Jekha agak malas mengakui ini, juga wangi tubuhnya, Revan masih fleksibel dan tidak tercium bau obat merah menyengat yang tabibnya oleskan pada Jekha di lengan atas.

Jekha meraba pelan luka yang telah mengering karena tergesek tanah kala rubuh. Mata Jekha menatap kosong di depannya dan berkata, "Aku juga tidak mengerti."

"Baiklah, kemari dulu, aku ingin melihat kepalamu," ujar Dyovor meminta Jekha mendekat.

Bunyi besi beradu beton tercipta lantaran Jekha menggeser kursi lipat besinya ke hadapan Dyovor. Ia menyengir tak bersalah mendapati raut tidak mengenakkan pemuda yang lebih tua akibat kelakuannya. Kini mereka hanya terpaut setengah meter kurang. Jekha hampir tidak berkedip menyaksikan sinar biru keunguan memenuhi mata mantan kakak kelasnya.

Melalui kemampuan kognisi saraf--Neyroznan, Dyovor mampu melihat dan menggerakkan saraf seseorang. Ketika kekuatan itu aktif, mata Dyovor berubah sepenuhnya memendarkan biru keunguan yang tenang. Bagaikan mesin pemindai, semua aliran saraf tidak akan luput dari penglihatan.

Wajah Dyovor sekejap mengerut saat menyipitkan mata pada satu titik. Dia bergumam, tak peduli pada Jekha sempat membalasnya atau tidak, "Di sudut saraf otakmu ada gumpalan kecil asap?"

"Makanya kalau merokok jangan disedot semua asapnya!"

Jekha hanya memutar bola mata malas menerima ceramahan Dyovor yang mungkin tidak akan habis.

Dyovor menyudahi pemeriksaannya dan matanya kembali seperti semula. Pemuda itu menyempatkan menepuk kecil pucuk kepala Jekha sebelum lanjut berkata, "Coba bawa anak itu, kalau dia memang seperti yang kamu duga, aku perlu memeriksanya."

Jekha berdiri dari kursinya, mengembuskan napas dari mulutnya beberapa kali seolah-olah mengeluarkan asap yang diketahuinya ada dalam otak. Ia kemudian melipat kursi besi dan menaruhnya bersandar pada tembok. "Sepulang sekolah, aku akan ke sini lagi," ujar Jekha saat menengok ke belakang. Dyovor pun mengikutinya kembali ke atas.

"Kutunggu, kita memeriksanya di atas saja," balas Dyovor mengonfirmasi.

______________

Dengan dua langkah ke belakang, Jekha yang menyimpan tangan di saku, meringis diam-diam. Sepertinya dia memang bukan aktor yang baik untuk melanjutkan sandiwara ini. Bisa dibilang ia pembohong yang masih punya hati, tetapi keteledoran menyelamatkannya. Sungguh Jekha tidak tahu harus bersyukur atau bersalah saat Revan dengan sendirinya pergi ke klinik kesehatan Dyovor karena ulahnya. Betul sekali! Karena dirinya. Entah darimana rencana seperti 'tidak sengaja mendorong Revan hingga terantuk pinggiran ubin' datang. Satu hal yang pasti Jekha memang memiliki masalah di dalam otaknya.

"Takdir kita sepertinya buruk, entah itu kamu atau aku, salah satu di antara kita pasti terluka," ucap Revan memandangi sikut dalamnya yang tengah merembes darah. "Mulai besok menjauhlah."

Jekha menggaruk belakang kepala, ia tersenyum getir. "Aku minta maaf ...."

"Iya-iya, kamu sudah bilang itu dari tadi." Revan menghentikan langkahnya menunggu sosok perapal maaf yang tengah menyembunyikan wajah.

Oh ayolah, dia yang di malam itu sangat bangga dengan wajahnya malah mengumpet! gerutu Revan dalam hati.

Alhasil Jekha menyamakan langkah dengan Revan, mengantar pemuda tersebut ke depan bangunan putih tulang lusuh. Ia melongok sambil memainkan mata ketika Revan masuk klinik. Kendati mantan kakak kelasnya hanya menatap Jekha aneh, tidak menerima sinyal yang matanya kirimkan.

Tanpa basa-basi Dyovor langsung mendudukkan Revan di kasur pasien. Pemuda berusia 20 tahun itu dengan sigap mengambil peralatan medis. Keduanya meninggalkan Jekha yang terpaku kikuk tak tahu harus berbuat apa.

"Pendarahannya banyak juga, terkena apa?" tanya Dyovor dengan nada yang ramah.

Revan menghela napas lelah. "Kena ujung ubin." Kemudian dia mengarahkan jempolnya pada Jekha yang langsung berjengit. "Dia penyebabnya."

Dyovor seketika mengangguk antusias. "Dia memang walking-disaster, kamu harus hati-hati," cibirnya mengabaikan tatapan Jekha yang merasa dikhianati.

"Oh iya, kamu mau diperban? lukanya cukup lebar," tawar Dyovor menarik lurus lengan Revan.

Dia mengangguk dalam diam. Pandangan Revan kini tidak terlepas pada tangan terampil Dyovor yang memutar perban mengelilingi lengannya. Kecekatan Dyovor di tengah melaksanakan tugas medis memang tidak usah diragukan lagi sehingga saat Dyovor mengangkat matanya dari perban, detik itu juga dia mengaktifkan kekuatan pada Revan.

Jekha menahan napas begitu pemindaian sedang terjadi. Mata Dyovor agak melotot, mungkin memaksimalkan penglihatan di waktu dan kondisi yang terbatas. Akan tetapi, Jekha menyaksikan kening Dyovor berkerut tak nyaman.

Pemuda paling tua di ruangan berkedip-kedip cepat. Kekuatannya telah lepas lantaran Dyovor syok dengan apa yang dia lihat di kepala remaja seusia Jekha. Kabut ungu yang sesak menutupi susunan saraf milik Revan. Aura yang dibawa dalam gulungan kabut itu hampir sama dengan yang dia temukan di Jekha, tetapi terasa penahan yang sangat kompleks.

"Sudah selesai?"

Dyovor tersadar dari keterkejutannya dan berkata, "Ah iya sudah, tinggal kuikat-"

"Kak Jekha, Kak Dyovor! Gawat! Di luar ... anak basket, melayang!"

Semua orang yang berada dalam klinik tersentak. Netra Dyovor melebar syok. Tangan yang sudah siap mengikat perban Revan, kini mengambang di udara. Berita yang dibawa pemuda dengan kekuatan melompat cepat--Pryzhok bahkan telah menggugah Jekha berlari ke sana.

Dyovor tidak sempat mengucap apa pun pada pasien yang sedang dalam perawatannya. Dia bergegas ke tempat di mana kehebohan terjadi.

Dalam gedung olahraga indoor tersebut, seluruh mata pemain basket memandang tak percaya ke atas. Sosok yang tengah mengapung dan tak sadarkan diri hilir-mudik di rangka atap baja. Sontak Dyovor melemparkan bom asap. Kepulannya menyentuh detektor asap yang jika terendus kebakaran menyebabkan bel darurat menggema. Beberapa pasang mata yang sempat menonton kejadian di luar nalar refleks menyelamatkan diri dari apa pun yang bel darurat peringatkan.

Menyisakan Jekha yang segera mencari alas untuk siaga kalau tiba-tiba remaja itu terjun bebas. Maniknya menyisir seluruh lapang dan menemukan matras hitam ukuran satu koma dua kali tiga meter yang biasa digunakan senam lantai. Ia mengirimkan pengaruh telekinesisnya di matras tersebut hingga pinggirannya berpendar keunguan lalu menerbangkan ke bawah remaja yang mengapung. Di sisi lain kilatan cepat meninggalkan angin ungu di tempat dari gerakan seseorang yang tengah melompati setiap pagar penghalang di kursi penonton sampai mendekati target melayang. Dia melompat dari tribun paling atas menuju teralis di tengah gedung, menangkap sosok melayang tersebut.

"Jerri di bawah sini!" teriak Jekha yang langsung mengarahkan matras dengan telekinesis untuk pendaratan.

Jerri melakukan tolakan dari kerangka atap, kemudian berpijak pada papan ring basket dan melakukan pendaratan di matras yang Jekha siapkan. Dyovor yang mengamati cemas langsung mendatangi Jerri dan remaja melayang. Petugas kesehatan muda itu bergegas memeriksanya.

Jekha menatap sedu wajah pucat laki-laki yang kemungkinan berusia di bawahnya. Sinar ungu meredup di pinggiran tubuh remaja tersebut. Ia mengenali yang satu ini, seorang pemilik kekuatan telah mendapatkan kemampuan. Hanya saja munculnya kekuatan itu hampir membahayakan dirinya sendiri.

Tangan Jekha menyentuh pundak Dyovor, mereka saling bertemu pandang, Jekha dengan netra yang sendu berkata, "Kak ini ... muncul tiba-tiba, kita tidak bisa menyembunyikannya."

Dyovor tersenyum pahit menyingkirkan telapak Jekha. "Kita harus siap untuk kemungkinan terburuk."

.

.

.

Bersambung

Kira-kira Jekha punya masalah otak apa ya? Kayaknya samaan ma kita, agak agak 🙃

Jangan lupa vote and comment yawww

Sekian dan Terima kasih

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top