Part 21

Sejak insiden penyerangan yang terjadi, Jihyun selalu menghabiskan waktu di rumah kedua orang tuanya. Bukan saja karena rasa khawatir kedua orang yang sangat menyayanginya, tapi gadis itu tak ingin terlalu banyak merepotkan teman-temannya. Sekalipun, dalam kondisi ini, ia sudah sangat menyusahkan keluarganya sendiri dan Keluarga Choi.

Dengan beragam fasilitas yang dimiliki, orang berpikir seorang Nam Jihyun bisa bermain piano, melukis, memanah, atau beraktivitas lain yang menyenangkan. Namun, semua itu sama sekali tak menarik minatnya. Dalam suasana yang tidak nyaman, gadis itu lebih banyak menghabiskan waktunya duduk di halaman dan mendengarkan musik instrumental.

Guk guk guk!

Jihyun terperanjat kala terdengar gonggongan anjing di sekitarnya padahal keluarganya tak memelihara anjing. Meskipun tak terlalu yakin dengan asal suara, gadis itu meninggalkan bangkunya dan berlari ke arah pagar. Tak butuh waktu lama untuk mendapati seekor anak anjing shih tzu berbulu hitam yang berguling di depan pagar.

Saking gemasnya, Jihyun mengangkat anjing kecil itu dan membawanya masuk. Kalaupun ada pemiliknya, ia akan mengembalikannya nanti. Bukan sekarang karena ia butuh teman.

"Hi! Siapa namamu?"

Guk guk guk!

Jihyun reflek menepuk keningnya. "Iya, ya. Kau tak bisa bicara. Kalau ada temanku pasti aku akan ditertawakannya karena mengulang hal bodoh."

"Bagaimana kalau kau kupanggil Mimi. Aku pernah mengenal anjing yang mirip denganmu dan namanya Momo," ucap Jihyun tanpa menunggu jawaban, "Jadi, sampai pemilikmu datang, kau akan kupanggil Mimi. Okay?"

Anjing kecil itu dibawa Jihyun masuk ke dalam rumahnya dan didudukkannya di bangku kosong, tempat gadis itu menghabiskan waktu di halaman.

"Mimi, mau dengar ceritaku?"

Guk guk!

Senyum simpul terkembang di bibir Jihyun dan gadis itu mengusap bulu-bulu halus anjing bermoncong pendek.

"Aku pernah pergi ke Gyeongju bersama teman-teman kampusku untuk kegiatan kemahasiswaan. Desa yang jauh dari hiruk pikuk Seoul dan sangat indah. Aku tidak pernah menyesal memilih desa itu sebagai tujuan kami. Bahkan, di malam hari aku bisa melihat rasi bintang dengan jelas. Tentunya, sebelum kembaranmu—Momo—datang dan mendorongku ke kubangan," cerita Jihyun antusias, "ehm ... tapi, sebenarnya bukan Momo yang ingin kuceritakan.... Kyungsoo. Ya, namanya Kyungsoo. Dia adalah pria menyebalkan yang sayangnya aku sudah tertarik sejak orientasi mahasiswa. Mengetahui sikap ketusnya yang tanpa alasan, sempat membuatku ilfeel, tapi akhir-akhir ini kami menjadi sangat dekat. Ia begitu baik, tidak hanya mengantarku pulang. Hampir setiap hari kami makan malam bersama, dari Myeong-dong sampai Tongin market. Kadang, kami bermain basket malam-malam. Kupikir dia lemah, ternyata dia lebih jago dariku. Ya, semua itu sebelum insiden antara aku dan ibunya. Aku jadi cemas, apakah mendapat perlakuan baik dari seseorang itu adalah tanda ia akan pergi darimu? Apa itu artinya kebersamaan yang begitu indah hanya terjadi dalam waktu sangat singkat?"

Jihyun tersenyum masam dan menunduk dalam. Gadis itu saling menautkan jemarinya. Mungkin orang akan menganggapnya gila, tapi ia benar-benar hancur karena kehilangan orang-orang yang berharga dalam semalam. Air matanya perlahan menetes.

"Apakah aku serakah kalau aku menginginkan Kyungsoo dan teman-temanku ada di pihakku?" gumam Jihyun di sela tangisnya yang semakin keras. Saking banyaknya air mata yang mengalir, usapan tangan tak mampu mengeringkan kelopak yang sudah basah.

"Kau tidak serakah sama sekali."

Suara itu sontak menghentikan rengekan Jihyun. Netranya yang sembab mendapati pria yang akhir-akhir ini selalu muncul di hadapannya sedang berjongkok seraya menawarkan selembar tissue.

Tak mendapati respon dari sang Gadis, pria itu mengangkat tangannya untuk mengusap pipi Jihyun yang sudah basah. "Tapi, jangan sakiti hatimu dengan mengharapkan sesuatu yang tak mungkin kau miliki."

***

Plaaak!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi wanita bermarga Go. Karyawan yang berada di sekitar ruangan direktur pun mulai berbisik. Terdengar banyak spekulasi alasan mengapa seorang penerus Keluarga Do melakukan tindakan tak beretika pada wanita yang beberapa tahun lebih tua darinya.

"Untuk ibuku dan temanku."

Tubuh sekretaris Go bergetar. Wanita itu memegang pipinya yang merah, tercetak bekas tangan si Penampar. Padahal masih sebuah tamparan, tapi wanita itu sudah tampak tak berdaya. Kyungsoo tahu, tak seharusnya ia main tangan pada perempuan. Namun, ini jauh lebih ringan ketimbang siraman kopi panas ataupun air keras.

"Mengapa Anda menamparku, Tuan?"

"Akhiri hubunganmu dengan ayahku."

Suara karyawan lain semakin ramai terdengar dan hal itu mengusik Tuan Do yang masih berada di dalam ruangannya hingga pria itu keluar.

"Baguslah kalau ayahku sudah keluar. Sekalian saja aku umumkan, wanita yang menjadi selingkuhan ayahku bukan Nam Jihyun tapi Go Hana, sekretaris pribadi ayahku tercinta," jelas Kyungsoo dengan lugas. Ia tak peduli dengan tatapan tajam ayahnya ataupun wajah pucat wanita di hadapannya.

"Apa sikapmu pantas dilihat sebagai putra pemilik Do Group? Kau sama sekali tidak tahu cara menghargai perempuan!" hardik Tuan Do dengan suara lantang.

"Apa pantas appa mengkhianati eomma dan menyeret nama gadis yang tak ada sangkut pautnya dengan perilaku appa yang tidak bermoral?" tantang Kyungsoo tanpa menurunkan volume suaranya.

Tuan Do menyadari pandangan karyawannya yang menatap pria itu dengan wajah tak percaya. Tak ingin namanya semakin rusak, pria itu berteriak mengusir semua orang yang tak ada urusan dengannya.

"Kita bicara di dalam."

Kyungsoo tertawa sinis dan pria itu mengikuti kemauan ayahnya untuk menjaga privasi mereka. Walaupun Kyungsoo tak sabar untuk mengungkapkan fakta ini pada dunia. Ia tak bisa berdiri dibalik sandiwara ayahnya sendiri. Setelah pintu ruangan yang berada di lantai teratas itu tertutup, Kyungsoo mengutarakan apa yang menjadi alasannya menginjakkan kaki ke tempat ayahnya.

"Ceraikan eomma dan akui siapa wanita yang bersama appa malam itu."

"Lancang sekali ucapanmu. Soojin tidak becus mendidik anak. Untung aku hanya memiliki satu anak darinya."

Kalimat singkat Tuan Do benar-benar membuat Kyungsoo geram. "Bukan eomma yang tak bisa mendidikku, tapi aku tak punya figur ayah."

"Huh. Kau bicara seakan kau paling benar. Aku akan menceraikan eomma-mu tapi tidak sekarang. Perusahaan ini bisa hancur."

Kyungsoo mendengus. Di mata sang Ayah, perusahaan ini memang jauh lebih penting dari dirinya atau bahkan ketenangan jiwa ibunya. Ucapan pria itu benar-benar menegaskan posisi Kyungsoo di matanya.

"Kau egois. Aku akan meminta eomma untuk menuntut cerai dari appa."

Tuan Do tampak tak terusik. Pria itu tertawa nyaring dan berujar, "Kurasa Soojin lebih pintar darimu. Ia tentu masih ingin menjaga stabilitas Do Group. Perusahaan yang dibangun oleh keringat leluhur Keluarga Do dan Park."

Bukannya ia tak peduli pada nenek moyangnya, tapi ibunya jauh lebih penting. Kali ini, Kyungsoo bertekad, jika benar eomma-nya tak mau bercerai, maka ia akan mundur. Akan tetapi, jika sang Eomma sependapat dengannya, ia akan mengupayakan segala cara untuk memisahkan kedua orang tuanya.

"Kalau begitu, cukup akui kalau selingkuhan appa adalah sekretaris appa sendiri. Jangan seret orang yang tak berdosa!"

"Mengakui katamu?! Kau ingin merusak nama besar perusahaan ini. Mau kau buat jadi berapa nilai jual saham Do Group? Kepercayaan relasi kita akan hancur dalam semalam jika aku mengatakan semuanya. Kau pikir perusahaan ini hanya tentang aku, kau, dan eomma-mu?"

"Itu adalah nilai yang harus appa bayar."

"Kau egois."

"Appa lebih egois. Apa Appa pernah memikirkan ini sebelum berselingkuh dan merusak nama baik orang?"

Silakan saja kalau karyawan Do Group ataupun para relasi akan menganggapnya nir-empati. Ia tak bisa membiarkan perusahaan ini berdiri tegak, tapi menghancurkan kehidupan orang lain. Untuk apa juga ia mewarisi sesuatu yang tumbuh dari penderitaan orang tidak bersalah?

"Kalau appa tak mau bicara, biar aku yang mengatakan kenyataan ini."

"Bocah berengsek! Kau tidak akan pernah pantas duduk di kursiku dengan cara pikirmu yang dangkal dan egois. Aku sangat malu memilikimu sebagai anak."

Kabut emosi sudah memenuhi kepala Tuan Do. Untuknya, Do Group adalah peninggalan leluhur yang berharga dan ia akan menjaganya sekalipun keluarganya sendiri akan terluka. Dan ... Kyungsoo sangat memahami orientasi tersebut.

"Baik. Anda tak perlu menganggapku sebagai anak mulai sekarang. Begitu juga sebaliknya. Saya permisi, Tuan Do."

***

Kyungsoo melangkah masuk ke salah satu ruang backstage berukuran sedang. Pria itu merasa sedikit tak nyaman, tapi ini adalah jalan yang dipilih. Di sana, ia disambut oleh orang kepercayaan keluarganya.

"Tuan muda, kami sudah siap untuk Anda."

Selain sekretaris pribadi, Keluarga Do memiliki seorang kepercayaan yang dikenal sebagai Sekretaris Jung. Kalau Go Hana tak lebih dari 5 tahun bekerja pada Do Group, Sekretaris Jung sudah mengabdikan diri lebih dari usia Kyungsoo sekarang. Semenjak isu perselingkungan ayahnya, pria itu mengambil sisi untuk berpihak pada Nyonya Do, membuat Kyungsoo yakin bahwa pria itu bisa menjadi salah satu orang kepercayaan yang mendukungnya secara personal.

"Anda terlihat sangat berbeda hari ini. Anda sudah dewasa dan sangat berkharisma," puji Sekretaris Jung kepada penerus Keluarga Do.

"Terima kasih, tapi Anda tahu kalau aku membenci pujian. Itu melemahkanku."

"Baiklah, tinggal Anda anggap saja ini tak berarti," ujar Sekretaris Jung santai dan tetap sopan. Meskipun Kyungsoo seribu kali menyatakan ketidaksukaannya pada pujian, seribu kali juga Sekretaris Jung akan memujinya.

Pria itu memperbaiki letak kaca mata bulatnya sebelum lanjut bicara, "Suasana di luar kantor cukup chaos. Mungkin, Anda sendiri sudah melihat nilai jual saham Do Group yang terjun bebas. Saya harap, draft yang saya buat bisa membantu Anda bisa mengendalikan ini semua."

Kyungsoo tersenyum simpul, ia menerima berkas yang disodorkan Sekretaris Jung sebelum masuk ke area stage auditorium Seoul Trade Tower dengan lampu sorot yang menyilaukan dan belasan kamera menghadap padanya. Pria baya itu mengekor di belakang Kyungsoo sebelum mempersilakan Tuannya untuk berdiri di podium dan ia mundur beberapa langkah.

***

Sepulang dari konferensi pers yang dihadiri, Kyungsoo segera kembali ke rumah sakit dan memastikan kondisi ibunya. Ia khawatir, ada kata-kata yang disampaikan di publik, tapi tidak berkenan di hati ibunya.

"Eomma, biar kubantu. Jangan lakukan semuanya sendiri," ujar Kyungsoo mendapati Eomma-nya yang berusaha memperbaiki sudut brankar untuk duduk.

"Kyungsoo-ya, eomma bisa sendiri," tolak ibunya.

Namun, Kyungsoo bergerak lebih cepat, pria itu menemukan tuas di sisi kanan brankar dan memutarnya hingga ibunya merasa nyaman.

"Eomma melihat konferensi pers yang kau adakan, tapi terima kasih sudah menjadi berani. Eomma sangat bangga padamu, Nak."

Seulas senyum tersungging di bibir Kyungsoo. Ibunya selalu menjadi sosok yang membanggakannya apapun yang terjadi. Walaupun, ia sadar, hal ini juga berrisiko terhadap perusahaan yang berarti untuk ibunya. Sementara itu, Kyungsoo yakin, ayahnya tentu akan memaki-maki tanpa henti.

"Aku merasa bersalah pada putri keluarga itu. Kalau saja, Eomma tak gegabah."

Kyungsoo mengusap tangan ibunya lembut. Tidak ada satupun yang tahu siapa wanita sang Appa sebelum kejadian di ruang CEO Do Group terkuak. Tidak Kyungsoo ataupun ibunya. Memang mereka harus melalui jalanan terjal ini untuk sampai ke sana.

"Setelah sembuh, Eomma akan mengunjungi rumah keluarga itu. Meskipun Eomma tak mengenal mereka secara personal, Eomma perlu maaf dari mereka."

"Terima kasih, Eomma."

"Kenapa kau yang berterima kasih?"

"Aku senang dengan niat baik, Eomma," ucap Kyungsoo seraya memeluk erat ibunya.

Ya, Kyungsoo turut merasa bersalah, mengingat seberapa tak acuh dirinya pada Jihyun selama ini. Tak hanya setelah insiden penyiraman, bahkan sejak informan ibunya memberikan berita yang tidak akurat. Kyungsoo sendiri tak yakin, gadis itu masih bisa memaafkannya atau tidak.

"Apakah Jennie tak kemari lagi?" tanya Nyonya Do tiba-tiba, membuyarkan lamunan Kyungsoo.

"Dia sedang menyiapkan keberangkatannya ke Melbourne, Eomma."

"Benarkah? Kalau begitu, kalian akan segera LDR."

"Eomma, aku tidak dalam hubungan yang spesial dengan Jennie. Dia sudah kuanggap seperti adikku."

"Kalau bukan Jennie, siapa gadis yang membuatmu sering tersenyum sendiri?"

Kyungsoo terhenyak. Memang sulit menutupi banyak hal pada ibunya. Kondisi sudah membaik, tapi bukan berarti ia bisa menyampaikan semua dalam satu waktu.

"Nanti. Nanti, Eomma. Setelah semua membaik, aku berjanji akan membawanya pada Eomma."

***

Mata Jihyun menyipit, memperhatikan keramaian Seoul dari sebuah kafe di satu sudut pusat kota. Akhir-akhir ini, hidupnya sangat berat, ia tak pernah menyangka kalau dirinya terjebak dalam lingkaran setan pertengkaran Keluarga Do dan semua tersebar ke publik dalam waktu singkat. Sekarang pun, ia masih mengenakan topi dan kaca mata hitam layaknya selebritis untuk menghindari kemungkinan serangan orang-orang yang membencinya. Terlepas, klarifikasi sudah disampaikan oleh Keluarga Do.

"Apa aku perlu operasi plastik saja? Wajahku sudah tersebar di banyak konten di internet. Sungguh menyebalkan."

Lantas, gadis itu melanjutkan monolognya sembari menatap sisa kopi di cangkir putihnya.

Drt drt drt.

Getar ponsel di atas meja membuyarkan lamunan gadis itu. Keningnya mengernyit ketika menyadari bahwa ia tak mengenali nomor yang menghubungi.

"Halo."

"Nona Nam Jihyun?"

"Betul. Maaf, saya bicara dengan siapa?"

"Saya Nyonya Do. Bisa kita bertemu?"

Jihyun seperti disambar petir di pagi hari. Tidak sekalipun Nyonya Do menghuungi semejak kejadian tersebut. Bahkan, bertemu dengan putra Keluarga Do saja ia tidak bisa.

***

Tidak butuh waktu lama untuk Jihyun tiba di New Seoul St. Mary's Hospital Care dan menemukan kamar Nyonya Do yang mendapatkan penjagaan paling ketat. Jihyun berjalan keluar lift yang menuju lantai paling atas. Gadis itu tidak perlu repot-repot menemui resepsionis. Entah satu lantai ini sudah disewa atau bagaimana, salah seorang pria berpakaian hitam mendekatinya dan mengarahkannya menuju kamar yang ia yakini sebagai kamar sosok yang mengundangnya.

Ada rasa cemas dan takut yang tak dapat Jihyun jelaskan ketika kakinya melangkah masuk. Ia menunggu di ambang pintu ketika dilihatnya Nyonya Do sedang bicara dengan dokter.

"Nona Nam? Sebaiknya kau tidak berdiri di sana. Kemarilah."

Kedua tangan Jihyun bertautan, seolah menahan getar tubuhnya akibat rasa khawatir yang tak dapat dikendalikan. Sekalipun ia pernah mencoba masuk ke kamar rawat ini untuk menemui Nyonya Do dan Kyungsoo, nyalinya ternyata tak sebesar itu. Sikap Nyonya Do padanya masih memberikan efek traumatis.

"Sepertinya kau masih takut padaku. Kau bisa duduk di sofa kalau itu bisa menenangkanmu. Aku sudah sangat mengapresiasi keberanianmu datang kemari."

Jihyun mengangguk samar. Sebenarnya ia tidak terlalu mengerti alasan wanita itu mengundangnya. Kyungsoo sudah memberikan penjelasan, tidak ada alasan untuk mencecarnya lagi.

"A-apa kondisi Nyonya sudah lebih baik?" tanya Jihyun yang mulanya sulit untuk bicara. Kerongkongannya terasa kering hingga mengucap satu kalimat tadi terasa begitu sulit.

"Seperti yang kau lihat. Putraku mengurus semuanya dengan sangat baik," tukas Nyonya Do, "kau mengenal putraku 'kan? Do Kyungsoo."

Sontak Jihyun mendelik, ia merasa tidak nyaman dengan penuturan wanita tersebut. Wanita itu memang tidak sedang memaki, tapi ucapannya sama sekali tidak bersahabat.

"Benar, kami belajar di kampus yang sama," jawab Jihyun tanpa terbata lagi.

Seulas senyum tersungging di bibir wanita itu. Fitur wajahnya sangat mirip dengan Kyungsoo. Bibir penuh serta mata bulatnya membuat wanita itu tampak sangat cantik dan berkharisma.

"Apa kau sudah bisa menebak arah pembicaraanku?"

Jihyun menggeleng. Menurutnya, ia tak bisa bertindak gegabah dengan menyampaikan semua praduga yang sudah berterbangan di atas kepalanya bak awan. Salah bicara, ia bisa ditendang dengan tidak hormat dari tempat ini.

"Saya tidak bisa berasumsi, Nyonya."

"Kupikir kau cukup pintar. Informanku bilang, meskipun tak sepintar putraku, kau termasuk dalam dean list dengan berbagai kesibukanmu."

"Ya... cukup."

"Aku tidak lihai berbasa-basi sebenarnya. Kalau kau sudah mengenal Kyungsoo, sifatku tak jauh berbeda dengannya," ujar Nyonya Do diikuti tawanya.

Menurut Jihyun, tidak hanya wajah keduanya yang mirip, kesan pertama keduanya memang tidak jauh berbeda. Mungkin benar, anak pertama laki-laki akan lebih sering mirip ibunya ketimbang ayahnya, mengingat fitur wajah Tuan Do yang sama sekali tak mengingatkannya pada Kyungsoo.

"Kudengar kau sudah bertunangan dengan putra Keluarga Choi. Selamat, Nona Nam."

Untuk sesaat Jihyun menunduk, ia seperti tertangkap basah mencuri. Nyonya Do sama sekali tidak tampak seperti wanita dengan gangguan jiwa. Aura wanita itu terlalu mendominasi.

"Oh, itu ... Terima kasih."

"Lalu, kenapa kau masih memberi harapan pada putraku?"

Jihyun tersentak. Ia tidak siap mendapatkan intimidasi lagi dari wanita itu. Satu lagi, ia tidak pernah dalam posisi memberi harapan pada Kyungsoo. Hubungannya dengan pria itu sama sekali tidak ada harapan sejak awal. Meskipun, ia sendiri yang justru sempat berharap dengan perubahan sikap pria itu.

"Aku tidak yakin dengan perasaan yang putraku katakan tentangmu. Kurasa, ia hanya bias."

"Maksud Anda?"

"Hubungan kalian belum terlalu jauh dan kau sudah bertunangan dengan putra Keluarga Choi. Bukankah sebaiknya kau tidak menempatkan putraku sebagai orang ketiga?"

"..."

Alis Jihyun menukik. Gadis itu mencoba mencerna satu persatu kata yang terlontar dari wanita yang terduduk di brankar.

"Aku tahu, kalian sudah dekat sebelum pertunanganmu dan aku yakin pertunanganmu hanya untuk meredam berita yang beredar. Tapi, aku tidak suka melihat putraku dalam posisi seperti ini. Mengharapkan wanita orang lain, itu identik dengan wanita-wanita appa-nya. Terdengar ataupun tidak oleh media. Seperti yang kukatakan padamu sebelumnya, aku sendiri tidak yakin dengan kemauan putraku. Kuharap kalian tidak kembali bersama untuk sekarang."

Jihyun tercenung. Tak sekalipun Kyungsoo pernah menyatakan perasaan padanya. Namun, ucapan ibu pria itu seolah menjawab deretan pertanyaannya selama ini. Apa benar Kyungsoo juga menyukainya? Lantas, apa artinya sekarang jika Nyonya Do saja sudah memperingatinya untuk tak bersama pria itu?

***

Tidak ada kata yang mampu menggambarkan kelegaan yang Kyungsoo rasakan setelah ia menyelesaikan konferensi persnya. Ia sadar, tidak serta merta Keluarga Nam akan memaafkan kesalahannya dan semua dosanya akan terhapuskan. Akan tetapi, ia merasa sedikit lebih punya harga diri untuk bicara dengan Jihyun. Sebagai teman.

Tak seperti pagar rumahnya ataupun pintu elevator rumah sakit yang dijaga ketat oleh pria berpakaian hitam, kediaman Keluarga Nam terlihat sepi dan sunyi. Hanya ada seorang security yang berjaga di pos samping pagar hitam menjulang.

Kalau beberapa waktu lalu Keluarga Do sangat berhati-hati terhadap tamu tak dikenal, ia tak mendapatinya ketika keamanan memberikan beberapa pertanyaan yang sifatnya formalitas. Kyungsoo hanya ditunjukkan jalan menuju pintu utama berwarna kecokelatan.

"Oh, Sunbae," ucap Kyungsoo ketika pintu terbuka setelah ketukan ketiganya.

"Kau ... kenapa kemari?" sapa Minho sama sekali tak bersahabat. Pandangan seniornya sangat berbeda dengan saat mereka bertemu di rumah sakit, apalagi ketika keduanya terlibat di kegiatan kemahasiswaan.

Memahami posisi Choi Minho sekarang, Kyungsoo pun meminta izin, "Bisakah aku bertemu Jihyun? Ada yang harus kusampaikan."

"Apa lagi? Belum puas kau menyakitinya? Aku tidak bisa membiarkannya bertemu sembarang orang."

"Aku harus meminta maaf."

"Tidak untuk bertemu."

"..."

Mana bisa ucapan maafnya disampaikan lewat telepon atau pesan. Permasalahannya tidak sesederhana berebut potongan ayam terakhir di meja makan. Semua terlalu kompleks hingga menguras tenaga dan pikiran seorang Do Kyungsoo.

"Jihyun terlanjur terluka. Aku berterima kasih atas pernyataan yang sudah kau buat di publik. Tapi, ini sudah terlambat. Rasa kecewa padamu dan keluarga Do terlalu dalam."

"Aku tahu .... Ini salahku juga. Kumohon, izinkan aku untuk menyampaikan maaf secara langsung."

Minho mengusap wajahnya. Ia tahu kalau Kyungsoo keras kepala, tapi Jihyun juga sangat persisten. Sekali ia berkata tidak, itu artinya ia tak akan membiarkan Do Kyungsoo kembali dalam hidupnya. Meskipun hanya sebagai orang yang dikenal.

"Aku akan sangat berdosa ketika membiarkan mata Jihyun menangkap keberedaanmu setelah perlakuanmu dan Keluarga Do padanya. Masih untung mentalnya baik-baik saja sekarang, tapi itu bukan alasan aku akan lengah."

"..."

"Sempat terpikir setelah klarifikasimu, dia bisa pergi keluar tanpa beban. Tapi, semua hanya prediksi yang salah. Bibi bercerita kalau Jihyun justru menangis keras semalam dan ia bersumpah tak akan menemuimu."

Mata Kyungsoo membulat. Tak terbesit risiko dari rentetan kejadian ini akan membuat Jihyun menghindarinya. "Tidak mungkin. Aku yakin ada yang salah."

"Kau sudah berusaha. Hanya saja, muncul di hadapannya sekarang hanya akan menyakitinya dan aku tak mau itu."

Kyungsoo masih tak bergeming. Pria itu memberengut di tempatnya dan sesekali melirik ke dalam rumah. Berharap ada keajaiban sehingga Jihyun akan muncul dengan sendirinya. Namun, matanya justru menangkap seorang wanita anggun yang dikenalinya sebagai Nyonya Nam berjalan ke arahnya.

"Pulanglah, Nak."

Kalau dulu wanita itu tampak kesal pada Jihyun dan bersahabat padanya, kini ia tak menemukan ekspresi tersebut di wajah lembut itu. Nyonya Nam terlihat lelah dan ... frustasi.

"..."

"Sudah cukup putriku terluka. Aku tidak sanggup terus-terusan melihatnya tersakiti. Aku rasa kau akan sangat mengerti hal ini sebagai anak yang menyayangi ibumu. Tanpa bermaksud membela Minho, apa yang dikatakannya benar. Bertemu denganmu hanya akan mengingatkannya pada kekejaman ayah dan ibumu. Hal itu akan menyulitkannya untuk bangkit. Biarkan Jihyun hidup tanpa bayang-bayang keluargamu lagi."

Kyungsoo mendesah pelan. Ia paling tidak bisa memaksa orang tua. Sejak awal semua sudah menjadi kesalahan ayahnya, disusul olehnya dan ibunya. Setiap bagian Keluarga Do pernah menyakiti gadis itu begitu dalam. Konferensi pers yang dilakukannya juga bukan sebuah prestasi, sudah menjadi tanggung jawab sebagai pihak yang merusak nama baik Nam Jihyun.

Seolah menjamin Kyungsoo tak mencari jalan lain untuk masuk, Minho mengantar Kyungsoo sampai pagar.

"Sunbae, terserah kalau kau menganggapku tak tahu diri. Tolong sampaikan maafku pada Jihyun," ucap Kyungsoo sebelum berpamitan.

"Kau sudah dengar ucapan Nyonya Nam?" tanya Minho retoris.

"Atau, setidaknya, beri tahu aku saat Jihyun sudah siap menerima maafku. Aku akan menemuinya sendiri seperti niat awalku, tanpa perantara apapun."

Minho berdecih. Jika Kyungsoo melangkah lebih cepat, sehari saja, mungkin semua akan berbeda. Dalam kurun waktu satu hari, Jihyun menjadi jauh lebih membenci pria itu dan di waktu yang sama, Minho menyadari betapa dalam perasaan Jihyun hingga sanggup membenci Kyungsoo.

"Dalam hidup, memang kesempatan sering datang berkali-kali. Sampai-sampai orang terbiasa dan lupa kalau tidak semua kesempatan akan terulang. Seperti halnya hubunganmu dengan Jihyun. There is no second chance and that's the best to accept what the world offers you. It's deadlock, Kyungsoo."

***

Akhir yang panjang , sampai 3000 words, saudara-saudara.

Karena ini adalah final part, boleh dong komen-komen yang selama ini belum pernah. Ups. Yang udah sering komen juga boleh banget. Pingin tahu pendapat kalian tentang part terakhir cerita ini. Final tuh bikinnya lebih PR dari jurnal, ya. Wkwk.

Siapa tahu bisa menggenapkan ide untuk epilog. Btw, nggak janji kapan upload epilog karena pingin wrap up yang memuaskan buat aku pribadi. Hopefully, di akhir Februari, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top