Part 14
Setelah beberapa hari lebih banyak Kyungsoo habiskan di kamar, tepat di hari Senin ia merasakan tubuhnya lebih segar dan siap untuk kembali beraktivitas. Nyeri di lengan dan punggungnya tak seberapa terasa meskipun ia harus 5 jam nonstop mendengarkan penjelasan dosen di kelas. Bahkan, pria itu tetap aktif bertanya serta berdiskusi untuk beberapa topik yang dianggapnya menarik.
Sebagai sahabat baik Kyungsoo, Chanyeol tak habis pikir ketika mendengar kabar yang beredar. Kyungsoo seperti menghilang ditelan bumi setelah pria itu meninggalkan rumah Jongdae.
"Pintar. Makanlah yang banyak agar lukamu cepat pulih," ujar Chanyeol mengambil tempat di samping Kyungsoo seraya menepuk pelan punggung temannya. Selain tak ingin makan sendiri, ia juga penasaran bagaimana kabar temannya itu.
"Maaf, aku belum menghubungi kalian—IDOL."
Chanyeol mengangguk samar. Walaupun ia dan anggota IDOL yang lain sempat panik ketika Kyungsoo menghilang tiba-tiba. Setidaknya keberadaan pria itu sekarang bisa membuat mereka lega.
"Aku pikir tubuhku baik-baik saja, tapi keesokan harinya aku tak bisa bergerak jadi terpaksa dilarikan ke rumah sakit," cerita Kyungsoo tanpa ditanya. Lukanya kemarin tak serta merta cukup ditangani dengan antiseptik atau pereda nyeri biasa. Pria itu memang identik dengan sifat yang dingin, tetapi ia bisa jadi sangat terbuka tanpa diminta dengan orang terdekat.
"Astaga! Kau berangkat dengan siapa?"
Ini bukan ekspresi berlebihan. Chanyeol tahu Kyungsoo adalah anak tunggal. Ia tak dekat dengan sepupunya dan IDOL adalah satu-satunya lingkaran pertemanan pria itu. Kalau sampai IDOL tidak tahu, berarti pria itu mengurus sakitnya seorang diri.
Kyungsoo meringis. Ia bisa membaca kekhawatiran yang tersirat di wajah sahabat baiknya.
"Tenang. Paman Jung mengantarku ke rumah sakit. Selebihnya dokter keluarga yang merawat dan memastikan pemulihanku," jawab Kyungsoo tenang seraya melahap kembali potongan kimchi dari dosirak sederhana di meja.
"Siapa yang ke rumah sakit?!?"
Teriakan kali ini tentu tak mencuat dari bibir Chanyeol. Bukan juga anggota IDOL yang lain. Sontak, Kyungsoo dan Chanyeol menoleh, mendapati gadis dengan rambut berkuncir kuda menatap keduanya dengan wajah terkejut. Tanpa dipersilakan gadis itu diikuti seorang temannya, mengambil posisi duduk di depan Kyungsoo dan Chanyeol.
"Kyungsoo lah. Masa aku?" jawab Chanyeol seraya melirik ke arah temannya yang berusaha tak acuh.
Sementara mata gadis itu kembali fokus pada pria berwajah dingin di sebelah Chanyeol. Keningnya mengernyit, ekspresinya tampak lebih cemas dari siapapun di sana. Memang tak ada lagi ruam kebiruan di wajah tampan Kyungsoo, tapi gadis itu yakin masih ada sisa nyeri yang tak bisa ditangkap mata.
"Apa itu alasan kau tak mengangkat teleponku?" tanya sang Gadis dengan fokus mata yang belum terlepas dari Kyungsoo.
"Uhuk."
Kalau pertanyaan itu dilontarkan Jennie, Chanyeol mungkin akan bersorak atau tertawa mengejek. Namun, ini muncul dari bibir Nam Jihyun, tanpa raut kesal atau emosi berlebihan. Chanyeol hanya bisa tersedak sambil melempar tatapan bingung pada Sooyoung. Apakah ia sudah tertinggal informasi penting selama hampir seminggu ini?
"Aku tidak tahu," tukas Sooyoung dengan polosnya, mencuri atensi Kyungsoo dan Jihyun dalam waktu yang sama. Lantas, gadis itu tersenyum kikuk dan mempersilakan Jihyun untuk berbicara lagi.
"Pasti lukamu cukup parah sampai dirawat. Maaf, aku tidak menjenguk," ucap Jihyun penuh sesal. Gadis itu mendorong sebotol susu pisang yang baru saja dibelinya ke samping kotak bekal Kyungsoo. "Minum ini, ya."
Belum cukup mengejutkan dengan pertanyaan sebelumnya. Tindakan Jihyun kembali membuat Chanyeol kehilangan akal. Ia tak bisa lagi berpura-pura bodoh. Pria itu hanya melipat bibir ke dalam, menahan diri untuk tidak tertawa hingga Jihyun dan temannya berlalu untuk memesan makan siang.
"Jadi, kalian sudah sedekat apa?" goda Chanyeol pada akhirnya. Kyungsoo tak banyak bicara, tapi tangan pria itu refleks menjambak rambut mullet Chanyeol, hingga pria jangkung itu mengerang kesakitan.
***
"Ulah kalian benar-benar tidak bisa dimaafkan."
Jongdae tertawa terbahak-bahak mendengarnya, ia mengerti arah pembicaraan Kyungsoo. Chanyeol sudah bercerita panjang lebar akan fenomena aneh saat makan siang tadi. Sebuah kemajuan yang tidak secepat itu mereka prediksikan.
"Good progress, right?"
Berbeda dengan Chanyeol, Kyungsoo tak sampai main tangan pada Jongdae walaupun ia sangat kesal.
"Jadi, apa kau akan me-reschedule jadwal kencanmu?"
Mata Kyungsoo menyipit dan pria itu menatap sinis ke arah Jongdae, sang Penanya. "Sebaiknya, kalian berdua yang bertanggung jawab pada undangan itu."
Undangan yang dimaksud adalah ajakan kencan akhir pekan lalu. Malam setelah insiden penyerangan, Kyungsoo menginap di rumah Jongdae agar ibunya tak mengetahui luka di wajah dan tubuhnya. Nahas, tak hanya ada Jongdae di sana, berkedok rasa prihatin, Chanyeol datang ke rumah sahabatnya itu di Songpa-gu.
Awalnya, mereka berdua mendengar cerita Kyungsoo dengan hikmat, berempati akan ancaman yang diperoleh Kyungsoo hingga berniat melapor pada polisi. Namun, ketika mendapati sahabat mereka tertidur seperti penguin, keduanya membuka kunci ponsel Kyungsoo dan melancarkan sebuah ide impulsif.
"Dia merespon bukan untuk menerima ajakanku atau Chanyeol. Tapi, kau. Do Kyungsoo."
Kyungsoo mendengus kesal. Tanpa perlu Jongdae jabarkan, pria itu bisa melihat dari pancaran mata Jihyun siang tadi. Tidak banyak hal yang berbeda. Hanya, gadis itu tampak khawatir. Bukan pada Chanyeol, terlebih Jongdae, melainkan dirinya sendiri.
Jongdae menangkap mimik serius Kyungsoo. Ia merasa berhasil mengetuk hati pria yang sering berlagak dingin. Lantas, ia mendekati telinga sahabat baiknya, tanpa intensi untuk berbisik.
"Meskipun Jihyun menyelamatkan markas kita, sebenarnya gadis itu lebih banyak menyelamatkan nyawamu. Setahuku, kau adalah orang yang sangat tahu cara mengapresiasi. Apa Jihyun tidak berhak mendapatkan rasa terima kasih?"
Pertanyaan Jongdae membuat Kyungsoo terpaku. Manik mata Kyungsoo terarah padanya. "Ah, bullshit!"
***
Tak tak tak.
Fokus peserta kelas karate malam ini mendadak tersita pada sosok asing yang baru saja melangkahkan kaki masuk ke dalam hall. Bukan pria tampan bak dewa Yunani, mereka justru melihat seorang gadis berwajah imut dengan dress off shoulder bermotif leopard dengan warna rose gold, lengkap dengan kaca mata hitam berbentuk kotak. Gadis itu berjalan begitu percaya diri seolah ia adalah bintang malam ini.
Langkah gadis itu terhenti ketika mendapati pusat dari latihan hari ini yang berdiri di satu sisi hall. "Kau?"
"Apa kita pernah bertemu?" tanya Jihyun dengan wajah ragu.
"Oh, bitch. Forget it and I'll never remember as well."
Satu kata yang dikatakan gadis itu memantik perhatian lebih murid-murid Jihyun. Mana mungkin mereka terima guru kebanggaan mereka disebut bitch.
"Astaga! Kau gadis yang bersama Kyungsoo waktu itu."
"Yes!"
Riuh peserta kelas karate semakin menggema ketika Jihyun menyebutkan nama penggagas kegiatan mereka selama ini. Entah anggapan apa yang mulai berseliweran di otak mereka sekarang.
"Mencarinya?"
"Sudah jelas, di mana oppa-ku?"
Tak seperti sebelumnya, Jihyun tidak menghabiskan waktu untuk berdebat, tangannya menunjuk pintu yang terarah pada pantry dan ruangan lain yang disewa Kyungsoo sebagai ruang kerjanya dengan Jongdae.
"Thank you."
Belum sempat gadis itu menekan handle pintu, pintu terbuka dan menampakkan wajah pria yang menjadi alasannya untuk jauh-jauh pergi ke Cheongdam-dong. Mata hazel Kyungsoo menatap gadis itu terkejut.
"Bagaimana bisa kau ada di sini, Jennie-ya?
"Karena aku punya kaki."
Menyadari tatapan tak bersahabat peserta kelas malam ini, Kyungsoo menarik adik Junmyeon untuk masuk ke ruangannya. Ya, sebelum ada desas-desus aneh yang sampai ke telinga gadis itu.
"Oppa tidak suka aku datang ke sini?"
Kyungsoo mendaratkan pantatnya di sofa dan menjawab, "Bukan begitu, tapi daerah ini rawan. Apalagi pakaianmu cukup terbuka. Berbahaya, Jennie."
Bola mata Jennie berotasi malas. "Berarti berbahaya juga untuk bitch di luar sana."
"Jaga bicaramu. Mereka sudah mengenal daerah ini."
"Bukan bitches, tapi bitch dengan pakaian karate itu. Aku tidak menyangka kalian akan terlibat di dalam projek ini sementara kau tak mengizinkanku untuk ikut," keluh Jennie kesal. Ia sudah pernah mengajukan diri untuk membantu, tapi Kyungsoo tak merespon serius dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah keselamatan perempuan itu.
"Oh, Jihyun, dia adalah pelatih karate di sini."
"Aku tidak suka dengannya."
Kyungsoo menghela napas panjang. Setahunya, Jennie baru sekali ini bertemu dengan Jihyun dan gadis itu tentunya tidak memiliki alasan khusus seperti dirinya untuk membenci Jihyun.
"Baiklah. Kalau begitu, sekarang kau pulang dulu, ya," pinta Kyungsoo khawatir akan ada keributan setelah ini.
"Jangan minta aku untuk menghindari Oppa!"
"Jennie-ya ..."
Mata Jennie mulai berkaca-kaca, menghampiri Kyungsoo sampai sejauh ini adalah tindakan berani yang diambil gadis itu dan ia tak akan semudah itu menyerah. Apalagi setelah melihat keberadaan Jihyun. Cara Kyungsoo menatap gadis itu, membuat Jennie gerah. Ia merasa terancam.
"Apa Oppa tahu kalau aku memikirkan Oppa terus menerus selama ini?
"..."
"Aku pikir aku—" ucap Jennie kesulitan mengendalikan lidahnya, "aku menyukaimu. Tidak. Aku mencintaimu, Oppa."
Kyungsoo refleks mengusap wajahnya. Ia tak menyangka Jennie akan menyatakan hal semacam ini padanya. Bukannya ia tak menghargai perasaan Jennie, tapi bukan hubungan semacam itu yang diinginkannya dari adik seniornya.
"Don't fall in love with me!"
Kata-kata Kyungsoo terdengar sangat menyakitkan untuk Jennie. Tak hanya untuk gadis itu, melainkan juga gadis lain yang diam-diam menguping di balik pintu.
"Kenapa?"
"..."
"Kau ... jahat, Oppa!"
***
Seharusnya Jihyun hanya mengisi botol minum dan kembali ke hall, tapi pemandangan di hadapannya tak bisa membuatnya berlalu begitu saja. Pria yang dikenalnya sedang terbaring dengan kening berpeluh. Ia yakin, belum lama pria itu tertidur mengingat kedatangan seorang tamu beberapa waktu lalu. Jihyun mendekat untuk mencuri lihat wajah pria itu lebih dekat.
Namun, ia justru terkejut melihat apa yang selanjutnya terjadi. Bibir pria itu bergerak dan ia bisa mendengar lebih jelas apa yang diracaukan.
"Appa ..."
Air mata Kyungsoo mulai menetes dalam tidurnya, menyisakan perasaan iba kala Jihyun melihatnya.
"Appa ... jangan tinggalkan kami. Kami membutuhkanmu ... Appa ... Appa ..."
"Kyungsoo-ya. Bangunlah ... Kyungsoo-ya," ujar Jihyun seraya menepuk-nepuk lengan Kyungsoo. Ia khawatir.
Pria itu menggeleng semakin cepat seperti ketakutan. Jihyun segera menggoyangkan bahu pria itu untuk mengembalikan kesadaran hingga mata pria itu mulai terbuka.
"..."
"Kau tadi mengigau, minum dulu," ucap Jihyun seraya menyodorkan botol minumnya yang baru terisi.
Namun, pria itu tak menyentuh botol minum miliknya. "Stay away from me!"
Bukannya mendapatkan ucapan terima kasih, Jihyun harus mendengar respon yang jauh dari kata bersahabat dari bibir Kyungsoo. Pria itu menatap Jihyun dingin dan menepis tangan gadis itu yang berada di pundaknya.
"Kau ... kau ..."
Kyungsoo tak lagi peduli, pria itu berlari ke arah toilet dan membanting pintu dengan kasar.
Jihyun masih terpaku di tempatnya, ia bingung. Pertama, ia tidak tahu apa yang dimimpikan Kyungsoo barusan. Kedua, mengapa wajah pria itu kembali dingin padanya. Gadis itu sibuk merunut setiap kesalahannya sembari menunggu Kyungsoo keluar dari toilet.
"Kimbab girl, apa yang kau lakukan berdiri di depan kamar mandi sekian lama?" tegur Jongdae yang sudah memperhatikan Jihyun sejak beberapa saat lalu, "menunggu Kyungsoo atau sakit perut?"
"Yang pertama."
"Duduk saja di kursi. Wajahmu pucat, kau seperti orang sakit."
Refleks Jihyun menangkup wajahnya sendiri. "Tidak, aku baik-baik saja. Kyungsoo ... sepertinya ia baru saja mimpi buruk. Aku takut ... terjadi sesuatu padanya."
Jongdae mengangguk samar. Sepertinya pria itu mengerti sesuatu. "Apa ... ia menyebut seseorang?"
"Appa. Apakah ia punya permasalahan serius dengan ayahnya?" tanya Jihyun ragu. Ia benar-benar khawatir semenjak mendengar pria itu mengigau dengan suara parau.
"..."
"Jadi, Kyungsoo kenapa? Kenapa kau diam?"
Jongdae menggigit bibirnya, ia tak berani untuk menyampaikan apa yang sudah Kyungsoo ceritakan padanya. Ia tahu. Namun, bukan berarti ia berhak bicara.
"Lupakan saja! Fokus pada kelasmu," ujar Jongdae mengakhiri.
Sayangnya, Jihyun belum mau menyerah. Ia yakin, ini ada kaitannya dengan sikap Kyungsoo padanya selama ini.
"Aku pikir ... kita berteman. Apa aku tidak boleh mengetahuinya? Perhaps, I could help. Melihatnya seperti tadi, membuatku tak tega. Aku pikir ia punya trauma. Aku ... kasihan."
Langkah Jongdae yang sudah beranjak terhenti. Pria itu memejam untuk beberapa saat.
"Ya, betul. Kita berteman. But, don't ever pity him, he hates it."
***
Lebih dari setengah jam Jennie habiskan di dalam mobil untuk menangis tanpa meninggalkan Dosan-daero satu inchi pun. Gadis itu tak peduli kalau supirnya melirik dari kaca spion dengan sorot kasihan. Ia hanya perlu melampiaskan emosinya.
"Paman sudah melihat aku menangis sejak tadi, apa tak ingin bertanya?"
Pria tua yang disapa Jennie sebagai paman merespon, "Apa Agashi?"
"Ya, tentu kenapa aku menangis."
"Saya pikir ada yang melukai perasaan Anda."
Gadis itu tersenyum getir, tapi ia senang sopirnya mengerti kondisinya sekarang. "Tentu. Bayangkan saja, dia bersama perempuan lain."
"Siapa yang Anda maksud?"
Jennie mendengus. Apa yang diharapkannya dari sopirnya itu sementara ia belum pernah bercerita apapun pada pria tua itu.?
"Kyungsoo Oppa."
"Tuan Do teman kakak Anda? Saya pikir, ia adalah teman kakak Anda yang baik dan paling waras," jelas sopir Jennie dengan jujur. Ucapan itu justru membuat Jennie tak bisa menahan tawa. Ternyata otaknya bekerja dengan baik ketika menyukai Kyungsoo. Orang lain saja bisa menyadari bahwa Kyungsoo yang terbaik dari teman kakaknya.
Lantas, bukannya menumpahkan kekesalannya tentang Kyungsoo, Jennie justru membahas 1001 kebaikan pria itu yang menurutnya layak diapresiasi, mulai dari manner sebagai salah seorang anak konglomerat hingga kepedulian pria itu yang tak masuk kategori kaleng-kaleng.
"Kupikir, semua salah gadis itu. Aku membencinya sejak pertama kami bertemu," dengus Jennie kemudian.
"Apakah itu perempuan yang Anda maksud? Sepertinya ia sedang menunggu jemputan."
Jennie menoleh ke arah yang dimaksud pria di depannya. Ia tampak berpikir sejenak. "Mundurkan mobil kita."
Ucapan Jennie membuat sang Sopir was-was. Ia sudah sering menyaksikan aksi gila anak-anak orang kaya yang bersikap tidak menyenangkan pada orang yang tidak disukai, dan hal itu, sangat mengerikan. "Anda yakin?"
"Ya, bukankah cara paling ampuh melumpuhkan musuhmu adalah dengan memasukkannya dalam selimut dan menusuknya dari belakang?"
***
Jadi, kapan Kyungsoo kencan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top