Bab 9
Seruni menatap malas ke Wulan, kemudian kembali menikmati minumannya. Merasa sahabatnya itu jauh dari antusias, Wulan menyeret kursinya mendekat.
"Serius, Runi! Gue tahu siapa pemiliknya!" Kembali Wulan menjelaskan.
Menarik napas, Seruni berkata, "Ya terus kalau lo udah tahu kenapa, Wulan?"
"Ck! Udah deh, Lan. Emang siapa orangnya?" Tio merasa Wulan terlalu bertele-tele.
"Kenapa malah lo yang penasarannya sih!" protesnya membalas tatapan Tio.
Pria beralis tebal itu tertawa.
"Habis lo banyak banget basa-basinya, Lan! Lo tahu Seruni seperti apa!"
"Emang gue seperti apa?" Seruni menjauhkan gelas minumnya yang sudah habis.
"Menurut lo emang gue seperti apa, Tio?" tanyanya tegas.
"Kan kumat, kan, lo, Run! Jangan galak-galak ngapa," ungkap Tio.
Melihat ekspresi Tio, Seruni tak sanggup menyembunyikan tawanya.
"Nggak galak gue, Tio. Gue cuma pengin tahu!"
Kali ini Wulan yang menarik napas panjang.
"Ssstt! Kalian bisa diam nggak sih! Lo lagi Tio, lo bilang mau tahu pemiliknya malah rusuh sama dia!"
Tertawa geli, Tio menautkan alisnya.
"Oke, siapa dia?" tanyanya.
Mata Wulan membesar, dengan suara sedikit memekik dia berkata, "Ternyata lo udah ngerasain dibonceng sama bos, Runi!"
Dahi Seruni berkerut mendengar penuturan Wulan.
"What? Maksud lo?"
Mengembuskan napas kasar, Wulan memutar bola matanya.
"Lo sejak kapan jadi oon sih!" keluhnya. "Tio, jelaskan ke dia!"
Lagi-lagi Tio tertawa.
"Nih, gue jelaskan. Ojek yang nganter lo ke kantor itu bos lo, Sista!" paparnya menirukan gaya transgender di televisi.
Tawa Seruni berderai melihat gaya Tio, demikian pula dengan Wulan.
"Malah gue diketawain!" protesnya. "Jadi bos lo sebenarnya udah tahu lo, Run! Dia juga pernah ngeboncengin lo!"
Wulan tertawa kegirangan seraya bertepuk tangan seperti anak balita yang mendapat mainan baru.
"Jadi pundak yang kamu pegang waktu itu pundak Banyu, Runi!" pekik Wulan heboh.
Mendengar perkataan Wulan giliran mata Tio yang membulat.
"Jadi lo udah pegang-pegangan bahu aja, Run? Gue yang udah lama dekat cuma lo tonjok mulu!" kelakarnya.
Seruni bungkam membiarkan kedua sahabatnya beradu opini. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa pria yang mengaku ojek itu tak lain adalah Banyu bosnya. Mengingat betapa tidak sopannya dia saat itu membuatnya malu hati.
"Kenapa lo diam, Run?" tanya Wulan dengan wajah jenaka. "Aah, gue tahu, lo pasti pengin mengulang kejadian itu lagi, kan? Dan lo pasti mau perbaiki semuanya, kan?"
Seruni melotot ke Wulan.
"Justru gue nggak pengin semua itu terjadi tahu, Lan! Nyesel gue!" keluhnya.
"Kenapa emang?" tanya Tio dan Wulan hampir bersamaan.
Seruni menggeleng cepat.
"Ya nggak enak aja!"
Tio menaikkan alisnya kemudian tersenyum.
"Ya udah cuekin aja! Eh lo pada mau nambah minum nggak?"
"Nggak!" Kali ini Wulan dan Seruni menjawab bersama.
"Gue mau pulang!" ujar Seruni.
"Gue juga!"
"Oke, gue juga mau nge-gym! Kita ketemuan malam Minggu besok gimana?"
"Boleh! Kebetulan Bram masih belum balik. Urusannya belum selesai! Wulan menyambut antusias. "Eh, tapi gue boleh ngajak Bram, kan?" tanyanya menatap Seruni dan Tio bergantian.
"Boleh dong!" sahut Tio.
"Lo, Run? Bisa, kan? tanya pria yang memiliki senyum ramah itu menatap Seruni.
"Kita lihat nanti deh, Tio! Nanti gue kabari kalian!"
**
Jika biasanya Seruni sering datang lebih pagi ke kantor, semenjak tahu pria yang menumpanginya kala itu adalah Banyu, membuat Seruni tiba di kantor seperti karyawan lainnya.
Ingin rasanya dia menyembunyikan wajah, setiap kali berpapasan dengan bosnya itu. Pagi itu dia sedikit terlambat karena mampir ke rumah Hastari yang lagi pengin makan masakan mamanya.
Setelah memarkir mobilnya, perempuan yang memiliki tinggi 170 itu setengah berlari memasuki gedung kantornya. Beruntung lift tidak begitu penuh dan seperti tengah menunggu dia masuk. Tanpa berpikir panjang segera dia ikut masuk kedalam ruangan berbentuk kapsul itu.
Seruni menarik napas lega saat lift membawanya menaiki lantai demi lantai.
"Punyamu." Seseorang di belakangnya bersuara. Suara yang akhir-akhir ini gak lagi asing di telinganya.
Perlahan dia menoleh ke belakang. Benar apa yang diduganya. Pria jangkung dengan mata hangat dan senyum menawan tengah memindai dirinya.
"Ini punyamu, kan?" tanyanya seraya menyodorkan jepit rambut berbentuk pita berwarna marun yang biasa dia pakai.
Mata Seruni menyipit mengingat kapan terakhir dia memakai jepit rambut itu.
Alis Banyu bertaut dengan mata menyipit dia kembali memberi isyarat agar Seruni menerima benda di tangannya itu.
"Eum ... terima kasih, tapi kenapa ini ada di Bapak?"
Bibir Banyu melebar.
"Saya dapat dari tukang ojek yang mencari kamu beberapa waktu lalu."
Pria itu menaikkan alisnya. Dengan mengulas senyum dia melewati Seruni dan keluar dari lift. Mata Seruni membulat menyadari dia baru saja terlihat bodoh.
Perempuan menggenakan blazer kuning itu tersadar saat pintu lift menutup dan membawanya ke lantai delapan. Membuang napas kasar, Seruni menggerutu menyesali keteledorannya.
"Gara-gara ikat rambut sialan!" gumamnya masih dengan ekspresi kesal.
**
Banyu tersenyum mengingat wajah perempuan berhidung mancung yang kini tak lagi susah payah dia cari. Perempuan yang sejak awal bertemu telah mengisi semestanya.
"Maaf, Pak. Ini berkas yang harus Bapak tandatangani," Mira sekretaris Banyu menyerahkan beberapa map ke pria itu.
"Oke. Kamu bisa letakkan di situ. Oh iya, bisa saya minta tolong kamu panggilkan Seruni?" tanyanya.
Mira mengangguk. Perempuan bertubuh mungil itu kemudian melangkah keluar. Sedikit tergesa dia menuju meja Seruni.
"Seruni, lo dipanggil Bos!"
Kening Seruni berkerut, sementara Wulan yang mendengar ucapan Mira, menghentikan aktivitasnya.
"Gue dipanggil?"
Mira mengangguk.
"Kenapa emang? Ada yang salah atau?"
"Mana gue tahu, Run. Udah buruan sana!" Mira memberi isyarat dengan matanya.
Meski sedikit ragu, Seruni mengangguk kemudian berdiri.
"Lo benerin dulu rambut lo tuh!" Wulan menunjuk rambut Seruni yang cepolannya sedikit berantakan.
Setelah dirasa rapi, dia bergegas ke ruang Banyu.
"Masuk!" Terdengar suaranya setelah Seruni mengetuk pintu.
"Siang, Pak."
"Siang. Duduk!"
Mengangguk dia mengikuti perintah Banyu. Sejenak ruangan sepi.
"Ehm ... sudah siap dengan materi presentasi besok?"
"Sudah, Pak."
"Oke, oh iya, besok klien kita mengajak bertemu di Restoran Majapahit. Mereka siapkan tempat untuk ketemuan."
Seruni menatap Banyu dengan mata menyelidik.
"Di restoran? Bukan di ruang meeting kantor ini?"
Mengedikkan bahu, Banyu menggeleng.
"Kenapa? Ada masalah?"
Menggeleng cepat, dia menjawab, "Nggak apa-apa, tapi menurut sekretaris mereka, mereka akan datang ke kantor."
"Mereka baru saja meralat, dan saya juga dapat info itu barusan," balas Banyu santai.
Seruni mengangguk pelan.
"Besok kita berangkat dari kantor bareng. Jangan sampai ada yang terlupa."
"Baik, Pak."
Banyu tersenyum dengan mata tak lepas memindai perempuan berkulit putih di depannya.
"Saya boleh pergi?" tanya Seruni mulai salah tingkah.
"Silakan."
Bangkit dari duduk, Seruni terlihat ingin mengatakan sesuatu. Hal itu ditangkap oleh Banyu.
"Kenapa?"
"Eum ... saya mau bilang terima kasih," jawabnya dengan tangan saling bertaut.
"For what?"
"Sudah nolongin saya waktu itu, dan maaf kalau saya nggak sopan," tuturnya lirih.
Banyu menarik bibirnya ke samping.
"Nolongin kamu?"
"Bapak jangan pura-pura nggak tahu deh!" Kali ini Seruni mulai muncul juteknya.
"Sekali lagi maaf kalau ...."
"It's oke! Bukannya sejak kecil kita diajarkan untuk saling tolong menolong?"
Seruni menarik napas lega, setidaknya dia merasa bebannya sedikit berkurang.
"Terima kasih, Pak. Eum ... saya mohon izin kembali ke ruangan saya," tuturnya dengan wajah cerah.
"Silakan. Oh iya, kamu bisa buatkan saya lukisan lagi?"
"Lukisan? Lagi?"
Banyu mengingatkan soal lukisan bunga yang belum selesai waktu itu.
"Saya mau kamu melukis ulang untukku. Boleh?"
Membalas tatapan Banyu, dia seperti terperangkap dalam hangat yang tidak pernah lagi dia rasakan semenjak peristiwa yang membuatnya luka beberapa tahun lalu.
"Kamu nggak sedang mengingat wajah saya untuk kamu lukis, kan?" Lagi-lagi dia ketahuan tengah mengamati Banyu.
Wajah Seruni memerah.
"Kamu bisa melukis ulang, kan?" tanyanya kembali ke lukisan.
"Melukis bunga seruni?"
Banyu mengangguk.
"Di kanvas. Bisa?"
Sejenak dia berpikir.
"Saya nggak kasi kamu deadline, saya hanya bertanya kamu bisa membuatnya untuk saya?"
Mengangguk Seruni menjawab, "Saya usahakan."
"Thank you," balasnya tersenyum memandang Seruni yang melanjutkan langkahnya menuju pintu.
**
Terima kasih sudah mampir dan membaca 💜
Colek jika typo yaa. Terima kasih 🙏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top