Bab 8

Rima menggeleng. Perempuan sepuh itu punya alasan kenapa dia sangat ingin melihat Wina bersanding dengan cucunya.

"Oma masih nggak ngerti apa yang ada di kepalamu, Banyu."

Sambil mengusap puncak kepala sang cucu, dia berkata, "Baik. Kamu boleh kenal lebih dekat lagi dengan Wina. Oma harap dengan begitu kamu bisa semakin mengerti bagaimana perasaan Wina padamu."

Tak ingin meneruskan obrolan lebih panjang dengan Rima, dia kemudian mengangguk.

"Iya, Oma. Makasih sudah mengerti, Banyu."

Rima tersenyum kemudian mengangguk.

"Itu apa, Nyu?" Mata Rima menangkap kertas di tangan cucunya.

"Oh ini, lukisan, Oma."

"Kamu melukis?" tanyanya dengan mata memindai kertas yang masih dipegang Banyu.

"Bukan, Oma. Bukan Banyu, ini ... lukisan teman Banyu."

"Boleh Oma lihat?"

Mengangguk, dia menyodorkan lukisan Seruni ke tangan Rima. Sambil membetulkan letak kacamata, bak seorang pengamat lukisan, Rima manggut-manggut.

"Bagus! Tapi ini sepertinya belum selesai?"

"Iya, Oma. Memang belum selesai, tapi Banyu minta."

Rima mengembalikan ke tangan Banyu.

"Kalau begitu Oma istirahat dulu. Kamu ingat apa kata Oma ya. Wina itu anak baik, Oma yakin nggak butuh waktu lebih lama kamu akan suka!"

**

Seruni tengah asyik membaca novel yang dibelikan Tio beberapa waktu lalu. Tio benar, kisah yang disarankannya menarik. Terjebak cinta dalam satu kantor menurutnya lucu.

Getar ponsel mengalihkan perhatiannya. Seruni menatap dari jendela pesan ada satu gambar yang dikirim Hastari.

Enggan membuka pesan itu, dia kembali meneruskan bacaannya, tetapi getar itu kembali. Malas dia meraih telepon genggamnya.

Sebuah foto yang diambil candid oleh Hastari membuatnya terpaku. Seorang pria tengah duduk bersama wanita dan anak kecil perempuan. Mereka terlihat tengah menikmati makan malam.

Tanpa permisi air matanya luruh membasahi pipi. Dadanya naik turun dengan bahu bergetar. Berjuta kenangan yang berhasil perlahan dia musnahkan, mendadak bermunculan kembali.

[Kakak ingat siapa dia?]

[Dia udah happy dengan hidupnya, Kak! Untuk apa Kakak bergumul dengan rasa sakit dan kenangan? Untuk apa Kakak menutup hati hanya karena pria brengsek itu?]

[Kalau nggak dicegah Dio, hampir aja aku labrak dan kutampar dia. Come on, Kak! You can do it! Move on, please!]

Seruni bangkit lalu melangkah ke ranjang dan menjatuhkan dirinya di sana. Tangisnya pecah. Tak ingin mamanya mendengar, dia menyembunyikan wajahnya di balik bantal.

**

Tatapan Seruni kosong. Sejak tadi dia diam dengan tangan menyanggah dagu. Jelas terlihat mata sembabnya meski sedikit tertutupi oleh make up. Sementara Wulan dan Tio mau tak mau ikut diam menunggu Seruni bereaksi.

[Lo apain dia, Tio?]

[Kagak gue apa-apain. Lo kenapa tanya gue?]

[Kemarin sore bukannya kalian janjian ketemu?]

[Nggak jadi. Lo kali yang nggak kasi waktu dia waktu mau curhat! Mentang-mentang Bram datang!]

[Enak aja! Dia kemarin sore juga nggak kenapa-kenapa, kok!]

Obrolan keduanya di aplikasi pesan berwarna hijau terhenti ketika Seruni menarik napas panjang.

"Runi, lo kenapa?" Wulan meletakkan ponselnya ke meja.

"Gue balik ya!" tuturnya beringsut dari duduk.

"Eh! Kok lo balik? Lo yang ngajakin kita ke sini. Lo diem aja dari tadi, Seruni. Sekarang lo malah balik!" Wulan menahan tangan sahabatnya. "Lo kenapa sih!"

"Runi, duduk dulu deh! Lo minum dulu. Tenangkan diri. Cerita ke kita." Tio memberi isyarat agar Seruni kembali duduk.

Menghela napas dia mengikuti permintaan kedua rekannya. Dengan suara lirih dia menceritakan hal yang membuat mood-nya buruk sepanjang hari ini.

"Jadi lo kek gini cuma gara-gara foto laki-laki nggak punya hati itu?" seru Wulan dengan mata membeliak.

Seruni bergeming.

"Ck! Seruni! Apa sih istimewanya Andromeda? Kelihatan aja seperti pria berbudi padahal nggak lebih baik dari gue!" Tio menimpali.

"Mending juga waktu itu lo pacaran sama gue! Gue pastikan lo bahagia lahir batin!" sambungnya disambut tonjokan dari Wulan ke lengannya.

"Lo nggak tahu orang lagi sedih emang ya! Malah promosi!"

"Seruni, lo nggak usah dengerin omongan dia!"

"Dih! Lo sentimen aja sama gue, Lan!"

Seruni menarik napas dalam-dalam melihat debat keduanya.

"Udah ah! Kalian bisa diem nggak sih! Gue lagi sedih! Gua nggak tahu harus ngapain! Gue ngerasa sakit bahkan lebih sakit saat tahu perempuan itu hamil!"

"Dia bahagia banget, Wulan! Gue bodoh, kan?"

Seruni tergugu menutup wajah dengan kedua tangannya. Melihat hal itu, sontak Wulan dan Tio saling tatap.

"Seruni." Wulan kemudian memeluk sahabatnya itu sambil mengusap puncak kepalanya.

"Maafin gue juga Tio. Kita nggak bermaksud ...."

"Udah, gue paham. Kalian ingin menghibur. Gua tahu kok!" ujarnya seraya kembali menarik napas lalu mengusap air matanya. "Gue maafin kalian."

"So what can we do for you?" tanya Wulan.

"Tio, Wulan. Gue mau tanya, kalian harus jawab jujur!"

Keduanya menatap Seruni.

"Tanya apaan?" Mereka berdua bertanya.

"Apa gue ... apa gue jelek banget ya sampe dihinakan kek gitu? Apa gue seburuk itu hingga diselingkuhi? Apa gue jahat sampe nggak berhak mendapatkan bahagia?"

Air mata Seruni kembali menetes.

"Seruni, stop mengambil kesimpulan seperti itu!" protes Wulan. "Semua yang lo bilang itu gak bener!"

"Lo cuma menghibur, kan?"

"Yang terjadi sebaliknya, Runi! Lo terlalu baik untuk seorang baj*nga* seperti Andro! Udah itu aja jawabannya!" tegas Wulan berapi-api.

Terlihat matanya berkilat menahan emosi.

"Apa yang dibilang Wulan itu bener, Run! Lo orang baik, dan pantas untuk mendapatkan pasangan yang baik juga. Mungkin lo tahu gue gimana, tapi jujur ... Lo benar-benar baik dan nggak pantas mendapatkan Andro!" timpal Tio dengan mimik serius.

"Lo cantik, Seruni! Mungkin Tuhan memang masih menyembunyikan jodoh untuk lo. Lo percaya aja kalau suatu saat nanti yang terbaik pasti didatangkan Tuhan buat lo!" sambungnya.

"Dan itu bisa jadi gue atau ...."

"Seruni? Wulan?" Suara seseorang yang familiar menyapa keduanya.

Baik Seruni maupun Wulan menoleh ke arah yang sama.

"Pak Banyu. Selamat sore," sapa Wulan dengan senyum menutupi rasa terkejutnya.

"Sudah senja, bukan sore lagi," seloroh Banyu sambil menunjuk dengan dagu ke jendela kaca di sebelah mereka.

Langit memang telah berwarna saga saat itu.

"Kalian biasa nongkrong di sini?" tanyanya lagi.

"Eng ... nggak. Ini kebetulan lagi pengin aja, Pak," jelas Wulan. Bapak kok di sini? Maaf saya kepo." Wulan tersenyum lebar dengan membulatkan matanya.

"Barusan ketemuan dengan teman."

Wulan mengerucutkan bibirnya membentuk huruf o.

Banyu tersenyum. Matanya mengarah ke Seruni dan Tio bergantian. Seperti tak terusik dengan kedatangan bosnya, Seruni hanya diam menatap gelas yang telah kosong di depannya.

"Ah, iya. Kenalkan ini Tio," tutur Wulan mengisyaratkan dengan mata kepada Tio agar bangkit menyambut uluran tangan Banyu.

"Tio."

"Banyu."

"Mari bergabung dengan kami kalau nggak keberatan," tawar Tio ramah.

"Terima kasih, saya harus segera pulang. Eum ... permisi."

Wulan dan Tio mengangguk, sementara Seruni hanya tersenyum tipis melepas kepergian Banyu.

"Eh, sebentar ya. Gue mau ke toilet! Kebelet sejak tadi!" pamit Wulan.

Seruni dan Tio mengangguk.

Sebenarnya Wulan tidak ke toilet, dia sengaja mengikuti Banyu menuju tempat parkir. Bukan apa-apa, dia ingin memastikan identitas pengendara motor yang dinaiki Seruni beberapa waktu lalu.

Saat di kantor, secara tidak sengaja dia melihat saat di tempat parkir ada motor seperti yang diceritakan Seruni. Wulan sempat melihat Banyu menaiki motor itu. Untuk memastikan, kali ini dia akan menceritakan ke Seruni jika sudah benar-benar terbukti.

"Gotcha! Nggak salah lagi! Dia memang Pak Banyu! Seruni, i think you are a lucky girl!" gumamnya saat melihat Banyu meninggalkan tempat itu.

**

"Seruni, smile please!" Tio mencoba memecah kebisuan. "Itu tadi bos lo, kan?"

Seruni mengangguk.

"Kenapa lo cuekin dia?"

"Gue nggak cuekin kok! Gue tadi senyum. Salah ya?"

Tio menggeleng.

"Lo senyum, tapi mata dan ekspresi lo nggak ikut senyum. Lo terlihat seperti orang yang nggak suka ada orang lain mendekat," jelasnya.

Menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan, dia meneguk minuman di depannya.

"Jadi menurut lo, gue harus ngapain? Lagian udah ada Wulan tadi, kan?"

"Iya sih, tapi ...."

"Tio, lo tahu gimana gue, kan? Gue nggak bisa punya dua karakter dalam satu kondisi yang bersamaan. Gue ...."

"Oke, i know! Sori, Run!"

"It's oke! Nggak apa-apa."

"Seruni, lo nggak perlu berpikir seperti yang lo ucapkan tadi. Lo tahu lo itu berharga!"

Seruni mengangguk.

"Jadi sekarang mending lo lepaskan semuanya. Jangan pernah simpan pikiran negatif tentang dirimu sendiri! Oke?"

"Oke, Tio. Thank you supportnya!"

"So ... can i see your smile?"

Bibir perempuan berdagu lancip itu melebar.

"Thanks, God! Aku senang kamu kembali, Runi!" ungkap Tio menarik napas lega.

"Seruni! Gue punya jawaban dari pertanyaan kita beberapa saat yang lalu!" Wulan datang dengan napas terengah-engah.

"Jawaban? Jawaban soal apa?"

"Soal tukang ojek sultan itu!"

**

Hallo ... udah pada tahu dong ya, pasti itu si bos yang punya motor mehong yakan?

So ... apa yang terjadi selanjutnya? Stay tune terus 💚

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top