Bab 4
Minggu adalah surga bagi Seruni. Dia bisa menghabiskan waktu sehari penuh di kamar bergumul dengan kanvas dan tentu saja kasur juga bantalnya.
Semalam dia tidur saat dini hari. Bagi Seruni, melukis adalah pelarian dirinya ketika sedang banyak tekanan.
Ketukan pintu serta alarm ponsel berbunyi bersama membuat perempuan berambut sepunggung itu membuka matanya. Malas Seruni mematikan alarm.
"Seruni! Kamu ada janji dengan Tio? Dia udah nunggu di bawah itu!" Suara ibunya terdengar di sela ketukan.
Menepuk kening dia menggerutu, "Kenapa gue bisa lupa sih!"
"I ... iya, Ma. Bilangin suruh tunggu!"
**
Rambut dikuncir kuda, celana denim, blouse kuning dan sandal flat putih berwarna senada dengan tas membuat penampilan Seruni tampak segar.
"Kece banget sih!" celetuk Tio saat Seruni menemuinya.
Tersenyum tipis, Seruni berkata, "Basi!"
"Dih! Dipuji dibilang basi," balas Tio.
"Pujian itu nggak penting, aku udah sering dengar sejak beberapa tahun yang lalu," candanya seraya memberi isyarat agar Tio bangkit.
Mendengar balasan Seruni, pria yang memiliki mata mata serupa aktor Korea itu terbahak. Tio langsung paham maksud pembicaraan sahabatnya.
"Lo masih inget aja kelakuan Andro, Run!"
"Bukannya semua kelakuan laki emang kayak gitu ya?" sindirnya.
Tio tak menjawab, dia hanya menaikkan alis seraya membuka pintu mobil.
"Silakan masuk, Nona!"
Tertawa kecil, Seruni mengucapkan terima kasih sebelum dia masuk.
"Mau beli novel terbaru atau ...."
"Nyari yang sale sih! Biar dapat banyak!" balas Seruni sambil tertawa.
Menggeleng pelan, Tio ikut tertawa.
"Marketing eksekutif sebuah perusahaan properti cari sale? Yang bener aja, Runi!"
"Emang ada yang ngelarang?"
"Nggak sih! Tapi ...."
"Udah jangan bawel!" potongnya seraya merapikan rambut. "Pantes lo putus melulu sama cewek-cewek lo! Mana ada perempuan yang betah dicerewetin melulu sama lo, Tio!"
Pria di sampingnya itu terkekeh. Sudah bukan hal aneh jika dia sering berganti pasangan meski kedua sahabatnya, Wulan dan Seruni terkadang mencoba memilihkan perempuan yang cocok untuknya. Akan tetapi, tetap saja bagi Tio, gak ada perempuan yang bisa memahaminya selain Wulan dan Seruni.
"Eh, bukan cerewet, Run! Realistis ajalah. Masa iya bisa beli sepatu mahal giliran buku cari yang sale!"
"Ya ampun, Tio! Please deh, nggak usah ngebahas soal gue!"
Tio masih tertawa saat ponselnya berbunyi.
"Jangan diangkat! Lo kalau mau angkat telepon mending minggir dulu!" cegah Seruni. Dia tahu bagaimana kebiasaan Tio saat menerima telepon, terlebih dari gebetannya.
"Kenapa sih?"
"Gue nggak mau celaka! Minggir atau jangan diangkat!"
"Ah elah, iya gue nggak angkat!" balasnya membiarkan ponsel tetap berdering.
"Siniin!"
"Buat apa?"
"Gue silent! Berisik!"
"Buset! Galak amat, Lo, Run!" tuturnya kemudian menyerahkan telepon genggamnya ke Seruni.
Tertawa geli, Seruni kembali meletakkan benda itu ke dashboard.
"Elo memang wajib punya pasangan yang galak! Biar gak lemah waktu ngadepin jiwa buaya kek lo, Tio!"
"Ya masa lo nggak tahu sih, selama ini gue nungguin. Lo nya aja yang nggak peka!" celetuknya santai. "Karena gue rasa lo perempuan tergalak yang pernah gue kenal!"
Mendengar ucapan Tio, alis Seruni bertaut, tak lama kemudian dia tertawa lepas.
"Emang lucu, Run?"
"Iyalah! Lucu pake banget!"
Melihat ekspresi perempuan berhidung mancung di sebelahnya, Tio hanya tersenyum masam.
**
Seperti biasa, saat hari Minggu jalanan tidak seramai hari kerja sehingga dengan cepat mereka berdua sampai di mal tempat toko buku berada.
"Kata Wulan waktu pesta pertunangan Devan kenalan sama cowok ya?" tanya Tio saat mereka menelusuri lorong di antara rak buku yang ada di toko tersebut.
Menautkan alis, Seruni mengedikkan bahu.
"Kenapa emang?"
"Masih kata Wulan, kamu nggak antusias?"
Seruni berhenti menatap deretan novel roman, lalu matanya kembali bergerak ke rak sebelah yang menyuguhkan novel detektif.
"Kenapa kamu nggak antusias, Runi?" Tio kembali bertanya.
Menarik napas panjang, Seruni menatap pria yang berprofesi sebagai pengacara tersebut.
"Kalian kenapa sih? Bisa nggak berhenti membuatku terkesan pada lawan jenis?" cetusnya dengan tangan meraih satu novel detektif karya Agatha Christie. "Gue capek tahu! Di rumah yang dibicarakan itu, sekarang sama lo itu lagi yang dibicarakan!"
Melihat wajah sahabatnya, Tio menelan ludah kemudian mengangguk.
"Oke, Runi. Sepertinya lo memang harus refreshing!"
"Nah itu lo tahu!" balasnya.
Pria itu menatap novel yang masih di pegang Seruni.
"Misteri lagi? Agatha Christie lagi?"
Bibir Seruni terangkat sedikit lalu menggeleng.
"Lo gue sarankan beli itu tuh!" tuturnya seraya menunjuk salah satu novel di bagian kisah romantis.
Perempuan berambut sepunggung itu mengikuti arah jari telunjuk Tio.
"The hating game! Bagus itu!"
Tak ingin membuat rekannya kecewa, dia mendekat dan mengambil novel karya Sally Thorne itu.
"Menceritakan tentang dua rekan kerja yang saling benci hingga akhirnya saling mencintai. Seru!" papar Tio. "Gue udah baca, dan gue terinspirasi andai kita bisa seperti itu, Runi."
Seruni tak dapat menyembunyikan tawa mendengar penuturan Tio. Pria itu memang selalu bisa membuatnya tertawa sekaligus kesal.
Tio memang sering kali mengucapkan hal itu, meski dia tahu ucapan itu hanya salah satu latihannya untuk menggaet perempuan incarannya.
"Udah kayak pria kasmaran belum gue?"
Lagi-lagi Seruni tertawa kali ini sambil menepuk keras bahu rekannya.
"Lo tu ya, insyaf kenapa?"
"Kalau insyaf soal cewek sih nanti aja kali, Run!" celetuknya. "Eh, jadi beli itu nggak? Gue beliin deh!"
Seruni menatap novel yang direkomendasikan Tio lalu beralih memindai wajah Tio.
"Seriusan mau beliin gue?"
"Iye! Lo mau beli apa aja hari ini gue traktir!"
Mata perempuan semampai itu membulat sempurna.
"Lo habis menangin perkara apa, Tio?" tanyanya dengan wajah jenaka. "Sengketa tanah, perceraian, harta gono gini, atau ...."
"Kepo aja lo, udah ambil mana yang lo mau!"
Tersenyum lebar, Seruni mengangguk lalu memutuskan untuk memasukkan beberapa novel termasuk yang direkomendasikan Tio ke dalam tas bening berlogo toko buku itu.
"Tio."
"Hmm?"
"Gue mau ke sana ya. Cat air gue habis!"
"Ayo!"
Mengerutkan kening, Seruni bertanya, "Lo nggak pengen beli buku?"
Tio menggeleng santai.
"Buku apa? Gue lagi nggak minat! Udah ayo ke sana!"
Mereka berdua kembali berjalan menuju tempat yang dimaksud Seruni. Akan tetapi, langkah perempuan itu berhenti ketika melihat seseorang yang pernah dia kenal di pesta Sandra waktu itu.
"Lo kenapa?" tanya Tio mengikuti pandangan Seruni. "Lo kenal?
Seruni menggeleng seraya berkata, "Nggak kenal!"
Alis Tio terangkat, lalu mengayun langkah mengikuti Seruni yang sudah jauh dari tempatnya semula.
**
"Kamu suka baca novel?" tanya pria berkulit bersih itu seraya menatap perempuan di sampingnya.
"Biasa aja, aku lebih suka baca buku soal interior eksterior. Sesuai passion aku," jawabnya tersenyum.
"Kalau novel." Wina menggantung kalimatnya kemudian menggeleng. "Aku nggak begitu suka drama," sambungnya seraya tertawa.
Banyu mengangguk paham. "Kalau gitu, kamu bisa ke bagian itu, aku mau di sini dulu. Ada buku yang mau kubeli," ujarnya seraya menunjukkan deretan buku tebal tentang teknik fotografi.
"Oke, aku ke sana dulu ya."
Banyu menaikkan alisnya kemudian mengangguk. Wina, putri dari keluarga Hartono yang dikenalkan oleh Oma adalah seorang yang berkecimpung di bidang penyedia jasa mendesain ruangan. Perempuan mandiri yang baru saja pulang dari kuliah di luar negeri itu kini telah diserahi perusahaan milik keluarga untuk dikelola.
Menurut Oma, Wina mempunyai beberapa sifat yang mirip dengan Rachel. Bisa dimaklumi, karena mereka adalah saudara sepupu.
Setelah Wina menuju deretan buku yang dimaksud, Banyu kembali menelisik buku yang diinginkan. Akan tetapi, matanya menangkap perempuan yang tengah mencepol rambutnya. Di sebelah perempuan itu ada seorang pria yang tengah berbicara serius padanya.
Melihat itu, bibir Banyu terangkat miring. Matanya berhenti pada sosok Seruni yang tidak sadar tengah diperhatikan.
"Seruni," gumamnya kemudian kembali membuka buku yang hendak dia beli.
**
Bagaimana? Masih menarik untuk dinikmati?
Silakan vote dan komentar💚
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top