Bab 29

Seruni kembali membolak-balikkan rangkaian bunga itu, tetapi tidak ada satu pun identitas pengirimnya di sana.

"Jangan-jangan yang ngirim Pak Banyu, Run!" celetuk Wulan yang sejak tadi ikut penasaran.

Seruni menoleh kemudian menggeleng.

"Ngaco, mana sempat dia ngirim beginian. Lagian sedang serius ada meeting sama klien. Ya kali mikirin ngirim bunga," tangkis Seruni lalu meletakkan bunga itu di meja saat teleponnya berdering.

Alis Wulan bertaut ingin tahu identitas penelepon. Bibirnya melebar saat Seruni menyebut nama Banyu.

"Kamu suka bunganya?" Suara Banyu terdengar hangat di seberang.

"Suka. Makasih ya."

"Makasih aja?"

"Ya terus apa lagi?"

"Nggak ada embel-embelnya gitu. Misal, Makasih, Sayang, gitu?"

Pipi Seruni terlihat merah dadu mendengar ucapan Banyu. Pria itu seperti sengaja menggodanya.

"Ciee ... pasti mukanya merah deh!" Kembali Banyu menggoda.

"Ish! Banyu, apaan sih!" Tanpa sengaja Seruni mengucapkan nama Banyu tanpa embel-embel Pak di depan rekan-rekannya yang kebetulan berada di tempat itu.

Sadar dirinya menjadi pusat perhatian karena salah sebut, Seruni memejamkan mata dan memutar kursi membelakangi rekan-rekannya. Sementara suara tawa renyah Banyu terdengar di seberang. Pria itu seolah tahu apa yang terjadi.

"Udah ah! Please, jangan ketawa. Aku harus bilang apa sama mereka?" gerutunya.

"Bilang aja apa adanya, nggak masalah kok!" Banyu terlihat sangat menikmati kegusaran Seruni.

"Udah ah! Aku mau kerja. Makasih bunganya."

Telepon berakhir, dia kembali memutar meja, dan tanpa dia duga, semua rekan sudah berkumpul di depan mejanya. Wajah mereka lebih terlihat ingin tahu dibandingkan gembira. Seruni memindai satu per satu lalu beralih ke Wulan. Tak jauh beda dengan wajah yang lainnya, Wulan menaikkan alis sembari menahan senyum.

"Sepertinya lo harus memberikan keterangan pers atau ya ... paling tidak memberikan klarifikasi atas apa yang mereka dengar barusan," ujarnya dengan senyum lebar, bukan lebar tadi tapi sangat lebar.

"Seruni, beneran nih lo sama bos ada ...." Dian mengangkat kedua jari telunjuk dan saling menempelkan satu sama lain.

"Nah iya! Ini yang harus dijelaskan! Biar kita nggak penasaran sepanjang waktu, karena ...."

"Karena apa, Do?" Seruni menatap ke arah Edo.

"Karena gue pernah nggak sengaja lihat beberapa kali Pak Banyu nganterin lo pulang dan keluar dari rumah lo, Run. Sori ya, gue memang sempat jadi mata-mata, karena permintaan mereka-mereka ini," papar Edo nyengir sambil menatap ke sebelah kiri dan kanan rekan-rekannya.

Sementara Wulan menaikkan alisnya.

"Sok-lah, Run! Lo harus kasi tahu mereka sebelum Bu Mery datang!" tuturnya.

"Ck! Kalian ini maunya apaan, sih!"

"Pencerahan, Run, kita-kita ini ingin pencerahan darimu!"

Seruni terdesak, dia kembali menatap satu-satu teman-temannya.

"Oke! Gue emang lagi dekat!"

"Dekat? Dekat sama siapa, Run? Sedekat apa?" celetuk Tina rekannya yang paling belakangan datang.

"Iya, Run. Lo nggak asyik kalau cuma ngasi konfirmasi setengah-setengah kayak gitu!" timpal yang lainnya.

"Kalian kalau mau tahu, mending tanya aja ke dia sih!"

"Dia lagi, dia siapa, Run? Mang Udin yang biasa ngurusin taman kantor?" kelakar Edo yang ditanggapi Seruni dengan mata mendelik.

Melihat gesture Seruni yang kikuk dan gak seperti biasa membuat seluruh yang ada di ruangan itu riuh tertawa.

"Akhirnya, dia nggak jomlo lagi, Guys!" seru Edo sembari bertepuk tangan. "Nggak sia-sia usaha gue ngintilin mereka beberapa hari yang lalu," imbuhnya yang membuat wajah Seruni memerah karena kesal dan malu sekaligus.

"Udah ya, Guys, udah jelas sekarang kalau bakal ada kondangan besar sebentar lagi, dan hati-hati kalau lo lo pada kerja! Jangan malas-malasan ada nyonya bos di ruangan ini," celetuk Sari sambil menatap Seruni senyum lebar.

"Sstt! Bu Mery, Guys! Bu Mery!" seru Edo.

Sontak mereka semua berlari ke meja masing-masing. Sementara Seruni tertawa geli melihat ulah rekan-rekannya.

**

Rima duduk santai setelah lelah menyiram tanaman koleksinya. Semenjak Banyu menghadirkan dan mengenalkan Seruni padanya, Rima lebih sering bungkam. Terlebih terhadap Banyu, biasanya dirinya-lah yang paling sering menanyakan segala sesuatu kepada cucunya itu.

Kini seperti seseorang yang kecewa, Rima bahkan sama sekali tak ingin tahu ke mana Banyu bahkan setelah beberapa hari tak muncul di depannya. Meski begitu, dia tentu saja tak pernah ketinggalan informasi karena Sofyan yang biasa merawat taman rumah mereka selalu setia memberikan informasi ter-update kepada perempuan sepuh tersebut.

"Ma, mau puding?" tawar Lisa yang muncul dari arah dapur.

"Hmm, boleh."

Tersenyum, mama dari Banyu itu meletakkan piring berisi puding lengkap dengan vla-nya di meja.

"Tumben kamu bikin puding?" tanyanya sembari mengambil piring tersebut.

"Banyu nanti siang datang. Tadi dia telepon minta dibuatin puding buah kesukaannya," terang Lisa sembari melirik mertuanya.

Rima hanya mengangguk mendengar penjelasan menantunya, dia terlihat asyik menikmati sesendok demi sesendok puding di tangannya.

"Kamu serius sudah merestui hubungan anakmu dengan perempuan itu?"

Lisa mengangguk pelan. Berbicara dengan sang mertua memang membutuhkan energi dan kesabaran yang luas. Karena jika salah sedikit saja, Rima bisa-bisa tidak mau berbicara dalam waktu yang lama.

"Apa kamu sama suamimu sudah memikirkan hal ini dengan benar?"

"Sudah, Ma. Kami melihat Seruni anak yang baik dan yang terpenting dia mencintai Banyu, demikian pula sebaliknya, Ma," jawabnya hati-hati.

Rima menarik napas dalam-dalam.

"Tapi dia tidak seperti Rachel. Rachel itu perempuan yang paling tepat untuk Banyu." Perempuan sepuh itu diam sejenak. "Kadang timbul pertanyaan kenapa Tuhan mengambil Rachel yang masih muda dan penuh semangat, kenapa bukan Mama saja yang sudah tua ini yang diambil," sambungnya sembari menarik napas dalam-dalam.

"Mama. Mama jangan bicara begitu, Ma. Semua yang terjadi sudah merupakan takdir masing-masing, Ma. Dengan Mama mengatakan hal itu, berarti sama dengan Mama mempertanyakan takdir yang sudah Tuhan gariskan."

Rima kembali menarik napas dalam-dalam.

"Apa menurutmu perempuan pilihan Banyu itu bisa menjaga cucuku dengan baik? Apa dia bisa memberi kebahagiaan pada Banyu? Karena melihat dia yang tidak bisa merawat tanaman dan tidak telaten itu Mama jadi berpikir kalau dia anak manja."

Lisa tersenyum tipis.

"Seruni bukan anak manja, Ma. Dia justru sempat jadi tulang punggung keluarga saat usaha ayahnya bangkrut waktu itu. Dia juga yang membiayai adiknya saat melangsungkan pernikahan, dia juga yang kembali memberi semangat ayahnya untuk kembali memulai usahanya," jelas Lisa perlahan.

Mendengar penuturan menantunya, Rima menoleh. Sembari mengernyitkan dahi dia bertanya, "Kamu tahu dari mana soal itu?"

"Banyu banyak cerita tentang Seruni, Ma. Sebenarnya dia juga pernah kehilangan kepercayaan pada pria, karena pernah dikhianati oleh mantan kekasihnya dulu, yang membuat dirinya enggan membuka diri untuk menjalin hubungan dengan pria yang baru."

"Oh ya?"

"Iya, Ma." Lisa mengangguk, hatinya sedikit lega karena Banyu banyak bercerita tentang siapa Seruni beberapa waktu yang lalu.

'Setidaknya semoga dengan ini Mama bisa membantu kamu, Banyu,' batinnya.

"Tapi dia sepertinya tidak begitu, Lisa."

"Maksud Mama?"

Rima memiringkan tubuhnya menghadap Lisa.

"Dia seperti anak manja yang sama sekali tidak bisa melakukan apa pun."

Bibir mama Banyu melebar.

"Mama, kita nggak bisa menilai seseorang hanya dari tampak luarnya saja. Kita nggak tahu apa yang sedang dia sembunyikan dari setiap apa yang dia lakukan, kan?"

**

Alhamdulillah, akhirnya bisa juga update kisah ini.

Btw sebentar lagi menuju ending yaa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top