Bab 28

Banyu membungkuk sopan saat berpamitan dengan kedua orang tua Seruni.

"Pa, Seruni antar Banyu keluar dulu ya."

Papanya mengangguk kemudian mengajak sang istri masuk. Sementara Banyu tersenyum mendapatkan perlakuan manis dari Seruni.

"Kenapa senyum-senyum?" tanyanya berusaha menyembunyikan rona merah di wajah.

"Nggak apa-apa, aku suka kamu perlakukan aku seperti ini," jawab Banyu sembari memasukkan kedua tangannya ke kantong celana.

"Seruni."

"Ya?"

"Aku janji semua akan baik-baik saja. Oma akan bisa luluh perlahan. Aku tahu bagaimana Oma, jadi kamu nggak perlu khawatir. Oke?"

Seruni mengangguk, kemudian dia seperti teringat sesuatu.

"Tunggu!"

"Ada apa? Aku nggak boleh pulang?" Banyu kembali membalikkan badan saat hendak masuk mobil.

Seruni mencebik.

"Kenapa?"

"Ada yang kamu sembunyikan soal angkringan?" tanyanya.

Menautkan kedua alisnya, Banyu tersenyum tipis.  Ada persamaan soal angkringan pada Rachel dan Seruni, tetapi dia tidak ingin perempuan di depannya itu merasa disamakan.

"Kalau aku cerita, kamu jangan salah paham ya."

"Salah paham kenapa?"

Banyu kembali menutup pintu mobilnya. Dia bersandar sembari melipat kedua tangannya ke dada.

"Aku nggak mau ceritaku ini membuatmu berpikir hal yang sama sekali tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Hanya saja aku tiba-tiba teringat dan kebetulan sama. Itu aja," ungkapnya.

Penasaran dengan apa.yang akan diceritakan Banyu, Seruni melangkah mendekat.

"Jangan bikin aku penasaran, Banyu. Ada apa emang? Apa ada hubungannya dengan masa lalu kamu atau ...."

"Sudah cukup lama aku nggak makan di tempat itu, meski dulu aku juga penikmat makanan di angkringan, tapi itu dulu sebelum Rachel pergi."

Hening. Sementara langit malam kembali cerah setelah tadi sempat mendung. Seruni menunggu Banyu meneruskan ucapannya.

"Dia yang mengenalkan aku makanan di sana, dia juga yang mengajarkan aku untuk tidak membatasi bergaul dengan siapa pun, tidak peduli ada di posisi apa kita. Dan tanpa aku sadari kamu juga seperti itu."

Seruni masih bungkam, meski ada rasa bahagia karena memiliki kesamaan dengan Rachel, tetapi tetap saja dia tidak ingin dipandang sebagai perempuan yang sudah tiada itu.

Banyu menatap Seruni, ekspresi perempuan itu menyiratkan ketidaknyamanan, dan dia tahu itu karena imbas dari ceritanya soal Rachel.

Pria itu tersenyum, kemudian menegakkan tubuh dan memangkas jarak dengan Seruni.

"Tuh, kan? Mulai over thinking."

Menarik napas dalam-dalam, Seruni menggeleng.

"Nggak. Aku nggak over thinking, aku cuma ...."

"Cuma nggak mau disamakan. Iya, kan?"

Perempuan berambut indah itu memalingkan wajahnya menghindar dari tatapan lembut Banyu. Meski Rachel sudah lama meninggal, tetapi entah kenapa dia merasa sangat cemburu. Apakah itu pertanda dia sudah benar-benar terlalu mencintai pria yang memiliki senyum menawan di depannya ini?

"Cemburu?" Banyu menatapnya dengan wajah menggoda.

"Nggak, kok. Aku nggak  ...."

"Cemburu juga nggak apa-apa. Aku suka!"

Seruni menunduk. Banyu benar-benar sudah membuat mood dia naik turun seketika. Terkadang dalam satu waktu perasaan cinta dan cemburu bercampur jadi satu dan sungguh semua itu membuat dadanya berdesir tanpa jeda.

Pria di depannya itu kembali tersenyum. "Aku tidak sedang dan tidak ingin membandingkan. Seperti yang kamu dengar, aku pernah bicara soal ini di hadapan Mama juga Papa, Oma pun sudah pernah mendengar soal ini. Kamu tetap menjadi kamu dan Rachel aka selalu menjadi dirinya. Aku harap kamu percaya itu."

"Aku percaya."

Helaan napas lega terdengar dari Banyu.

"Besok  aku nggak ngantor sampai beberapa hari ke depan. Nanti aku hubungi kamu. Jangan lupa permintaanku soal ponsel tadi."

Satu senyum manis tercetak di bibir Seruni. Tak pernah dia merasa lega seperti malam ini meskipun masih ada halangan di depan soal hubungan mereka, tetapi ungkapan tulus dan jujur dari Banyu soal hubungan mereka benar-benar bisa membuat dia kembali percaya pada seseorang. Membuat dia percaya telah meletakkan rasa itu pada orang yang benar.

"Sudah malam, sana masuk. Kalau kamu terus berdiri di sini, bisa-bisa aku nggak pulang," tutur Banyu dengan bibir melebar.

Kembali senyumnya terbit. "Oke, hati-hati ya."

Pria itu mengangguk mengucapkan terima kasih. Dia masuk mobil dan melambaikan tangan pada Seruni.

"Masuk sana!"

Mengangguk, Seruni membalikkan badannya lalu melangkah menuju pintu rumah.

**

Seperti layaknya orang yang jatuh cinta, Seruni terlihat lebih bahagia. Garis wajahnya seolah bertutur jika dirinya sudah kembali menemukan kepercayaan pada rasa indah bernama cinta.

Aura bahagia itu sangat dirasakan oleh kedua orang tuanya. Setelah sekian lama mencoba membuat putrinya agar bisa bangkit dengan berbagai cara, akhirnya Tuhan mempertemukan Seruni dengan Banyu.

"Mama, hari ini Seruni pulang telat, ya," pamitnya saat telah menyelesaikan sarapan.

Ida memindai putrinya, sambil tersenyum.

"Mau jalan sama Banyu?"

"Nggak, Ma. Dia hari ini keluar kota untuk beberapa hari," terang Seruni.

"Terus kamu mau ke mana?" Kembali sang mama bertanya.

"Ada pameran lukisan di mal dekat kantor. Seruni pengin lihat," jawabnya setelah meneguk habis air putih di depannya.

Ida mengangguk dan berpesan untuk hati-hati.

"Kamu sendirian? Nggak sama Wulan atau Tio?"

Seruni mengedikkan bahu. "Lihat nanti aja, Ma. Sebab mereka kurang suka sama lukisan."

"Ya udah. Hati-hati ya."

**

Wulan membulatkan matanya mendengar cerita yang mengalir dari bibir Seruni. Berkali-kali dia bertepuk tangan meski tidak kencang untuk menggambarkan kegembiraan hatinya.

"Seriusan dia bisa seromantis itu, Run? Gila sih, nggak nyangka gue!"

Seruni memberi isyarat agar Wulan memelankan suaranya.

"Bahaya kalau Mery dengar, Lan!"

Wulan mendengkus gusar.

"Biarin! Dia mau marah? Emang dia berani marah sama calon nyonya perusahaan ini?" tukasnya masih dengan suara keras yang membuat beberapa teman kerja mereka menoleh.

"Wulan! Siapa emang calon nyonya perusahaan ini? Kamu lagi ngobrolin siapa?" Nuke rekannya yang duduk tak jauh dari mereka bertanya.

"Ck! Tuh, kan, Lan! Elu sih!" keluh Seruni menatap kesal.

"Sori, Run." Wulan nyengir lalu menoleh ke Nuke.

"Nggak, Ke. Gue lagi bicarain itu ... novel! Iya, novel yang lagi gue baca," elaknya dengan senyum datar.

Nuke menautkan alisnya lalu mengangguk.

"Udah ah, Lan! Bahaya kalau sampai ada yang curiga! Udah! Lu balik ke meja elu sana!"

Benar! Tak lama muncul Mery dengan pandangan mata tak suka dia berhenti di depan meja Seruni.

"Tugas dari bos sudah kamu selesaikan?" tanyanya dengan nada jauh dari ramah.

"Sebentar lagi, Bu."

"Kalau sudah segera berikan ke saya! Oh iya, satu yang mau saya ingatkan lagi ke kamu. Ini kantor, bukan tempat bergosip! Kamu juga Wulan!" Mery menatap Wulan dan Seruni bergantian. "Jangan pernah berpikir saya tidak tahu apa yang kalian lakukan tadi! Kalau sampai sekali lagi saya lihat hal seperti tadi dan masih dalam jam kerja, akan saya pertimbangkan sangsi untuk kalian!"

Tak ada jawaban dari keduanya. Wulan terlihat geram dengan sikap Mery yang arogan. Meski dia benar, tetapi pada kenyataannya Wulan tidak pernah lalai dengan pekerjaannya. Hal itu tentu saja membuat sahabat Seruni itu meradang.

"Lihat saja nanti, kalau sampai elu sama Pak Banyu udah go publik, gue bakal bales!" gerutunya saat Mery tak lagi berada di tengah-tengah mereka.

Sementara Seruni menarik napas dalam-dalam mendengar penuturan Wulan.

"Permisi, pagi, Mbak Seruni," sapa ramah seorang office boy.

Pria yang lebih muda darinya itu berdiri membawa serangkai bunga mawar putih segar.

"Pagi, Wan. Ada apa ya?" Seruni mengerutkan dahinya.

"Ini ada kiriman bunga dari untuk Mbak." Pria bernama Wawan itu menyodorkan rangakaian bunga itu pada Seruni. Meski terlihat ragu, tak urung dia menerimanya.

"Dari siapa, Wan?"

"Nggak tahu, Mbak. Tadi ada kurir ke sini, dia meminta saya menyerahkan ini ke Mbak."

Wulan yang sejak tadi mendengarkan obrolan keduanya terlihat penasaran.

"Lu lihat, ada identitas pengirimnya nggak?"

"Nggak ada. Dari siapa ya?" Seruni membolak-balik buket bunga itu mencari identitas pengirim

"Saya tadi juga nggak diberitahu dari siapa, Mbak."

"Oke, Wan. Terima kasih ya."

"Sama-sama, Mbak. Saya permisi."

Seruni mengangguk. Masih dengan paras heran dia duduk setelah meletakkan bunga segar itu di meja.

"Pengagum rahasia jangan-jangan, Run!" Wulan mulai bereaksi.

"Ck! Ngaco kamu!"

**

Halooo ... Seruni muncul lagi akhirnya. Hehe

Btw kemarin aku bilang di ceritaku Sweet Lies kalau aku bakal ada telegram berbayar ya. Di sana bakal aku up semua cerita lamaku sampai ending.
Nah buat teman-teman yang minat, bisa langsung ke nomor wa aku di, 082142608908

Terima kasih 🙏💜

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top