Bab 26
"Eum ... Wina pamit pulang, Tante, Om." Perempuan yang sejak tadi terlihat tidak nyaman itu beranjak dari duduk. Dia kemudian menyalami kedua orang tua Banyu, lalu beralih ke Banyu dan Seruni.
"Hati-hati ya, Wina. Salam buat papa mamamu," pesan Fery sebelum Wina beranjak pergi.
"Iya, Om. Selamat malam semuanya," pungkasnya lalu kemudian pergi.
Lisa menarik napas dalam-dalam kemudian menatap Seruni.
"Seruni, maafkan Oma ya. Beliau memang seperti itu, tapi percayalah, beliau tidak seperti yang kamu bayangkan," tuturnya mencoba menenangkan perasaan Seruni.
"Iya, Seruni. Mama saya memang terkesan kaku, tapi beliau memang penuh pertimbangan. Apalagi menyangkut Banyu cucu kesayangannya," timpal Fery.
"Iya, Om, Tante."
Banyu meraih tangan Seruni yang membuatnya malu karena dilihat oleh Fery juga Lisa.
"Aku tahu bagaimana cara meluluhkan hati Oma," ucapnya sembari tersenyum.
Tak menyahut, Seruni hanya membalas senyum Banyu dengan tatapan mata menunggu kalimat selanjutnya.
"Kamu paling tidak bisa nyambung kalau diajak Oma bicara soal tanaman kesukaannya."
Seruni kalau memalingkan wajahnya ke Fery dan Lisa. Kedua orang tua Banyu itu mengangguk bersama-sama. Di bibir mereka pun tercetak senyum lebar.
"Nggak harus semua yang kamu tahu, tapi mungkin sedikit atau kamu punya referensi bunga yang cantik bisa tuh kamu kasi ke Oma," jelas Lisa.
"Atau mungkin bunga Seruni?" Kali ini Banyu menimpali sembari melirik ke arahnya.
Seruni mengulum senyum. Mungkin tidak ada salahnya dia mengikuti saran Banyu meskipun sebenarnya dia tidak suka berkecimpung dengan tanaman dan tanah.
"Iya, tapi tentu kamu punya cara untuk mendekati Oma, nggak harus menjadi orang lain. Kamu bisa dekat dengan Oma dengan caramu sendiri, Seruni." Lisa menatapnya dengan tatapan hangat.
"Kalau begitu ... Banyu mau ngajak Seruni jalan dulu ya, Ma, Pa. Sekalian nganterin pulang," ujar Banyu menatap kedua orang tuanya.
"Nggak makan malam di rumah aja, Nyu?"
Banyu menggeleng. "Next time aja, Ma. Lagian nggak enak juga kalau di rumah ini ada yang ngambek," sahutnya sembari tertawa kecil. "Nanti makin ngambek aja Oma."
Fery dan Lisa mengangguk paham. Mereka berdua lalu ikut mengantar Banyu dan Seruni hingga di depan pintu.
"Banyu."
"Iya, Ma?"
"Mama senang kamu sudah menemukan pasangan, dan kami, Mama juga papamu berharap kalian segera menikah. Nggak usah lama-lama pacaran, nggak baik!"
Banyu tersenyum, dia menatap Seruni dengan tatapan hangat.
"Itu pasti, Ma. Kalau seandainya Oma nggak ngambek, besok pagi Banyu langsung nikahin dia." Banyu tertawa kecil dengan mata terus menatap Seruni.
Mendengar itu kedua orang tuanya ikut tertawa, sementara Seruni berusaha menyembunyikannya parasnya yang merona karena malu.
**
"Mau makan malam di mana?" tanya Banyu saat mobil meluncur.
Seruni menoleh sejenak lalu muncul ide nakalnya. Dia tahu siapa Banyu, pria mapan nan tampan dan sudah bisa ditebak pasti memiliki selera yang berkelas. Terlebih dalam memilih restoran atau makanan apa pun.
Hal itu tentu saja berbeda dengan dirinya yang tidak begitu perduli dengan tampilan rumah makan atau cara penyajian, baginya makan adalah untuk menikmati hidangan untuk kenyang dan bukan membayar sejumlah uang hanya untuk prestis.
"Angkringan!" cetusnya dengan senyum manis.
"Angkringan? Kamu mau makan malam di angkringan?"
Seruni mengangguk. "Kenapa? Kamu nggak suka?"
Banyu menggeleng cepat.
"Bukan nggak suka, tapi di angkringan itu, kan ... rame banget dan ...."
"Kalau nggak mau ya udah. Terserah aja mau makan malam di mana," potong Seruni.
Menarik napas perlahan, Banyu mengangguk.
"Oke, oke. Kamu mau ke angkringan mana? Di ujung jalan ini, atau dekat kantor kita atau yang dekat kampus? Kamu suka di angkringan sebelah mana?"
Seruni menyembunyikan senyum, tak dia sangka jika akhirnya pria perlente seperti Banyu mau mengikuti keinginannya meski sebenarnya Seruni hanya ingin tahu seperti apa Banyu.
"Di depan situ aja. Aku beberapa kali ke sana. Makanannya enak dan murah!" ungkapnya santai.
Banyu menoleh kalau kembali fokus ke depan.
"Ke situ sama siapa?" tanyanya menyelidik.
"Sama Wulan juga Tio sih seringnya."
Banyu mengangguk lalu sedikit mempercepat laju mobilnya.
"Kamu pasti nggak pernah makan di pinggir jalan seperti itu, kan?" tebaknya.
Banyu tersenyum tipis kemudian menggeleng.
"Dulu pernah, tapi setelah ...." Banyu diam, tak melanjutkan ucapannya.
"Setelah apa?"
"Nggak. Nggak apa-apa. Sebentar lagi sampai. Kamu biasanya makan apa di sini?"
Seruni mengernyit sejenak kalau tersenyum.
"Di sini aku suka menu nasi kucing sambel ijo! Enak deh! Aku jamin bakal ketagihan!"
Banyu tersenyum tipis.
"Oke. Kita turun sekarang?"
"Ayo!"
Keduanya turun dari mobil, mereka berdua duduk bersebelahan. Kebetulan malam itu belum begitu banyak pengunjung yang datang. Jadi Banyu dan Seruni lebih leluasa untuk bercakap-cakap.
Tak lama hidangan yang dipesan datang. Benar kata Seruni, makanan di angkringan yang dia pilih memang enak. Pun demikian dengan aneka sate yang terhidang di depan mereka.
"Enak, kan?"
"Iya. Apalagi makan bareng kamu!" goda Banyu sambil menikmati makan malamnya.
"Mode ngegombal?"
"Nggak!"
"Eum ... jadi apa yang aku lakukan untuk Oma? Jujur aku ...."
"Kamu nggak perlu melakukan apa pun. Cukup jadi dirimu sendiri," potong Banyu.
"Tapi Tante Lisa bilang ...."
"Well, itu kalau kamu mau. Kalau nggak ... aku rasa ada jalan kok selain itu."
"Apa itu?"
Banyu mengedikkan bahu. "Kita pikirkan nanti. Aku mau menikmati makanan ini," jawabnya santai.
"Banyu, aku serius!"
"Aku lebih serius!"
"Kamu nyebelin!"
Melihat Seruni kesal, Banyu terkekeh geli. Kali ini dia seperti sengaja membuat perempuan cantik di sampingnya itu kesal. Sebenarnya dia hanya ingin tahu sejauh apa Seruni serius dengan apa yang dia rasakan.
Saat menyadari jika Seruni tengah memikirkan bagaimana meluluhkan hati Oma, di situlah Banyu semakin yakin jika Seruni juga sangat serius dengan perasaannya.
"Iya deh iya. Aku nyebelin, tapi sayang, kan?" Kembali dia menggoda.
Seruni menutup matanya sambil menggeleng dengan pipi merona. "Kamu ih!"
"Sori, sori. Iya, nanti aku coba bicara sama Oma ya. Kamu harus percaya, Oma nggak seseram yang kamu bayangkan. Beliau begitu hany karena ...."
"Ingin memastikan kamu mendapatkan pasangan yang baik. Dan menurut beliau itu bukan aku."
Banyu menyudahi makannya, lalu meraih tangan Seruni.
"Lalu kamu akan menyerah begitu saja?" Dia menatap penuh kehangatan pada Seruni. "Kamu nggak yakin?"
"Aku cuma khawatir, aku takut kalau ...."
"Kalau aku menyerah?"
Mengangkat wajahnya, Seruni mengangguk.
Banyu tersenyum. "Kamu tahu, Seruni. Makan di tempat ini, bukan hal yang asing buatku. Aku dulu sering bertandang ke sini. Makan di kaki lima, di angkringan seperti ini, sebenarnya bukan hal baru, tapi memang sudah lama kuhindari."
Seruni menatap dengan mata menyipit. Pria tampan di depannya itu tersenyum manis.
"Kenapa dihindari? Ada apa?"
Banyu menarik napas dalam-dalam.
"Nggak penting kenapa, tapi setidaknya aku bisa melawan itu semua karena kamu. Karena kamu yang memintaku untuk berada kembali di sini. Da akhirnya aku bisa. Karena apa? Karena aku mencintaimu dan aku bisa melakukan apa pun yang mungkin berat untuk dilakukan."
Mendengar ucapan Banyu, mendadak tenggorokannya terasa kering. Apa yang disembunyikan pria itu sehingga dia menghindari tempat seperti ini?
"Dengar, Seruni, sejauh kita yakin dengan perasaan kita, maka nggak ada yang bisa menghalanginya."
Kali ini Banyu membingkai wajah Seruni dengan kedua tangannya. "Ada aku, kita berdua akan hadapi apa pun asal kamu yakin."
Tak menjawab, Seruni hanya mengangguk sembari menarik napas dalam-dalam.
**
Masih setia? Terima kasih aku ucapkan buat yang sabar ngikutin kisah ini.
Salam hangat 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top