Bab 22


Apa kabar semuanya ... fiuhh, akhirnya bisa ketemu lagi deh pembaca cerita ini. Maafkan atas hiatusnya kisah ini yang sangat lamaaa😅🤭

Terima kasih sudah membersamai. Insyaallah aku kebut supaya kisah ini selesai. Selamat membaca 💜 semoga terhibur.

Seruni menarik napas dalam-dalam. Dia menoleh ke Wulan yang masih menatapnya dengan antusias.

"Biasa aja lu! Ngeliatin gue udah kek ngeliat duit segepok!" Seruni mengalihkan pandangannya ke mangkuk bakso yang masih belum habis dia makan.

"Ck, elu tu ya, Run! Nih udah sering gue bilang, kan? Lu pikir laki-laki itu sama brengseknya gitu kayak Andro? Nggak! Lu bisa lihat, kan? Bos kita seperti apa? Lama-lama gue seret juga lu kehadapan Pak Bos!"

Perempuan berambut sepunggung itu tak lagi menanggapi. Dia memilih melanjutkan makannya.

"Habiskan buruan! Nanti kita telat. Ingat Bu Mery!"

Wulan mendengkus gusar, meski pada akhirnya dia kembali melanjutkan makan siangnya.

"Keluarganya juga sebenarnya yang bikin gue insecure." Seruni kembali bercerita.

"Kenapa keluarganya? Mereka terkesan memilih pasangan untuk Pak Bos?"

Seruni mengangguk. Dia lalu mengungkapkan soal oma Banyu yang begitu cerewet.

"Beda banget sama Papa juga mamanya."

"Oh ya?"

"Hu umh!"

"Orang tuanya sih so far so good. Mereka asyik-asyik aja," papar Seruni.

"Bagus dong! Kan yang suka elu itu anak mereka, anak Papa juga mamanya Pak Bos! Jadi apa masalahnya?"

Mendorong mangkuk yang sudah kosong, Seruni meneguk minumannya.

"Lu nggak tahu betapa kuat pengaruh omanya, Lan! Lu kalau tahu seperti apa Oma Rima ... gue yakin lu nggak bakal tahan!"

Wulan mengedikkan bahu.

"Dan gue bersyukur keluarga Bram nggak ada yang modelnya seperti itu!" ujarnya lalu tertawa kecil.

"Eh, tapi justru di situ perjuangannya, Run! Di situ elu harus menunjukkan kesungguhan lu. Keseriusan lu," imbuhnya.

Seruni menggeleng.

"Kenapa harus gue?" tanyanya tak acuh.

"Lah, ya masa gue, Run!"

Seruni diam. Mungkin benar ucapan Wulan soal harus menunjukkan keseriusan, tetapi dia merasa itu bukan tugasnya. Karena dia masih ingin melihat keseriusan Banyu soal ucapannya kemarin.

"Sementara gue bodo amat dulu deh, Lan!"

"Sampai kapan?"

"Sampai dia kembali membicarakan perasaan ke aku."

Wulan menaikkan alisnya kemudian mengembuskan napas perlahan. Seruni benar-benar selalu berusaha membangun tembok yang kokoh untuk hatinya agar tak kembali terluka.

**

Sore menjelang, Wulan dan Seruni bersiap untuk ketemuan dengan Tio yang sudah menunggu mereka di kafe langganan. Tampak Seruni membereskan mejanya malas, sesekali dia melirik ke arah pintu ruangan Banyu.

Tak ada tanda-tanda pintu itu terbuka. Setelah tadi dia merasa diabaikan, sekarang bahkan pria itu seperti enggan bertemu dengannya. Seolah apa yang dia ucapkan kemarin hanya keisengan dan tanpa ada rasa apa pun.

Membuang napas kasar, tiba-tiba dia merasa kesal dengan hatinya.

'Dasar lemah! Baru juga digombalin kayak gitu udah baper! Please Seruni! Berhenti membumbungkan angan!' monolog hatinya.

"Seruni! Ayo! Udah ditunggu Tio di depan!" Wulan menepuk pundaknya.

"Eh iya. Sebentar!" Sedikit gugup, dia gegas kembali membereskan meja dari tumpukan kertas yang tidak berguna.

Melihat gelagat yang tak biasa dari rekannya, Wulan mengerutkan dahi.

"Lu kenapa, Runi? Jangan bilang lu masih kepikiran ucapan Pak Bos." Wulan memiringkan kepalanya menatap Seruni.

"Ssttt! Jaga suara lu, Wulan!" Dia memberi isyarat agar rekannya bungkam.

"Gue nggak suka lihat teman gue moodnya buruk kayak gini. Apa gue samperin aja Pak Bos, Run?"

"Hah! Ish! Lu nggak usah macem-macem deh!"

"Lah daripada elu jadi kek orang bingung gitu! Mending kita minta kepastian aja. Iya, kan?"

"Wulaaaan! Udah, ah! Ayo cabut!" Dia menyeret tangan Wulan meninggalkan ruangan itu.

"Seruni!"

Suara yang sangat mereka kenal terdengar dari arah belakang keduanya. Panggilan itu sontak membuat Wulan dan Seruni sama-sama membalikkan badan.

"Sore, Pak," sapa Wulan sopan sembari tersenyum.

"Sore, Wulan." Bantu membalas sapaan Wulan, meski matanya menelisik Seruni.

"Eum ... bisa saya bicara berdua saja dengan Seruni?" Pria yang mengenakan kemeja putih itu masih menatap Seruni.

"Maaf, Pak. Bapak sedang bicara dengan dia atau saya?" tanya Wulan cengo sembari menunjuk dirinya sendiri.

Mendengar pertanyaan itu, Banyu mengalihkan pandangannya ke Wulan sembari tertawa kecil.

"Sori. Iya, saya bicara denganmu. Boleh saya bicara empat mata saja dengan Seruni?"

Wulan pelan-pelan menoleh ke samping. Dia melihat paras merona dari Seruni meski rekannya itu menunduk menyembunyikan rona pipinya.

Tentu saja Wulan merasa tidak perlu lagi bertanya kepada Seruni apakah dia bersedia berbicara dengan Banyu atau tidak. Paras rekannya itu saja sudah cukup untuk menerjemahkan jawaban hati Seruni.

"Boleh, Pak. Tentu saja boleh. Boleh banget malah! Silakan, Pak!" Dia melepaskan cekalan tangan Seruni.

"Runi, gue duluan ya. Inget! Jangan galak-galak jadi perempuan! Bye!"

"Wulan!" Seruni menoleh mencoba mencegah kepergian rekannya, tetapi sia-sia sebab Banyu sudah berada di depannya.

Seruni menunduk dan sedikit mundur membuat jarak, lagi-lagi detak jantungnya mulai tak teratur.

"Maaf, seharian tadi aku sibuk. Gimana kabarnya? Udah sehat?"

Tak berani mengangkat wajahnya, dia hanya mengangguk.

"Kamu nggak keburu untuk pulang, kan?"

"Sebenarnya aku ada janji sama ...."

"Teman-temanmu?" selanya.

"Iya."

"Kamu mau pergi dengan mereka atau denganku?"

Pertanyaan Banyu terasa menyudutkannya. Tentu saja pertanyaan itu tidak perlu dipertanyakan padanya. Menurut Seruni, seharusnya Banyu paham jika jawaban soal janjian dengan gank-nya adalah jawaban basa-basi agar tidak menyiratkan jika dirinya senang berada di dekat pria itu.

"So?"

"So what? Bapak yang menahan saya untuk pergi tadi, kan? Lalu kenapa sekarang Bapak bertanya dengan pertanyaan yang sama sekali tidak berfaedah seperti tadi?" Seruni terlihat kesal.

"Ini sudah tidak di jam kerja, Seruni. Kenapa masih panggil aku dengan sebutan bapak?"

Seruni mendengkus kesal.

"Oke, saya pergi!" tegas Seruni sembari membalikkan badan, tetapi dia tak bisa melanjutkan langkah karena dengan cekatan Banyu menarik lembut lengannya hingga Seruni kembali ke posisi semula dan memangkas jarak di antara mereka.

"Marah? Maaf, ya. Aku tahu kamu marah. Aku, kan sudah minta maaf. Aku mau bicara serius. Ikut aku!"

Tanpa menunggu persetujuan atau jawaban Seruni, Banyu menggenggam tangan perempuan itu melangkah meninggalkan kantor. Meski hatinya bersorak, tetapi tak urung perlakuan Banyu telah membuat Seruni merasa  banyak kupu-kupu di perutnya.

**

"Kamu nggak bawa mobil, kan?"

Seruni menggeleng.

"Ayo, naik!"

Menarik napas dalam-dalam, Seruni memberanikan diri menatap Banyu yang tengah mengenakan helm.

'Naik motor ini lagi? Ya Tuhan! Itu artinya aku harus berpegangan lagi ke dia!' keluhnya dalam hati.

Seruni masih bergeming saat Banyu menoleh. Seolah tahu apa yang dipikirkan Seruni, dia tersenyum nakal.

"Pakai helm, Seruni. Tenang, aku nggak ngebut kok. Atau aku pakaikan?"

"Nggak usah. Aku bisa pakai sendiri!" tolaknya dengan cepat memakai alat pelindung kepala itu

Beruntung hari ini dia mengenakan blazer dengan celana panjang, jadi bisa lebih leluasa berboncengan.

"Sudah siap?"

"He em."

"Kalau khawatir jatuh, kamu bisa pegangan," ujar Banyu dengan suara pelan.

"Please! Motor ini tidak didesain untuk boncengan, Banyu! Nggak usah macem-macem deh!"

Banyu tertawa mendengar ucapan Seruni

"Aku tahu."

"Terus? Kita mau ke mana?"

"Kamu akan tahu nanti. Sekarang berpegangan kalau kamu nggak mau jatuh," goda Banyu kemudian mulai menyalakan motor.

Merasa takut, tak ada pilihan lain bagi Seruni. Dia spontan mencengkeram erat bahu pria di depannya.

"Jangan ngebut, please!" pintanya dengan tangan kiri memukul bahu Banyu. Sementara Banyu seperti sengaja membiarkan Seruni semakin menguatkan pegangannya.

**

Dahi Seruni berkerut saat tahu jika jalan yang mereka lalui adalah jalan menuju rumahnya.

"Ini jalan ke rumahku, kan?"

"Iya, kenapa? Kamu nggak mau pulang?"

Seruni mencebik mendengar pertanyaan Banyu. Pria itu lagi-lagi sukses membuat dia kesal. Bukannya tadi Banyu mengajaknya ke suatu tempat? Jika suatu tempat yang dimaksud Banyu adalah rumahnya, tentu tidak salah, hanya saja dia sempat berpikir jika bosnya itu akan mengajak dirinya ke kafe atau yang semisalnya berdua saja.

Andai tadi dia tahu akan pulang secepat ini, tentu dirinya akan menolak. Karena berkumpul dengan Tio dan Wulan adalah satu dari caranya berbahagia. Seruni membayangkan jika kedua rekannya pasti sedang asyik bercengkrama di kafe langganan mereka.

Sadar jika perkiraannya terlalu jauh, Seruni memejamkan mata merasa malu. Tentu saja pertanyaannya barusan akan dimaknai oleh Banyu jika dirinya berharap mereka berduaan saja

'Seruniiii! Asli lu udah bikin malu diri lu sendiri. Astagaaaa!' makinya dalam hati.

"Sudah sampai. Kamu mau duduk di belakangku terus?" ujar Banyu.

Tak menjawab, Seruni bergegas turun, membuka helm lalu menyodorkan ke Banyu.

"Thank you sudah diantar pulang."

Pria yang memiliki senyum itu memamerkan deretan gigi putihnya.

"Kamu nggak mempersilakan aku masuk?"

"Mau masuk dulu?"

"Sure! Aku mau bertemu Ayah ibumu. Mereka di rumah, kan?"

"Apa? Bertemu orang tuaku?"

"Iya." Banyu mengangguk. "Kenapa? Nggak boleh?"

"Tunggu! Apa ada yang marah? Maksudku ... apa kamu sudah punya pacar? Sori, pertanyaanku mungkin terlambat."

Seruni membasahi kerongkongannya. Pria yang baru saja memarkir motornya itu terkadang membuat dia serasa diajak terbang, tetapi sekaligus bisa membuat kesal. Setelah kemarin dia mengungkapkan rasa cinta padanya, sekarang dia bertanya soal pacar padanya.

"Seruni?"

"I ... ya? Iya?"

"Nggak ada yang marah, kan kalau aku ketemu orang tuamu?"

"Nggak! Eum, maksudnya siapa yang marah?"

Banyu tersenyum.

"Tio mungkin?"

"Tio? Dia marah? Kenapa? Apa haknya dia marah?"

Pria berhidung mancung itu menarik napas lega. Jujur dia hanya ragu pada Tio. Pria yang dia temui saat berada di kediaman Seruni itu terlihat sangat dekat dengan perempuan di depannya.

"Syukurlah. Aku lega. Jadi aku bisa bicara serius pada ayahmu soal apa yang kamu dengar tentang perasaanku kemarin."

**

Salam hangat 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top