Bab 18
Fiuhh ... alhamdulilah setelah ribuan purnama 😄 akhirnya bisa update lagi. Terima kasih atas kesetiaannya menunggu kisah ini 💜
**
Lo nggak pulang, Run?" tanya Wulan heran.
"Kan gue bilang gue dihukum, Lan!" sahutnya dengan wajah gusar.
Sementara Wulan justru tertawa kecil seraya mengemasi barangnya.
"Ya udah kalau gitu gue cabut dulu ya," balasnya dengan mata menggoda Seruni.
"Ck! Kenapa sih lo, Lan?"
"Happy dating, Seruni!" ujarnya setelah itu mengambil langkah seribu sebelum Seruni mencubit ginjalnya.
Sementara Seruni hanya bisa menatapnya kesal. Perempuan berambut panjang itu menatap sekeliling ruangan. Sepi, hanya dia dan satu orang bagian cleaning servis yang tengah membersihkan ruangan. Matanya lalu menuju pintu ruang pribadi Banyu yang masih tertutup rapat.
Menarik napas dalam-dalam, Seruni kembali meneruskan pekerjaannya. Tak ingin bosan dia menyalakan lagu dari salah satu aplikasi berlangganan yang ada di ponselnya. Gak lupa dia memakai headset, karena cukup membuat bulu kuduk berdiri jika dia sendirian saja di ruangan luas itu.
Sambil bersenandung mengikuti lagu milik Faozia RIP Love, Seruni menggerakkan kepala dan tubuhnya mengikuti irama. Sehingga tak menyadari jika dirinya tengah diawasi oleh Banyu.
"Ehem! Masih betah di sini?" Sebuah sapa cukup mengejutkannya.
Banyu terlihat berdiri di depan meja Seruni membuat perempuan itu membulatkan mata dengan wajah merona malu.
"Bapak dari tadi di sini?" tanyanya bergegas melepas headset dari telinga.
Menautkan kedua alisnya, Banyu mengedikkan bahu.
"Nggak juga. Mungkin karena sambil mendengarkan konser tunggal barusan jadi nggak berasa lama," candanya dengan wajah jenaka.
Ucapan Banyu sukses membuat pipi Seruni kembali memerah.
"Jadi apa hukuman saya, Pak?" Seruni menatap Banyu seraya bangkit mengemasi mejanya.
"Ikut saya sekarang!" titahnya.
"Baik, Pak. Tapi saya bereskan meja dulu."
"Kamu mau bikin saya menunggu? Kamu pikir saya punya waktu untuk menunggu kamu membereskan meja begitu?"
Seruni menelan ludahnya. Andai pria di depannya itu bukan bosnya, mungkin sejak tadi dia sudah menyemprot dengan beragam kalimat yang mengandung emosi. Namun, mau tidak mau dia harus menekan luap kekesalan yang semakin menggelora.
"Baik, Pak. Saya sudah selesai! Sekarang apa yang harus saya lakukan?" tuturnya seraya mengembuskan napas kasar.
Sungguh kekesalannya tak bisa disembunyikan saat ini. Terlebih Banyu seperti tak acuh dengan kondisinya yang serba nggak keruan.
Langit sore sudah terlihat, warna ufuk terlihat memerah dan tentu saja make-up di wajahnya sudah pudar. Meski dirinya tak begitu suka memoles wajah berlebihan, tetapi tetap saja dia tidak percaya diri dengan penampilannya.
"Ayo!"
"Eum, Pak!" panggilnya ragu.
"Ada apa lagi?"
"Saya boleh ke toilet sebentar?"
Menarik napas dalam-dalam, Banyu mengangguk.
"Tapi jangan lama ya."
Seketika Seruni menghela napas lega. Dia lalu mengangguk dan bergegas menuju toilet. Sementara Banyu mengulum senyum melihat tingkah perempuan yang telah mengisi semestanya itu.
Lima menit kemudian, terlihat Seruni muncul dengan wajah lebih segar. Melihat itu, Banyu mengunci tatapannya pada paras cantik Seruni. Namun, hal itu justru membuat Seruni salah tingkah.
"Kenapa, Pak? Ada yang salah?"
Pria berjas hitam itu tersenyum tipis kemudian menggeleng.
"Kamu dandan?"
"Eum ... nggak kok. Cuma ...."
"Padahal nggak dandan juga udah cantik!" selanya seraya meraih tangan Seruni dan mengajaknya melangkah ke luar.
Lagi-lagi perlakuan Banyu membuatnya terkaget-kaget, hingga gak ada waktu baginya untuk menghindar dari genggaman tangan pria itu. Karena diam-diam ada desir berbeda yang dia rasakan.
Mereka berdua berada di luar gedung kantor saat ini. Banyu memiringkan wajahnya menatap Seruni yang terlihat tegang. Banyu mengulum senyum melihat ekspresi Seruni. Entah kenapa dia sangat menikmati kekesalan perempuan itu.
"Kamu tunggu di sini ya. Saya ambil kendaraan dulu," ujarnya seraya melangkah meninggalkan Seruni tanpa menunggu jawaban.
Tak menunggu lama, Banyu muncul dengan motor yang waktu itu membuat Seruni kesulitan menaikinya.
"Ayo naik!" ajaknya seraya menyerahkan helm.
Mata Seruni membulat. Meski tak diungkap, tetapi terlihat jelas dia menolak. Masih teringat bagaimana pinggangnya sakit hanya menahan agar tubuhnya tidak bersentuhan dengan pria yang memboncengnya kala itu. Masih jelas diingatnya pula bagaimana dia merutuki diri sendiri untuk tidak akan naik motor seperti itu lagi.
"Kenapa masih bengong? Ayo naik!"
"Bapak mau ajak saya naik motor ini, Pak? Saya naik mobil saya sendiri aja deh!"
Kening Banyu mengernyit heran.
"Kenapa? Kamu mau nolak hukuman dari saya?"
Seruni menarik napas dalam-dalam. Sebisa mungkin dia menahan emosi.
"Naik motor ini bagian dari hukuman?"
"Sure!"
"Tapi mobil saya, Pak? Gimana?" tanyanya ragu.
"Emang saya mau ngajak kamu sampai besok? Sebentar aja kok!"
"Ayo naik!" titahnya
Dengan wajah ditekuk meski mencoba tersenyum akhirnya Seruni mengikuti perintah Banyu. Beruntung dia memakai setelan blazer dan celana panjang. Jika memakai rok, sudah dipastikan dia tidak akan mau mengikuti ajakan bosnya.
"Jangan ngebut ya, Pak!"
"Kenapa?" goda Banyu. Tampak bibirnya melebar dari balik pelindung kepala.
"Ya saya takut!" timpalnya setelah duduk di belakang Banyu.
"Kalau kamu takut pegangan aja, nggak apa-apa kok!"
Kembali pipi Seruni merona. Meski tak terlihat oleh Banyu, tetapi tetap saja pria itu tahu jika perempuan di belakangnya tengah tersipu malu.
"Sudah siap?"
"He emh."
Motor meluncur perlahan membelah senja. Tidak seperti saat dia dibonceng ke kantor tempo hari, kali ini Banyu memacu motornya santai sehingga perjalanan itu Seruni dapat menikmati langit yang berwarna saga. Motor terus berjalan hingga tanpa disadari Banyu menghentikan kendaraannya.
"Kita sudah sampai." Suara Banyu membuat Seruni segera turun.
Setelah membuka helm, mata indah Seruni menyapu sekeliling. Matanya menatap Banyu yang baru saja membuka helmnya.
"Bapak kenapa ngajak saya ke rumah Bapak?"
"Kenapa? Kamu keberatan?"
"Oh nggak! Sama sekali nggak, tapi ...."
"Hukuman. Ingat! Kamu sedang dalam masa hukuman."
Seruni hanya menarik napas dalam-dalam. Otaknya berpikir keras hukuman apa yang akan diterimanya. Bayangan Oma Rima yang terlihat sinis, membuat Seruni bergidik.
"Ayo masuk!"
"Tapi, Pak."
"Ada apa?"
"Apa hukuman untuk saya?"
Banyu tertawa kecil mendengar pertanyaan dan wajah khawatir dari perempuan di depannya itu. Sementara Seruni terpukau menatap Banyu yang baru kali ini memamerkan giginya yang putih dan rapi.
"Seruni, aku mau kamu kenal dengan Oma. Ya aku tahu, kamu pernah bertemu Oma, tapi kali ini Oma harus tahu siapa yang melukis bunga untuknya!" jelas Banyu. "Karena lukisan kamu diletakkan di kamar Oma."
Kening Seruni berkerut. Bagaimana mungkin lukisan yang tadi pagi dia berikan ke Banyu sudah ada di Oma Rima?
"Kok bisa lukisan itu sudah sampai ke rumah Bapak?"
Banyu menarik bibirnya singkat kemudian berkata, "Kamu tahu ada pekerjaan sebagai kurir, kan? Siang tadi aku kirim lukisan itu ke rumah."
Kali ini Seruni tersenyum datar kemudian mengangguk paham.
"Sekarang ayo masuk! Oma sudah menunggu!"
**
Senyum ramah Lusi menyambut Seruni. Mama dari Banyu itu menyapanya ramah seraya menatap ke sang putra.
"Seruni, kita ketemu lagi ya. Apa kabar?" sapa Lusi seraya mempersilakan duduk.
"Baik, Tante."
"Oma mana, Ma?"
"Oma? Oma biasa ada di taman samping. Oh iya! Kamu mau minum apa, Seruni?"
"Eum ... nggak usah, Tante," tolaknya sungkan.
"Nggak usah sungkan," tuturnya. "Sepertinya segelas lemon segar enak kali ya," imbuh Lusi.
Perempuan berkulit putih itu bangkit menuju dapur. Terdengar dia memanggil asisten rumah tangga dan memerintahkan untuk membuatkan minuman untuk Seruni dan Banyu.
"Kita temui Oma dulu ya."
Kali ini dia semakin nervous. Seruni terus mengutuk Banyu atas tindakannya. Jika dibolehkan untuk memilih antara membersihkan seluruh ruangan di kantor atau bertemu keluarga Banyu, tentu dia akan memilih yang pertama.
Sungguh! Bertemu keluarga Banyu bukan hal yang menyenangkan baginya, terlebih Oma. Meski sambutan Lusi sangat bersahabat, tetapi tetap saja menurutnya yang pegang kendali adalah Oma.
Selain dia merasa hanya seorang pekerja, dia juga tak ingin Oma menatap seolah menelanjangi penampilannya seperti waktu itu.
"Sore, Oma," sapa Banyu sambil melangkah mendekat.
Di samping Banyu, Seruni mengikuti. Perempuan semampai itu tersenyum kepada perempuan yang tengah mengamati anggreknya.
"Sudah hampir gelap. Kamu tumben baru datang," balas perempuan itu seraya menyambut jabatan tangan keduanya.
"Iya, Oma. Maaf di jalan tadi lebih macet dari biasanya," tuturnya beralasan.
Mendengar jawaban Banyu, mata Seruni mengarah ke pria itu. Bukan karena macet, tetapi lebih karena dia yang banyak menyita waktu untuk ke toilet.
"Oh iya, Oma. Oma suka lukisannya?"
"Hmm."
Perempuan berbaju setelan berwarna biru gelap itu hanya menggumam. Matanya sejenak membalas tatapan sang cucu untuk kemudian kembali ke anggreknya.
"Ini Banyu bawa pelukisnya. Oma masih ingat, kan? Dia Seruni."
**
Sekali lagi terima kasih sudah mampir 💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top