Bab 16
Bangun kesiangan membuat Seruni semakin malas untuk bangkit dari ranjangnya. Seperti biasa, hari Minggu menjadi sangat berharga bagi kakak Hastari itu.
Satu pesan masuk membuat dia mengusap-usap mata.
"Ini bos bisa nggak sih nggak ganggu aku!" gerutunya sembari meletakkan kembali ponsel ke nakas. "Untung dia bos, coba kalau bukan! Bisa kapok dia aku omelin!"
Dia lalu kembali membenamkan kepalanya ke bantal dan mencoba memejamkan mata. Namun, getar ponsel kembali mengganggunya.
"Halo, Pak. Ini hari Minggu, kan? Saya masih ngantuk. Lagi pula lukisan bunga Seruni itu bukan pekerjaan anak SD yang harus segera dikumpulkan, kan?" semburnya tanpa mendengar dan membaca terlebih dahulu identitas pemanggil.
Dia ingat semalam Banyu meminta lukisan bunga Seruni untuk Oma Rima.
"Runi? Lo kenapa?" Suara Wulan terdengar heran.
"Lo di telepon Banyu?" Kembali terdengar suara sahabatnya itu.
Sadar dirinya salah, Seruni menepuk dahinya kuat-kuat seraya meminta maaf.
"Gue kira dia yang telepon! Sumpah gue ngantuk banget, Lan! Apalagi semalam pulang udah agak malam terus gue disidang pula sama Mama Papa!" keluhnya.
"Hah? Pulang malam? Emang lo dari mana? Eum, maksudnya lo ke mana? Sama siapa, dan kenapa lo disidang?"
Seruni semakin membenamkan wajahnya di bantal.
"Udah, lo jangan tanya banyak-banyak! Gue ngantuk, Lan."
"Tapi, Run! Gue sama Tio mau ngajakin Lo jalan!"
Berusaha membuka mata yang seolah lengket, Seruni berkata, "Lo berdua aja deh ya. Gue minta mentahnya aja kalau lo berdua makan-makan! Bye, Lan!"
Mematikan daya ponsel, Seruni kembali terpejam.
**
Banyu mengusap peluh yang membasahi keningnya. Olahraga adalah rutinitas setiap paginya. Setelah jogging di sekitar komplek, kemudian dilanjutkan beraktivitas di tempat gym pribadinya.
"Maaf, Mas Banyu, ditunggu Oma di ruang makan," Inah pembantu rumah tangga berkata sopan.
"Bilang sama Oma, saya nanti aja sarapannya, Mbok." Banyu masih sibuk dengan treadmill-nya.
Inah masih berdiri di pintu depan wajah ragu.
"Kenapa lagi, Mbok?"
"Eum ... maaf, Mas, tapi Oma bilang ada hal penting yang mau dibicarakan."
Banyu menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk.
"Oke, saya ke sana."
Wajah perempuan paruh baya itu berseri seraya mengangguk dia berkata, "Baik, Mas. Permisi."
Tak ingin Oma menunggu terlalu lama, gegas Banyu menyudahi aktivitasnya. Meneguk segelas lemon hangat yang diberikan Mbok Nah lalu mengeringkan keringat kembali kemudian meninggalkan ruangan itu.
Perempuan sepuh itu duduk di ruang makan sendiri. Di depannya ada segelas susu yang sudah tinggal separuh dan sandwich yang belum tersentuh.
"Pagi, Oma."
"Pagi, Banyu."
"Mama sama Papa mana?"
"Papamu masih tenis sama Pak Broto, kalau Mamamu masih di kamar. Sini duduk!"
Mengangguk, pria yang masih mengenakan kaus tanpa lengan itu mengangguk.
"Ada apa, Oma? Sepertinya serius?"
Rima tersenyum tipis.
"Sangat penting, karena menyangkut masa depanmu."
Banyu menghela napas panjang. Dia sudah bisa membaca ke mana arah pembicaraan Oma.
"Soal jodoh lagi, Oma?" tanyanya tersenyum, "sudahlah, Oma. Banyu bisa cari sendiri. Oma nggak perlu bingung gitu."
Rima memotong sandwich-nya lalu menggeleng.
"Oma nggak bingung, karena Oma sudah punya calon untukmu. Gimana, Wina? Kamu sudah kenal dekat, kan?"
Pria berperawakan tegap itu mengusap wajah. Dari air mukanya terlihat enggan menanggapi pertanyaan Ibu dari sang papa itu.
"Banyu?"
"Iya, Oma?"
Kening tua Rima semakin berkerut. Di balik kacamata minus, dia memindai sang cucu dengan tatapan penuh tanya.
"Kamu nggak dengar apa yang Oma bicarakan tadi?"
"Dengar, Oma. Banyu dengar."
"Lalu? Oma mau dengar jawaban kamu."
Sejenak Banyu bergeming, Mbok Inah meletakkan jus wortel untuk Banyu tepat di depan pria itu.
"Makasih, Mbok."
Mengangguk perempuan berbaju hijau itu melangkah menjauh.
"Oma, boleh Banyu bicara sesuatu?"
Rima mengangguk meletakkan garpu dan pisau makannya di meja.
"Boleh. Kamu mau bicara apa?"
"Oma, keputusan Oma untuk menjodohkan Banyu dengan Wina itu bukan keputusan final, kan?" tanyanya hati-hati.
"Maksud kamu?"
"Ya maksudnya, Banyu boleh menolak dan mengajukan pilihan sendiri, kan?"
Rima diam, dengan mata masih memindai cucunya.
"Kamu tahu siapa Wina, kan? Oma paham betul bagaimana keluarganya."
"Kenapa kamu berpikir untuk menolak perjodohan itu? Apa ada perempuan yang menarik hatimu?"
Banyu tak menjawab, dia sedang merangkai kata-kata supaya sang oma tidak merasa tersinggung dengan pendapatnya.
"Banyu?"
"Begini, Oma. Oma menjodohkan itu nantinya tentu akan bermuara pada pernikahan, iya, kan?" tanya Banyu masih dengan hati-hati.
"Tentu saja!" tandasnya.
"Bagaimana jika ternyata Banyu dan Wina tidak sejalan, Oma? Bagaimana jika hati Banyu tidak sedikit pun merasa cocok dengan Wina?"
"Dia itu sepupu Rachel. Kamu lupa? Kamu tahu, kan ada beberapa kebiasaan Rachel yang juga menjadi kebiasaan Wina?"
Kembali Banyu menghela napas. Selalu bila sedang bicara dengan omanya tidak hanya raga dan intonasi suara yang harus dijaga, tetapi jiwa pun harus bisa membuka hati selapang mungkin.
"Iya, Oma, tapi itu Wina, bukan Rachel. Rachel buat Banyu tetap menjadi Rachel."
Lusi yang baru saja hendak menuju dapur mengurungkan niatnya karena sang mertua memberi isyarat agar ikut bergabung di meja makan.
"Bagi Banyu, Rachel nggak bisa diganti dengan siapa pun termasuk Wina. Banyu juga nggak bisa jatuh cinta dengan sepupu Rachel meski ada beberapa kesamaan di antara mereka."
Rima tampak menarik napas dalam-dalam. Seraya membetulkan letak kacamata dia bertanya, "Jadi kesimpulannya kamu menolak jodoh yang Oma ajukan?"
Banyu mengangguk pelan. Lisa sama sekali gak mengeluarkan suara, dia hanya menatap sang putra dengan bibir melengkung indah.
"Iya, Oma. Nggak apa-apa, kan, Oma?" Banyu menatap ragu.
Bibir Rima terangkat sedikit, dia kemudian menggeleng sambil pelan.
"Kamu bicara seperti ini, apa kamu sudah memiliki pilihan sendiri?" selidiknya.
Banyu menghela napas lega. Wajahnya tak setegang tadi. Dengan bibir tersimpul senyum dia menjawab, "Sudah, Oma, tapi ...."
"Tapi apa?" tanyanya.
"Banyu nggak tahu dia mau terima Banyu atau nggak," terang Banyu seraya mengusap tengkuk.
Kali ini baik mamanya dan Rima saling bertukar pandang. Kening keduanya terlihat mengerut.
"Maksud kamu, Nyu?" tanya Lisa.
Banyu tertawa kecil. Dia lalu bercerita tentang perempuan yang sedang dia dekati.
"Dia perempuan yang lain daripada yang lain, Ma. Dia menjauh di saat banyak perempuan mendekat, dia ketus saat perempuan lain mencoba mencari perhatian. Dia memilih tak peduli di saat yang lain ingin diperhatikan," tuturnya dengan mata menerawang.
Melihat ekspresi sang putra, Lisa memamerkan dekikan di pipi.
"Jadi kamu sedang jatuh cinta?" tanyanya menatap Banyu.
Putra tunggalnya itu hanya bisa tersenyum tipis seraya menyandarkan tubuh di bahu kursi. Rima yang sejak tadi juga memperhatikan gerak-gerik cucunya ikut tersenyum.
"Siapa namanya, Nyu? Oma jadi penasaran!"
"Iya, Nyu. Siapa nama calon menantu Mama?"
Sejenak Banyu diam. Dia kemudian duduk tegap seraya membuang napas perlahan. Bibirnya lalu mengulas senyum.
"Nanti kalau dia udah bersedia, Banyu akan kasi tahu. Kalau sekarang ... Banyu khawatir gagal, Ma."
"Gagal?"
"Iya, nantilah, Banyu kabari."
Lisa mengangguk menatap sang putra. Dia mengambil roti lalu mengoleskan mentega.
"Sarapan?" tawarnya kepada Banyu.
"Boleh, Ma."
Perempuan yang melahirkan Banyu itu menyorongkan roti yang sudah dioles mentega ke putranya.
"Apa yang kamu maksud itu perempuan bernama Seruni? Yang kemarin kamu ajak datang ke rumah Wina?" tanya sang Mama saat Banyu barusan menyuapkan roti ke mulutnya.
**
Seruni tersenyum melihat hasil akhir lukisannya. Jam dinding menunjukkan pukul 00.00 dini hari. Sejak sore tadi dia mengunci diri di kamar menyelesaikan lukisan pesanan Banyu yang menurut pria itu dibuat jadi di hari ulang tahun omanya.
Saat tengah asyik mengamati karyanya, terdengar bunyi dari arah perut. Menepuk dahinya Seruni baru sadar dia belum makan malam, meski sang mama sudah mengingatkannya berulang-ulang.
Bangkit dari duduk, dia meletakkan kuas ke meja.
"Sepertinya cacingku harus dikasi makan!" gumamnya melangkah menuju pintu.
**
Banyu terlihat gembira pagi itu. Setelah obrolan kemarin bersama Oma dan mamanya, dia semakin yakin pada niatnya meski dirinya belum tahu apakah keluarga besarnya terutama Oma setuju dengan pilihannya.
"Pagi, Pak," sapa beberapa karyawan saat dia melangkah menuju ruangannya.
Selalu membalas sapa dan tersenyum adalah kebiasaannya. Langkah Banyu terhenti kala melihat kursi Seruni kosong. Tak ada perempuan itu duduk di sana. Di sebelahnya terlihat Wulan menyapa dengan senyuman.
"Pagi, Pak."
"Pagi, eum ... Seruni ...."
"Pagi, Pak!" seru seseorang dari belakang yang tergesa berjalan ke arahnya. Di tangan kanan perempuan itu ada kanvas yang telah dilukis indah bunga Seruni.
Terengah-engah, Seruni kembali menyapa bos-nya.
"Selamat pagi, Pak. Maaf saya terlambat karena ...."
"Kamu ikut ke ruangan saya!" titah Banyu melanjutkan langkah menuju ruang kerja pribadinya.
"Eh, tapi, Pak!"
"Seruni! Udah ikutin aja perintah bos!" Wulan berkata dengan ekspresi khawatir.
***
Alhamdulillah, huhu akhirnya bisa juga muncul part ini. Maafkan jika lama menunggu. Terima kasih sudah berkunjung 🙏
"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top