Bab 15

Sepanjang jalan Seruni memilih menatap ke luar jendela. Moodnya benar-benar kacau. Sementara Banyu tersenyum kecil melihat sikap perempuan di sampingnya itu.

"Kita mau ke mana, Pak?" tanyanya heran saat menyadari Banyu meminggirkan mobilnya di sebuah warung tenda yang menyediakan makanan laut.

"Makan malam."

Kening Seruni berkerut dengan mata menyipit dia bertanya, "Makan malam? Bukannya Bapak sudah makan malam tadi di ...."

"Kamu belum, kan? Lagian aku tadi juga nggak selera," potongnya seraya melepas sabuk pengaman.

"Kita turun?" ajaknya menatap hangat.

"Makanan di sini enak-enak! Saya beberapa kali makan di sini," tuturnya masih tak mengalihkan pandangan dari paras Seruni. "Atau kamu nggak suka makan di pinggir jalan? Kamu mau makan di resto ...."

"Nggak! Saya suka makan di mana aja, tapi ...."

"Tapi? Kamu nggak suka menunya?"

"Bukan itu, tapi kenapa Bapak bawa saya ke sini bukan pulang?" protesnya."Tadi Bapak bilang ada agenda ketemu klien, tapi ternyata justru sebenarnya acara pribadi Bapak dengan calon istri Bapak."

Banyu menyipitkan matanya lalu terkekeh geli mendengar ucapan Saruni.

"Calon istri? Yang mana nih? Di situ tadi ada dua perempuan yang belum berkeluarga. Kamu sama Wina. Jadi calon istri saya yang mana menurut kamu?" Tampak mimik wajah Banyu jenaka.

Seruni mendengkus kesal, dia tak menjawab meski sebenarnya hati sudah tak lagi bisa tenang. Degup jantungnya terasa semakin cepat bertalu, itu semua benar-benar membuat dirinya mati gaya.

"Ayo, turun!" Kembali Banyu mengajaknya kali ini seraya melepas sabuk pengaman Seruni.

Tak lagi menjawab, dia mengikuti permintaan Banyu.

"Tapi setelah ini saya bisa pulang, kan, Pak?" tanyanya saat mereka berdua berada di luar.

"Bisa dong. Kecuali kalau ...." Banyu menggantung kalimatnya.

"Kalau apa, Pak?"

Menggeleng Banyu meraih tangan Seruni mengajaknya masuk ke warung tenda di depan mereka.

Berdua duduk bersebelahan. Aroma masakan khas seafood menguar memanjakan indra penciuman.

"Mau pesan apa?" tanyanya menatap Seruni.

Menggeleng dia berkata, "Terserah Bapak aja."

"Terserah. Jawaban aneh hampir setiap perempuan yang saya belum bisa mengetahui alasannya," balasnya dengan tawa kecil.

Seruni kembali mendengkus. Kalimat setiap perempuan yang diucapkan Banyu membuat otaknya berputar.

"Setiap perempuan? Wah, sepertinya Bapak sudah banyak perempuan yang Bapak ajak jalan ya?" ungkapnya kesal.

Mendengar ucapan Seruni, Banyu kembali tertawa.

"Kenapa kamu mikir seperti itu? Setiap perempuan yang kebetulan saya kenal selalu berkata terserah ketika dihadapkan dengan pilihan."

"Seperti Mama, Rachel ... juga beberapa rekan kerja yang kebetulan perempuan,  lalu, kamu!" tuturnya lagi dengan mata memindai Seruni. "Kecuali Oma. Oma itu nggak pernah bilang terserah kecuali kalau sudah kepepet!"

Seruni menarik bibirnya singkat. Rachel! Nama yang disebut oleh Banyu ini sama sekali baru di telinganya. Terlebih saat dia menyebutkan nama itu terlihat matanya sedikit hendak menceritakan sesuatu.

Siapa Rachel? Kenapa Banyu justru menyebutkan nama itu dan bukan nama Wina? Apakah mungkin Rachel adiknya atau seseorang yang istimewa. Jika adik, kenapa sosoknya tak ada saat makan malam tadi? Lalu jika Rachel perempuan istimewa, kenapa tadi hanya Wina yang ada di sana? Bertahan tanya muncul di benaknya.

"Aku pesan ikan bakar sama kepiting saus asam manis ya. Kamu mau?" Suara Banyu membuatnya terkejut.

Mengangguk, Seruni kembali berkata, "Terserah, Bapak."

Setelah pelayan mencatat pesanan Banyu, pria itu kembali menatap Seruni.

"Seruni."

"Ya, Pak?"

"Apa saya terlihat tua?" tanyanya masih intens menatap Seruni.

"Hah? Apa, Pak?" Perempuan itu mengangkat wajahnya membalas tatapan Banyu.

"Iya. Apa saya terlihat tua sehingga kamu memanggil aku dengan sebutan Bapak?" Padahal aku bukan Bapak kamu, kan?" tuturnya dengan wajah lucu.

Mengatupkan bibirnya, Seruni menahan tawa.

"Yang bilang Pak Banyu Bapak saya siapa?" tanyanya geli.

Mengusap tengkuknya, Banyu berkata, "Saya yakin pelayan tadi berpikir saya adalah Bapak kamu. Dan itu menguntungkan buatmu dan tidak buatku."

"Maksudnya menguntungkan?"

"Ya orang akan berpikir, kamu anak saya dan saya Bapak kamu," balasnya menaikkan alis menatap Seruni.

Saat hendak membalas ucapan Banyu, denting gitar terdengar jelas di sebelahnya. Seorang pengamen menyanyikan lagu lawas milik Kahitna yang berjudul, Cantik.

Suara yang cukup merdu dengan alunan gitar yang indah, membuat Seruni menghentikan niatnya untuk bercakap-cakap. Dia tampak menikmati lagu tersebut, demikian pula dengan Banyu. Pria itu tampak mencuri pandang ke Seruni yang tersenyum mendengar alunan lagu tersebut.

Setelah selesai bernyanyi, Banyu memberikan sejumlah uang untuk pengamen itu. Setelah mengucapkan terima kasih, pemuda yang mengenakan kemeja kotak-kotak dan menenteng gitar itu bertanya, "Pacarnya ya, Mas? Semoga langgeng ya."

Banyu tersenyum kemudian mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Seruni jelas melihat respon Banyu tadi. Tak ingin berpikir yang bukan-bukan, dia mencoba tersenyum saat pelayan datang mendekat padanya. Beberapa pesanan Banyu siap terhidang di meja mereka.

"Kamu pasti lapar, kan? Ayo kita makan!"

Mengangguk, Seruni mengikuti titah Banyu. Mereka kemudian asyik menikmati makan malam di warung tenda sederhana yang bertempat di pinggir jalan.

"Kamu setuju, kan kalau makanan di sini enak?" tanya Banyu saat mereka selesai makan.

Seruni mengangguk.

"Bapak tahu di sini enak dari mana?"

Mengedikkan bahu, Banyu menjawab, "Teman. Teman yang kenalin tempat ini."

"Saya bisa pulang sekarang, Pak?"

"Bisa. Mau pulang sekarang?"

Seruni mengangguk kemudian bangkit meraih tas tangannya.  Banyu tersenyum tipis melihat tingkah perempuan yang berjalan mendahuluinya. Banyu tahu Seruni sedang salah tingkah meski dia berusaha bersikap wajar.

**

Dalam perjalanan pulang, tak ada yang diucapkan Seruni. Dia kembali mengunci mulut. Sedangkan Banyu justru bibirnya tak berhenti tersenyum. Sesekali manik hitamnya melirik ke perempuan di sampingnya itu. Mobil terus berjalan hingga sampai tepat di depan rumah.

"Eum ... makasih, Pak. Maaf kalau saya tadi ada pembicaraan yang mungkin agak kasar, tapi ...."

"Sstt!" Banyu menggeleng, untuk kedua kalinya telunjuk Banyu menempel di bibir Seruni. "Nggak ada yang perlu dimaafkan. Justru mungkin saya yang harus kamu maafkan."

Suasana hening di mobil dengan AC yang dingin membuat atmosfer romantis perlahan tercipta. Mata mereka saling menatap, tak ada yang bersuara di antara keduanya.

"Saya juga yang seharusnya mengucapkan terima kasih kamu sudah mau menemani saya malam ini," sambungnya masih tak melepas pandangan dari paras cantik Seruni.

Tak tahan ditatap sedemikan intens, canggung Seruni mengalihkan pandangan ke arah lain. Jelas terlihat oleh Banyu, pipi yang merona di sana.

"Satu lagi, ada hal yang ingin aku sampaikan ke kamu. Bisa aku minta waktu sebentar saja?"

Kali ini Seruni seolah kehilangan kata-kata. Dia hanya mengangguk ketika Banyu masih menatapnya hangat.

"Saya mau kamu panggil nama saja ke saya ketika kita sedang berdua dan tidak sedang di kantor. Bisa?"

Seruni bergeming. Jantungnya terasa berdetak lebih kencang dari saat pertama mereka pergi berdua tadi. Kembali mencoba mengabaikan perasaan yang bergejolak dia membalas tatapan Banyu.

"Tapi kenapa, Pak?" tanyanya dengan suara lirih.

Banyu tersenyum tipis.

"Karena saya bukan Bapak seorang Seruni Kanaya. Tapi seorang ...." Sengaja Banyu menggantung kalimatnya.

"Seorang?"

"Ya mungkin kita bisa berteman baik untuk saat ini," balasnya.

Banyu tak ingin Seruni terkaget-kaget dengan keputusan yang sudah dia buat jauh-jauh hari. Pria itu merasa Seruni adalah perempuan yang dia cari saat ini untuk selamanya meskipun dia harus meyakinkan Oma Rima nantinya.

"Bisa?"

Kali ini Seruni tak bersuara, dia hanya mengangguk pelan dengan mengulas senyum tipis.

"Saya antar kamu sampai depan pintu."

Banyu melepas sabuk pengaman kemudian membuka pintu kemudian diikuti Seruni. Menarik napas dalam-dalam, Banyu melihat arloji.

"Masih belum terlalu malam untuk memulangkan anak kesayangan papamu," tuturnya menatap Seruni yang sejak tadi mendadak membisu.

Jika boleh jujur, dia ingin sekali berteriak mempertanyakan pada hati kenapa dirinya semakin tak bisa menahan degup jantung yang dia rasakan semakin kencang.

Mengetuk pintu, Banyu meraih tangan Seruni. Tak lama kedua pintu terbuka. Heru sang papa menatap dengan wajah lega.

"Maaf, Om kalau terlalu malam," tuturnya sopan.

Heru mengangguk. Matanya memindai tangan Banyu yang seperti enggan melepas tangan putrinya. Tak lama terlihat Ida muncul di belakang suaminya.

"Tante, Om, saya pamit. Terima kasih sudah mengizinkan Seruni ikut saya malam ini."

Ida dan Heru tersenyum.

"Terima kasih juga. Nak Banyu sudah mengantar Seruni kembali pulang." Heru menanggapi.

"Seruni, saya balik dulu. Sampai ketemu lagi," ucapnya seraya melepaskan tangan perempuan itu.

Lagi-lagi bibirnya terasa terkunci. Seruni mengangguk lalu tersenyum.

**

Alhamdulillah ... bisa update juga akhirnya.

Apa kabar semuanya ... semoga diberikan kesehatan semua yaa. Take care stay healthy everyone 💜

Btw kalau ada typo, colek yaa. Terima kasih 🙏







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top