Bab 14

Mata Seruni membulat ketika dia merasakan tangannya semakin digenggam erat oleh Banyu.

"Ayo, Seruni!" bisiknya seraya kembali melangkah mendekat.

Pindaian mata semua orang di tempat itu semakin menajam. Seperti tak mengindahkan keresahan Seruni, Banyu mengajaknya mendekat ke seorang perempuan sepuh yang tetap stylish.

Perempuan itu mengenakan baju panjang berwarna hitam dengan kalung mutiara tersemat menghias lehernya. Dari tampilannya, siapa pun paham seperti apa strata sosial yang dimilikinya.

"Oma, kenalin dia Seruni. Seruni, ini Oma Rima. Perempuan paling cantik ... setelah kamu dan Mama," tuturnya lirih saat mengucapkan kalimat terakhir.

Mendengar ucapan Banyu, mata Seruni membulat. Dia merasakan wajahnya memanas sementara Banyu tersenyum lebar menikmati rona merah yang semburat di pipi perempuan di sebelahnya itu.

"Namanya Seruni?" Oma Rima membuka percakapan setelah Seruni menyalami dan mencium punggung tangan perempuan yang mewarnai rambutnya dengan warna mocca itu.

"Iya, Oma."

"Nama bunga kesukaan Oma itu!" balasnya menatap Banyu, "Dia siapamu, Banyu?" tanyanya dengan mata menyelidik

"Dia asisten Banyu, Oma. Oh iya, Seruni, itu Mama juga papaku," tuturnya mengenalkan kedua orang tuanya yang duduk di sebelah Rima.

Tersenyum dan membungkuk sopan, Seruni juga menyalami keduanya. Lisa terlihat sangat terkesan dengan penampilan Seruni, terlebih saat perempuan itu menyalami dan mencium punggung tangannya. Demikian pula dengan Fery papa Banyu.

"Nah kalau ini, Om dan Tante Hartono," tuturnya lagi.

Kembali Seruni melakukan hal yang sama menyalami mereka.

"Dan itu, Wina, putri Om Hartono." Banyu menunjuk seorang perempuan yang berjalan ke arah mereka.

Mendengar nama Wina, Seruni sedikit terkejut, tetapi cepat dia menarik bibirnya lebar dan menjabat tangan perempuan bergaun merah di hadapannya.

"Seruni," ucapnya mengenalkan diri.

"Wina. Oh jadi kamu yang bawa ponsel Banyu?" sindirnya dengan senyum mengejek.

"Banyu, silakan duduk!" titahnya menatap Banyu.

"Thank you, Win," sahutnya. "Seruni." Banyu menyeret kursi dan mempersilakannya duduk.

"Saya pulang aja ya, Pak! Nggak enak berada di sini," ungkap Seruni saat Banyu duduk di sebelahnya.

"Kok pulang? Nanti aku antar kamu. Kalau kamu pulang sekarang, aku juga pulang."

Mendengkus, Seruni mengatupkan bibirnya rapat menahan kesal.

"Sepertinya yang ditunggu sejak tadi sudah datang, jadi kita bisa mulai makan malamnya?" tanya Bu Hartono ramah menatap tamunya.

"Tentu. Kita bisa mulai sekarang," sahut Rima tersenyum.

Hidangan makan malam istimewa dengan aneka ragam makanan tersaji. Seruni bahkan tidak tahu apa saja nama makanan di depannya. Selain karena suasana hati yang semakin memburuk, dia bukan penikmat hidangan yang tersaji di meja itu.

"Kamu mau yang mana, Banyu? Biar aku ambilkan." Wina menatap lembut pria di sampingnya.

"Eum ... pasta aja!"

"Pasta? Aku udah pesan lobster dengan resep terbaik punya restoran Mayapada itu loh. Kamu nggak mau coba?"

Banyu tersenyum tipis kemudian menggeleng.

"Oke. Aku ambilkan!"

Seruni membisu. Dia benar-benar mati gaya dengan kondisi saat ini. Sementara yang lainnya tampak asyik menikmati hidangan dan saling bercengkerama.

"Seruni kamu mau makan apa?" Banyu menoleh ke arahnya. "Kamu bilang, aku ambilkan!"

Perempuan berhidung mancung itu merasa jantungnya semakin tidak aman. Terlebih saat mata Banyu intens memindai wajahnya dari dekat.

"Nggak usah, Pak. Saya nggak lapar!" jawabnya asal.

Jawaban Seruni didengar oleh Wina. Perempuan berkulit eksotik itu menoleh.

"Kamu nggak mau makan? Atau ... ada makanan lain yang kamu mau? Aku bisa pesankan sekarang," ucapnya dengan senyum miring.

Ditanya seperti itu semakin membuat Seruni kesal. Akan tetapi, tak mungkin dia menunjukkan kekesalan di depan orang-orang yang baru saja dikenal, terlebih orang tua bosnya.

"Pak, saya bisa ke toilet?"

Banyu mengangguk kemudian mengatakan kepada Wina.

"Kamu bisa ikuti Mbak yang di pintu itu. Dia akan menunjukkan letak toilet!" Wina menunjuk ke arah pintu kaca di sisi kana tempat mereka makan malam.

"Terima kasih. Eum ... permisi, Pak."

"Seruni."

"Ya, Pak?"

"Kamu nggak sedang berpikir pergi, kan?"

Menarik napas dalam-dalam, Seruni dibuat kikuk karena Oma Rima menatapnya tanpa jeda.

"Eh, nggak. Nggak, Pak."

Membungkuk sopan, Seruni meninggalkan tempat itu menuju arah yang ditunjuk Wina.

"Mbak, saya bisa minta tolong?" tanyanya pada pelayan rumah setelah dia sampai di depan toilet.

"Minta tolong apa, Mbak?"

Sejenak Seruni berpikir.

"Bisa saya pinjam ponselnya?"

Terlihat wajah pelayan itu heran menatap Seruni.

"Ponsel saya ketinggalan. Bisa?"

Perempuan setinggi bahunya itu mengangguk memintanya untuk menunggu.

"Saya ambil di kamar dulu."

Seruni mengangguk dengan tangan saling bertaut resah. Sesekali dia melongok ke arah luar berharap Banyu tidak mendatanginya.

"Ini, Mbak."

Menghela napas lega, dia mengucapkan terima kasih. Cepat dia mengetikkan nomor telepon Wulan, tetapi beberapa kali dia coba memanggil, tak ada tanda-tanda diangkat.

"Sebentar ya, Mbak. Saya coba lagi boleh?" tanyanya sedikit panik.

"Iya, Mbak. Nggak apa-apa. Saya tinggal dulu ya."

"Eh, jangan, Mbak. Mbak tunggu di sini aja. Sebentar kok," pintanya seraya menahan lengan perempuan bercelemek merah itu.

"Baik, Mbak."

Kembali dia menekan nomor telepon Wulan berharap kaki ini sahabatnya itu merespon.

"Please, Wulan! Angkat teleponnya!" Seruni menggumam lirih.

Akan tetapi, dan seperti tadi. Wulan tak kunjung menjawab teleponnya.

"Tio! Aku harus telepon Tio!" gumamnya.

"Seruni?" Suara Banyu tiba-tiba terdengar tepat di belakangnya.

Tubuh Seruni seperti membeku. Dia mengatupkan bibirnya dengan memejamkan mata sejenak mengatur jantung yang berdegup kencang.

"Kamu kenapa di sini?" tanyanya heran pada pelayan Wina.

"Eum ... Mbak, ini ponselnya. Makasih ya," ujarnya memberikan benda itu ke perempuan berambut pendek tersebut.

Mengangguk, perempuan itu meninggalkan Seruni dan Banyu berdua.

"Kamu ... pinjam telepon ...."

"Iya. Saya kesulitan nggak bisa menghubungi siapa pun karena telepon saya ...."

Banyu tersenyum dia merogoh kantong bajunya menyerahkan ponsel milik Seruni. "Ini punyamu. Maafkan saya sudah membuat kamu kesal."

Menghela napas, dia menerima benda yang sejak kemarin tak berada di tangannya.

"Kamu mau telepon siapa?"

"Pak, izinkan saya pulang ya. Saya nggak apa-apa pulang sendiri. Nggak perlu diantar atau ...."

"Ssstt!" Telunjuk Banyu menempel di bibir Seruni sehingga perempuan itu menghentikan kalimatnya.

Belum sempat protes, Banyu meraih tangan Seruni.

"Ikut saya!"

"Ke mana, Pak? Saya nggak mau makan. Saya kenyang!" tolaknya mencoba menghindar, tetapi cepat Banyu menahannya.

"Yang ngajakin kamu makan siapa? Ayo, Oma nyariin kamu!"

Kening Seruni berkerut.

"Oma? Nyariin saya?"

Banyu tersenyum karena merasa genggamannya dibalas oleh Seruni.

"Iya. Oma tertarik dengan namamu."

Lagi-lagi Seruni memejamkan mata mencoba memahami kondisi yang benar-benar membuatnya kacau.

"Oma itu suka dengan segala macam bunga dan tanaman. Nah, salah satu dari bunga yang dia suka adalah seruni. Itu namamu, kan?"

Dia hanya mengangguk lesu.

"Kamu tenang aja. Oma orang yang baik, tapi mungkin sedikit cerewet. Ya maklum secara memang sudah usia lanjut," terangnya.

"Pak, kapan saya bisa pulang?"

"Setelah Oma selesai bicara ke kamu. Kita pulang. Saya janji."

Bersama Banyu dia duduk di samping Oma. Tampak Wina tengah berbicara dengan orang tua Banyu. Mereka terlihat sangat akrab.

"Seruni. Oma suka nama kamu."

"Makasih, Oma."

"Dari nama itu, sepertinya orang tuamu atau mamamu penyuka bunga ya?" tanyanya menatap intens padanya. "Atau justru kamu juga suka memelihara tanaman?"

"Eum ... Mama, Mama yang senang merawat tanaman, Oma, sahut Seruni.

Rima mengangguk paham.

"Kamu? Kamu nggak suka merawat tanaman?"

"Eum ...."

"Seorang perempuan itu bisa dilihat seberapa telaten dia merawat tanaman. Jika dia telaten merawat bunga atau tanaman, maka hampir bisa dipastikan dia seorang yang penyabar," papar Rima seraya membetulkan letak kacamatanya.

"Seperti Wina. Dia sangat menyukai bunga anggrek. Koleksinya banyak dan beraneka ragam jenis," sambungnya menatap vas di meja. "Itu anggrek yang di vas itu. Kamu tahu namanya?" Rima mengalihkan pandangan ke Seruni.

Tersenyum kecut, dia menggeleng.

"Nggak tahu, Oma."

Rima tersenyum tipis. "Itu jenis anggrek bulan. Menurut Wina, dia sendiri yang merawat semua tanaman anggreknya."

Kembali Seruni tersenyum kecut. Oma terus sama bercerita tentang aneka tanaman dan lagi-lagi membanggakan keterampilan Wina soal bercocok tanam sama seperti dirinya. Hal tersebut membuatnya semakin tak nyaman.

Banyu yang sejak tadi tak berhasil menyela ucapan Rima akhirnya bisa menengahi.

"Oma, tadi papanya Seruni berpesan agar putrinya tidak pulang terlalu malam. Jadi sepertinya Banyu harus antar Seruni pulang ya, Oma."

Rima menatap arlojinya kemudian mengangguk.

"Setelah mengantar Seruni, kamu cepat pulang ya. Oma sama orang tuamu juga akan pulang."

Banyu mengangguk kemudian pamit ke empunya rumah termasuk Wina.

"Banyu, bisa besok kita ketemuan?" tanya Wina saat Seruni dan Banyu hendak keluar rumah. "Kita bicara soal materi iklan yang kemarin kamu minta ke aku!"

"Tentu! Di mana?"

Wina lalu menyebut nama salah satu restoran terkenal yang terletak di salah satu mal terbesar di kota itu.

"Oke."

"Oh iya, kamu sendiri aja. Aku nggak bisa fokus bicara soal kerjaan nanti kalau kamu bawa orang lain!" potongnya seraya melipat kedua tangan ke dada dengan mata melirik ke Seruni.

***

Hayoo ... itu Seruni pasti laper, wkwkwk. Btw peka nggak ya kekira Mas Banyu?

Numpang promo ebook Beautiful Disaster ya💜

Buat yang kemarin belum kekep novelnya, sekarang bisa baca lengkap versi ebooknya. Ada lima atau enam part tambahan di sana. Ingat, jangan beli bajakan yaa😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top