Bab 12

Mata Seruni membeliak menyadari ponselnya telah tertukar. Ada banyak notifikasi tertera di sana. Paling banyak adalah panggilan masuk dari seseorang yang bernama Wina.

Seruni mengembuskan napas ke atas sehingga anak rambutnya bergerak.

"Kenapa aku bisa seceroboh ini sih!" gerutunya.

"Terus gimana ini? Gimana kalau ...."

Dering telepon milik Banyu berbunyi. Secepat mungkin matanya menatap benda itu.

"Wina lagi? Huuuft, dia siapa sih? Telepon melulu, kayak orang takut kehilangan!" cetusnya kesal.

"Halo."

"Halo kamu siapa? Banyu mana dari tadi di telepon nggak diangkat?" Terdengar cecar pertanyaan dari seberang.

"Saya Seruni, karyawan Pak Banyu."

"Karyawan Banyu? Di mana Banyu? Kenapa ponselnya bisa ada di kamu? Mana Banyu? Aku mau bicara!"

"Maaf, tapi saya nggak tahu di mana Pak Banyu."

"Hah! Kamu bawa ponsel Banyu, tapi nggak tahu di mana dia?" Suara di seberang terdengar makin marah.

"Iya, sebab ponselnya tertukar."

"Tertukar atau kamu mau mencuri ponsel dia?"

Seruni seperti sudah kehabisan kesabaran, terlebih saat mendengar kalimat terakhir perempuan itu.

"Maaf ya, Wina atau siapa pun kamu! Meski saya cuma karyawan, tapi saya bukan kriminal! Tolong mikir kalau mau bicara!"

Seruni mengakhiri panggilan itu lalu mengaktifkan mode pesawat.

"Mau aku kembalikan tapi rumahnya di mana aku nggak tahu, mana besok Pak Banyu ke luar kota lagi," gerutunya sembari mondar mandir di kamar.

"Lagian, masa sampai sesore ini dia nggak nyadar sih kalau ponselnya ketukar!" gumamnya. "Aargh! Ngeselin banget sih punya bos!"

**

Banyu terlihat rapi dengan kaus hitam pas badan dengan celana jeans biru gelap. Senyumnya lagi-lagi terukir saat menatap ponsel milik Seruni.

Sama halnya dengan ponsel Banyu, telepon genggam milik perempuan berdagu lancip itu pun tak luput dari serangan pesan dan panggilan tak terjawab. Tio yang paling banyak kemudian Wulan.

Senyumnya melebar saat telepon itu berbunyi dan terbaca Wulan memanggil.

"Halo, Seruni! Runi, astagaaa! Lo ke mana aja, Runi! Lo bikin gue sama Tio bingung tahu nggak! Apalagi Tio, aku jadi sasaran kemarahan dia! Dia bilang aku sedang bermasalah sama lo! Lo di mana sih! Nih dengar ya, gue sama Tio ini mau ke kantor polisi! Mau ngelaporin lo sebagai orang hilang! Bentar lagi Tio sampe. Lo kenapa, ngilang gitu aja setelah meeting sama Pak Banyu? Gue lihat Bu Mery balik ke kantor, tapi lo nggak ada. Gue tanya ke Bu Mery eh yang ada gue kena semprot doi! Eh jangan bilang lo kencan sama Pak Banyu, Run! Ngaku lo!"

Merasa heran tak ada jawaban dari seberang, Wulan diam.

"Runi! Seruni! Lo masih di sana, kan? Ini lo, kan?"

"Halo, Wulan. Saya Banyu."

Hampir saja mata Wulan melompat dari tempatnya karena terkejut. Wajahnya mendadak berubah pias.

"Pak ... Pak Banyu?" tanyanya terbata-bata.

"Iya. Ponsel saya tertukar dengan ponsel Seruni tadi." Suara tenang Banyu membuat dirinya merasa malu karena sudah sedemikian rupa berceloteh.

"Maaf, Pak. Maaf kau saya tadi ...."

"It's oke! Nggak apa-apa. Wajar kamu panik kehilangan sahabatmu."

Wulan menelan ludahnya masih dengan wajah pias.

"Oh iya, saya mau menukar ponsel ini, boleh saya tahu alamat Seruni?"

"Oh, bisa, Pak."

"Oke, kirim ke saya sekarang."

"Baik, Pak."

Sambungan telepon berakhir. Kembali Banyu tersenyum seraya membuka pesan dari Wulan.

"Well, thanks, God! Aku rasa aku harus ke sana sekarang!"

**

Mengenakan gaun malam panjang dengan bagian leher berpotongan off the shoulder, Seruni selesai berdandan. Rambut panjangnya dia buat sedikit curly dengan make-up flawless menjadikan penampilannya berbeda.

Seperti yang dibilang mamanya, malam ini keluarga mereka kedatangan tamu yang merupakan sahabat lama papanya. Masih menurut mamanya, teman papanya ini memiliki putra yang mungkin bisa cocok dengan dirinya.

Meski awalnya dia menolak memakai pakaian yang diberi sang Mama, tetapi tak urung akhirnya dia setuju.

"Mama sama papamu itu nggak selamanya hidup, Runi. Saat kami nanti nggak ada lagi di dunia ini, Mama harap kamu sudah memiliki pasangan yang sayang dan cinta padamu. Itu saja yang kami inginkan," ungkap mamanya saat dia menolak memakai gaun tersebut.

"Iya, Ma. Tapi ini kan kita cuma makan malam di rumah. Kenapa Runi harus pakai baju seperti ini?"

"Kenapa? Kamu nggak suka?"

"Bukan begitu, Ma. Baju ini cocok kalau dipakai di pesta di restoran atau di tempat lain, buka di rumah," tuturnya berusaha menjelaskan.

"Mama nggak mau tahu, pokoknya kamu pakai aja itu gaun. Mama suka dengan model.dan bahannya. Kamu pasti cantik pakai baju ini!"

Menarik napas atas keras kepala sang mama, akhirnya dia tak lagi mau mendebat, hingga gaun itu kini telah membalut tubuh langsingnya.

"Mbak Runi! Buka pintu dong!" Hastari terdengar mengetuk pintu kamarnya.

"Masuk aja, nggak dikunci!"

Pintu dibuka. Tampak perempuan berperut buncit muncul di sana. Wajahnya riang menatap sang kakak yang terlihat sangat cantik.

"Mbak! Cakep banget sumpah!" cetusnya seraya mendekat.

"Ini gaun pasti lo yang rekomendasikan ya?"

Mengulum senyum Hastari mengangguk.

"Kok tahu?"

Meletakkan sisir ke meja rias, dia membalas tatapan sang adik.

"Karena Mama nggak mungkin seperti ini seleranya!"

Hastari terkekeh diikuti Seruni.

"Tapi itu juga setelah gue geber beberapa model gaun malam loh, Mbak! Jadi gue rasa selera Mama sudah membaik dan cukup up to date!" paparnya masih dengan tawa.

"Jadi Mbak siap bakal ketemu sama Mas Dito?" tanya Hastari saat tawa mereka reda.

"Dito? Dito siapa?"

Tersenyum lebar, Hastari menjelaskan identitas putra dari kawan lama papa mereka. Dito adalah putra dari Pak Beni. Pria itu baru saja menjabat sebagai kepala bagian di sebuah bank swasta.

"Karir bagus, mapan, wajah ... sayangnya wajah gue belum tahu, Mbak!" tuturnya menganalisis.

Seruni menarik napas dalam-dalam kemudian tersenyum.

"Apa bedanya dengan pria itu? Toh semua yang lo sebut ada di pria pengkhianat itu!"

Kali ini Hastari yang menarik napas dalam-dalam.

"Ayolah! Mbak nggak bisa men-judge semua pria seperti Andromeda!" protes Hastari seraya mengusap perutnya, "Mbak nggak lihat Papa? Papa setia, kan? Ada banyak yang baik juga di dunia ini, Mbak!"

Melihat wajah adiknya yang tampak kesal, Seruni tersenyum.

"Oke! Ini cuma makan malam biasa, kan? It's oke! Mbak ikutin apa yang Mama sama Papa mau! Tapi untuk lebih dekat seperti yang lo dan Mama impikan,

"Seruni! Ada tamu nyari kamu!" Ida melongok dari balik pintu. Matanya membulat melihat penampilan putri sulungnya yang terlihat memesona.

"Siapa, Ma?" tanyanya.

Ida menggeleng.

"Mama nggak tahu, tapi dia bilang ada sesuatu yang mau dia berikan!"

"Laki-laki atau perempuan, Ma?" Hastari ingin tahu.

"Laki-laki, dan sepertinya dia bukan orang biasa. Eum, maksudnya terlihat dari mobil dan pakaiannya," jelas Ida masih tampak terpukau dengan dandanan sang putri.

"Mama! Sampe detail gitu merhatiin tamu Mbak Seruni!" ledek Hastari.

"Bukan begitu, karena udah lama banget Mbakmu itu nggak kedatangan tamu pria selain Tio," timpal sang mama.

Seruni memijit pelipisnya lalu menggeleng mendengar perdebatan keduanya.

"Mama, dia sebut nama nggak?" Seruni mencoba menengahi.

"Eum ... iya. Namanya Banyu!"

Mata Seruni membulat mendengar nama bosnya disebut.

" Banyu, Ma?"

"Iya, dia bilang begitu. Kenapa?"

"Itu bos Seruni!"

**

Nah, Mama Ida  sepertinya kedatangan dua pria yang cukup rekomended untuk calon suami Seruni nih ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top