Bab 10
Hai, maafkan baru bisa update
Semoga tetap bisa menghibur teman2 semua yaa. Happy reading 💚
**
Seruni kembali ke mejanya dengan wajah seolah sedang memikirkan sesuatu. Tak ingin ketinggalan informasi, cepat Wulan menggeser kursinya mendekati Seruni.
"Kenapa muka lo kusut, Run? Lo kena semprot si Banyu?"
Seruni melirik Wulan yang baru saja menyebutkan nama bosnya enteng.
"Wulan! Suara lo kecilin dikit kenapa sih!"
"Iya, sori. Habisnya muka lo kek anak yang nggak dikasi uang saku sama orang tuanya gitu!" selorohnya diselingi tawa kecil. "Eh serius, lo kenapa, Run?"
"Besok gue bakal satu mobil sama bos," sungutnya.
Mata Wulan membulat sempurna mendengar ucapan Seruni.
"Bagus dong! Eh, gue kasi tahu nih ya, lo kudu perawatan sore ini, nanti gue anterin ke salon langganan gue, dia ...."
"Wulan apaan, sih! Emang gue mau ngapain kudu perawatan segala!" potong Seruni sewot.
"Lo kan mau semobil sama bos, lo wajib wangi, tampil beda dan ...."
"Ck! Udah deh, nggak usah ngaco! Gue besok semobil untuk ketemu klien. Bukan kencan atau semacamnya kek elo!"
Bibir Wulan membulat.
"Jadi lo ketemu klien di luar kantor?"
Seruni mengangguk.
"Mereka nggak jadi ke sini, dan itu artinya gue kudu bawa beberapa berkas ke sana ke mari, dan itu sangat merepotkan!"
Wulan memutar bola matanya seraya berkata, "Itu tugas lo, Runi. Kerja ya emang repot. Makanya lo kudu jadi istri sultan biar tinggal duduk cantik di salon sambil buka aplikasi belanja dan klik barang apa pun yang lo suka terus pesan deh, nggak cuma simpen di keranjang kek sekarang!"
Mendengar ledekan Wulan, Seruni tak sanggup menyembunyikan tawa.
"Udah ah, kita makan siang yuk! Mama tadi nggak bawain bekal. Gue laper!"
"Oke!" Wulan bangkit mengambil tas tangannya kemudian mengikuti langkah Seruni.
Kedua sahabat itu duduk menikmati makan siang di kantin kantor.
"Jadi lo besok tuh meeting-nya?"
"Iya," sahut Seruni sambil memainkan sedotan di gelasnya.
"Wulan."
"Hmm?"
"Gue pikir dia pria aneh sih!"
"Siapa?"
"Banyu. Siapa lagi!"
Wulan yang baru saja menyelesaikan makan siangnya sedikit terbatuk mendengar jawaban Seruni.
"Ciee, yang mulai terBanyu-Banyu," godanya.
"Ish, lo dengerin dulu omongan gue, Lan."
"Sok, cerita. Gue dengerin!"
Seruni menatap Wulan kemudian menceritakan soal karet rambut yang dikembalikan hingga soal permintaan Banyu untuk dibuatkan lukisan.
"Seriusan, Run? Seriusan dia ngembaliin karet rambut lo? Dia juga minta kamu melukis?"
Seruni mengangguk.
"Menurut buku psikologi cinta yang gue pernah baca, itu adalah salah satu tanda bahwa hal yang dilakukan Banyu, menunjukkan dia sedang melakukan pendekatan, Run!"
Seruni menarik napas dalam-dalam kemudian menggeleng.
"Lo ngaco lagi, kan!"
"Ish, itu bukan gue yang bicara! Buku itu yang bicara, Seruni!"
Seolah tak ingin melanjutkan pembicaraan, Seruni kembali mengajak Wulan kembali ke kantor. Mereka berdua berjalan berdampingan meninggalkan kantin.
"Seruni."
"Hmm?"
"Kalau ternyata Banyu jatuh cinta sama lo gimana?" Wulan menatap Seruni dengan mata berbinar. "Itu hal bagus, kan?"
Menarik napas dalam-dalam, Seruni cuma menggeleng menanggapi ucapan Wulan. Dia melangkah lebih cepat mendahului sahabatnya itu.
"Seruni!" panggil Wulan setengah berlari.
"Apa!"
"Lo kok nggak jawab sih! Jangan bilang lo nggak punya perasaan sama cowok!"
Mendengar celoteh Wulan dia menghentikan langkah kemudian berbalik menghadap sahabatnya yang sedikit lebih pendek darinya itu.
"Gue normal, Wulan! Kalau nggak normal udah gue pacarin lo atau Bu Mery!" balasnya seraya mengerling ke arah belakang Wulan lalu bergegas menuju lift untuk naik ke lantai delapan.
Sementara Wulan menoleh, matanya membeliak melihat Mery dan Banyu menuju ke arahnya. Rupanya mereka berdua baru saja dari luar dan hendak menuju ke lantai yang sama.
"Seruni, tunggu!" Mengambil langkah seribu, Wulan mengikuti Seruni yang hampir masuk ke lift.
Terengah-engah dia berdiri di samping Seruni.
"Tega lo ninggalin gue!" keluhnya.
"Lagian lo aneh-aneh aja!"
"Ya kan gue berandai-andai, Runi."
"Ssst! Mereka satu lift sama kita!" Seruni mencubit lengan Wulan sambil memberi isyarat agar rekannya itu diam.
Tak banyak yang naik bersama mereka siang itu, dan sudah dipastikan Banyu dengan mudah bisa menyapa anak buahnya itu saat lift mulai naik.
"Makan siang di mana?" tanya Banyu berdiri menyamping sehingga bisa menatap Seruni dengan mudah.
"Di kantin, Pak. Masa iya di mal, kejauhan!" jawab Wulan mencoba mencairkan suasana karena dia tak melihat tanda-tanda Seruni menjawab.
Banyu tersenyum lebar mendengar jawaban Wulan.
"Besok kamu bisa berangkat lebih awal, kan? Seruni?" tanyanya memindai wajah perempuan berdagu lancip itu.
"Bisa, Pak," jawabnya seraya tersenyum.
"Bagus! Nanti kamu naik mobil saya aja."
"Ke mana, Pak? Kenapa Bapak sama Seruni naik mobil bareng?" Mery ikut bicara.
"Meeting. Klien kita mengundang meeting di tempat yang mereka siapkan."
"Loh, bukannya mereka datang ke kantor kita ya, Pak?" tanyanya.
"Mereka membatalkan dan mengganti lokasinya."
Mery tersenyum datar, tampak matanya melirik tak suka ke arah Seruni. Pemandangan itu ditangkap oleh Wulan sedangkan Seruni tak menyadari tatapan kepala receptionis-nya.
Kembali duduk di mejanya, Seruni menatap layar tujuh belas inci yang menyala.
"Runi!"
"Hmm."
"Kenapa perasaan gue nggak enak ya?" Wulan memutar kursinya menghadap Seruni.
"Kenapa? Bram nggak telepon lo lagi?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari laptop.
"Ish! Bukan, Run!"
"Terus?"
Perempuan berambut sebahu itu bangkit dan mendekat ke seruni.
"It's about Mery!" bisiknya dengan tubuh sedikit membungkuk.
Menyipitkan mata, Seruni menatap Wulan.
"Kenapa emang dia?"
"I don't know, tapi gue rasa dia ...."
"Wulan! Kamu bisa serahkan ke ruangan saya laporan keuangan yang kemarin di minta Pak Banyu?" Suara Mery membuat Wulan segera meninggalkan tempat Seruni.
Perempuan cantik itu menatap Wulan seperti hendak memakannya hidup-hidup.
"Iya, Bu. Bisa. Segera saya serahkan."
"Kamu, Seruni! Kamu bisa, kan kerja yang serius? Kalau mau ngerumpi nanti setelah selesai jam kerja!" Tatapan tajam kali ini mengarah ke Seruni.
Tak menyahut, Seruni hanya mengangguk kemudian kembali ke pekerjaannya.
**
Untuk meeting hari ini, Seruni mengenakan blazer berwarna lilac. Tas tangan berwarna putih dan sepatu flat yang senada. Tak ingin rambutnya mengganggu saat presentasi nanti, dia menguncir kuda rambut hitamnya.
"Anak Mama cantik banget!" sambut mamanya saat dia keluar dari kamar.
"Iya, Ma. Ada meeting penting hari ini."
Seruni melangkah menuju meja makan lalu duduk tepat di sebelah sang papa.
"Papa senang pekerjaanmu lancar, Runi."
"Makasih, Pa. Ini juga berkat doa Papa dan Mama, kan?" balasnya lalu melahap sandwich yang disediakan Ida.
"Runi."
"Iya, Ma?"
"Kalau kamu Mama kenalin sama anak teman Mama gimana?" Ida menatap ragu putrinya. "Dia baru saja diangkat jadi pimpinan sebuah bank swasta. Menurut mamanya, dia sedang sendiri kayak kamu. Jomlo!"
Seruni membalas tatapan mamanya sekilas kemudian berganti ke papanya.
"Kenalin aja, kan, Ma? Bukan yang lain?" selidiknya.
"Iya. Sementara kenal aja dulu," jawab Ida. "Gimana, mau, kan? Nanti Mama atur kapan waktunya."
Seruni menarik napas dalam-dalam kemudian menggeleng.
"Nanti aja, Ma. Kapan-kapan ya. Seruni lagi sibuk akhir-akhir ini. Apalagi sekarang bos baru dan Seruni harus kerja keras agar bisa meyakinkan dia bahwa Seruni mampu bekerja dengan baik!" paparnya lalu meneguk jus jeruk hingga tandas.
"Ya udah, Seruni harus segera berangkat. Papa, Mama, doakan Seruni bisa meyakinkan klien ya," pamitnya seraya mencium punggung tangan keduanya bergantian.
Perempuan semampai itu pergi setelah mengucapkan salam.
**
Sebuah panggilan mengagetkan Seruni. Tak biasanya Mery meneleponnya. Beruntung saat itu lampu merah.
"Halo, Bu?"
"Seruni, kamu nanti berangkat sendiri ke restoran tempat meeting ya."
"Loh, kenapa, Bu?"
"Ini saya sudah di kantor dan begitu pesan Pak Banyu. Beliau bilang ada hal yang membuatnya harus berangkat sendiri."
"Oh oke, Bu."
"Kamu ke kantor dulu untuk ambil berkas, kan?"
"Semua berkas sudah ada di saya, Bu. Saya bisa langsung ke tujuan aja.
"Oke, baik."
Obrolan selesai, tepat saat lampu hijau menyala. Seruni mengarahkan mobilnya langsung ke restoran yang di maksud. Seperti biasa, dia harus bersabar karena selain lokasi sedikit lebih jauh dari kantornya, tempat itu juga selalu jadi langganan macet.
Setelah bisa melewati kemacetan, dia tiba di Restoran Majapahit. Seperti yang dikatakan bosnya, perempuan cantik itu langsung menuju ke tempat meeting yang ada di rumah makan tersebut. Seorang petugas restoran ramah menyambut dan mempersilakan dia untuk masuk.
Keningnya berkerut saat tak mendapati seorang pun di sana. Akan tetapi, saat dia baru saja hendak menelepon, dari pintu muncul bosnya bersama Mery. Perempuan yang mengenakan baju formal dengan rok sebatas lutut itu tersenyum ke arahnya dengan mata seolah meminta agar dirinya diam.
"Seruni? Kenapa kamu sudah di sini? Bukannya aku meminta kamu ke kantor dulu biar kita bisa berangkat sama-sama?" Banyu menatap heran.
"Eum ...."
"Tadi bukannya kamu bilang ada masalah sama mobil kamu, kan, Seruni?" potong Mery masih dengan tatapan yang sama.
"Kalau gitu kenapa nggak telepon saya?" Kembali Banyu bertanya.
Tahu ada yang disembunyikan dari tatapan Mery, Seruni mengangguk canggung. Dia mengiyakan apa yang dikatakan Mery.
"Maaf, Pak. Saya nggak mau merepotkan, jadi saya minta Bu Mery untuk mendampingi sementara sampai mobil saya kembali bisa dipakai."
**
Jadiii ... apakah yang terjadi pada Bu Mery? Benarkah dia mulai ter-Banyu-Banyu? Hehe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top