Bab 1

Ehaaiii .... monmaap baru bisa up bab satu sesiang ini. Eum ... kekira kalau hari ini aku kasi doubel update gimana? Mau tak?

**

Seruni membiarkan mamanya bercerita panjang lebar soal kehamilan Hastari. Belakangan ini lagi-lagi soal dirinya yang dibahas. Semua orang di rumah berbahagia dengan kabar hamilnya sang adik, tetapi tetap saja sibuk mencari solusi tentang dia yang belum juga mendapatkan calon pendamping.

"Mama, udah. Nggak usah bingung soal Seruni, Ma. Fokus aja ke kehamilan Hastari."

Ida sang mama melirik kemudian berkata, "Kamu itu anak Mama juga, Seruni! Kenapa kamu ngelarang Mama bingung dengan kondisi kamu sekarang?"

Menarik napas Seruni meletakkan potongan pizza ke piring.

"Seruni tahu, Ma. Tapi untuk sekarang memang Seruni masih ...."

"Masih senang sendiri, melakukan apa pun bisa tanpa terbebani dengan pasangan. Semua bisa dilakukan tanpa harus lapor ke pasangan! Begitu, kan?"

Alis perempuan berlesung pipi itu naik dengan senyum tercetak di bibir.

"Nah itu Mama tahu."

"Seruni! Kamu itu kenapa sih? Ingat! Andromeda udah bahagia sama perempuan itu. Kenapa kamu masih aja jalan di tempat?"

Mendengar nama Andromeda disebut, wajahnya sontak berubah.

"Mama. Kenapa ngingetin nama dia lagi sih?"

Memahami ucapannya membuat sang putri sedih, Ida menarik napas panjang.

"Mama nggak ngingetin, Seruni! Cuma Mama kesel aja. Kenapa kamu seperti nggak pernah mikir untuk cari pengganti Andro?"

Seruni bergeming. Mamanya tidak salah. Dia memang tidak pernah berpikir untuk itu. Luka yang ditorehkan Andromeda terlalu dalam dan sulit baginya untuk bisa kembali semula.

Bayangan Gina yang datang padanya dengan mata mengembun begitu dalam melekat. Pun demikian dengan kebohongan Andro selama ini padanya.

"Maafin Mama. Mama cuma nggak mau kamu terus begini, Runi. Kamu itu cantik, pintar, baik dan mandiri. Mama rasa nggak ada yang kurang dari kamu, Nak," tutur Ida lirih saat menyadari ucapannya menyakiti sang putri.

Seruni tersenyum mendengar penuturan sang mama. Jika melihat mamanya seperti itu dia sedikit bisa memahami kegalauan seorang Ibu.

"Anak Mama memang keren, kan? Makanya, Ma, anak Mama ini harus dapat pria keren juga. Ya walaupun ...."

"Walaupun apa?"

"Walaupun anak Mama ini malas, nggak bisa masak, sukanya metikin bunga peliharaan orang, tapi tanam bunga nggak pernah bisa tumbuh. Iya, kan, Ma?"

Ida tersenyum tipis, dia bangkit kemudian duduk di sebelah sang putri.

"Sayang, kamu tahu bagaimana kami menyayangimu, kan?"

Seruni mengangguk pelan.

"Kami ingin yang terbaik untuk kamu. Kamu sudah begitu keras berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarga ini, Sayang."

Terlihat mata Ida berkaca-kaca. Hati perempuan paruh baya itu ikut hancur ketika tahu bahwa Andromeda mengkhianati putrinya. Kebahagiaan dan keceriaan Seruni sontak hilang ketika mengetahui dirinya sudah dibohongi sekian lama.

"Mama kenapa, Ma? Kok nangis?" Perempuan berambut hitam sepunggung itu mengusap air mata yang jatuh di pipi mamanya.

"Seruni."

"Ya, Ma?"

"Janji sama Mama ya."

"Janji apa, Ma?"

"Janji kamu akan menikah kelak."

Menarik napas dalam-dalam, Seruni mengangguk.

"Mama nggak perlu khawatir. Kalau Tuhan bilang sudah waktunya ... pasti saat itu akan datang!" ucapnya menggenggam tangan Ida seolah meyakinkan dan meminta kekuatan.

"Mama takut, Runi."

"Takut apa, Ma?"

"Mama takut kalau ...."

"Kalau apa?"

Ida menggeleng cepat. Napasnya kembali terasa berat. Cerita Hastari putri ke duanya beberapa waktu lalu benar-benar membuat dia berada di pucuk kekhawatiran.

"Ma? Kenapa lagi? Kok diam?"

"Jaga dirimu baik-baik ya, Runi."

Jawaban Ida semakin membuatnya bingung.

"Mama! Mama mau bicara apa sih? Kenapa berteka-teki gini sih?"

"Mama nggak ingin anak Mama jadi ...."

"Jadi? Jadi apa, Ma?"

"Itu ... yang diceritakan Adek kamu kemarin."

Seruni menaikkan alisnya.

"Emang Hastari cerita apa?"

Ida menatap Seruni ragu.

"Mama dengar dari Hastari ... banyak perempuan mapan yang sampai sekarang masih jomlo. Kebanyakan mereka juga pernah kecewa sama seperti kamu, Runi."

"Lalu?"

"Lalu mereka memiliki orientasi seksual yang menyimpang. Mereka tidak lagi suka pada pria ...."

Mata Seruni membeliak kemudian tawanya pecah.

"Seruni! Kamu pikir ini lucu?"

Menggaruk alisnya, Seruni menggeleng kemudian meminta maaf.

"Mama, Seruni masih normal, Ma," ujarnya meyakinkan, "lagian kenapa sampe terbesit pikiran seperti itu sih, Ma?"

Mengucap syukur, Ida lalu menarik napas lega.

"Mama tahu kamu nggak bakal seperti itu, tapi ...."

"Mama khawatir? Seruni paham, Ma."

"Percaya ke Seruni. Seruni tahu siapa yang Seruni jadikan teman. Mama nggak perlu khawatir berlebih seperti ini."

Ida menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk.

"Tahun ini berapa usiamu, Runi?"

"Dua puluh tujuh, Ma."

"Itu artinya tiga tahun lagi kamu tiga puluh, kan?"

Sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga, Seruni mengangguk.

"Kamu janji, kan kalau ...."

"Sebelum usia tiga puluh, Seruni menikah," potongnya, "iya, Ma. Seruni ingat. Mama doakan Runi ya, Ma."

Bibir perempuan paruh baya itu mengembang. Wajahnya terlihat lega.

**

Banyu tersenyum melihat Omanya tengah sibuk dengan aneka bunga koleksinya. Perempuan yang menginjak usia tujuh puluh tahun itu masih segar dan sehat meski rambutnya telah memutih.

"Pagi, Oma."

"Pagi, Banyu. Mau ke kantor?"

"Iya, Oma."

Menoleh lalu menghampiri sang cucu yang tengah mengenakan sepatu tak jauh darinya.

"Banyu."

"Ya, Oma?"

"Kamu nggak ada rencana ngenalin Oma ke pacar kamu gitu?"

Banyu menaikkan alisnya menatap Oma Rima.

"Pacar, Oma?"

"Iya. Pacar kamu!" balasnya, "kamu masih belum bisa cari pengganti Rachel?"

Banyu sejenak diam.

"Sudah lima tahun loh! Apa kamu mau selamanya sendiri seperti ini?"

Bibir Banyu tertarik kecil.

"Oma mau kamu menikah, Banyu! Usiamu itu bukan tambah muda! Lagipula kamu nunggu apa sih? Ada perempuan yang kamu tunggu emang?"

Menarik napas dalam-dalam Banyu menggeleng.

"Nggak ada yang Banyu tunggu, Oma."

"Lalu? Lalu kenapa kamu masih sendiri sampai sekarang? Oma ini sudah tua. Oma ingin lihat kamu menikah, dan Oma punya cicit!"

Pria berhidung mancung itu menelan ludah. Dia tak lagi mau berdebat jika Oma Rima sudah mulai berbicara tentang jodoh.

"Oma. Banyu berangkat dulu ya. Nanti Banyu makan siang di kantor aja. Ada meeting penting," pamitnya seraya bangkit dan mencium punggung tangan perempuan berbaju hijau itu.

Mengangguk Oma berkata, "iya. Hati-hati. Ingat ucapan Oma tadi! Kamu harus memikirkan soal pendamping hidup!"

Banyu membuang napas perlahan. Sambil tersenyum dia mengangguk.

Sepeninggal Banyu, Oma memanggil Lisa mama Banyu. Perempuan berambut panjang itu datang mendekat.

"Iya, Ma?"

"Mama tadi barusan tanya soal calon pendamping Banyu."

"Lalu, Ma?" tanyanya seraya duduk di sebelah mertuanya.

Menggeleng dia berkata, "Ternyata masih sama. Dia masih belum punya calon istri!"

Lisa menarik napas dalam-dalam. Tidak sekali dua kali mertuanya itu mengeluhkan soal putranya. Bagi Lisa, dia hanya mengikuti apa yang diinginkan Banyu. Putranya pernah berkata bahwa jika Tuhan telah membuka jalan jodohnya lagi, maka saat itu juga dia akan menikah.

"Kamu sendiri gimana, Lisa? Apa kamu sudah punya calon istri untuk Banyu?"

Lisa menggeleng.

"Lisa sama papanya Banyu menyerahkan sepenuhnya kepada Banyu, Ma. Karena kami pikir ... dia bisa mencari sendiri pendampingnya kelak."

Menggerutu, Oma menepis belalang yang hinggap di bunga krisan kesayangannya.

"Kalian ini! Sampai kapan nunggu Banyu menemukan jodohnya? Sementara dia aja santai!"

"Banyu sudah dewasa, Ma. Biarkan dia menentukan sendiri pilihannya."

"Lisa. Mama ini sudah tua. Kalau sewaktu-waktu Tuhan ambil nyawa Mama. Mama ingin saat itu sudah melihat Banyu menikah."

Lisa menarik napasnya.

"Mama jangan bicara begitu dong, Ma."

"Gini aja. Biar Mama hubungi Mas Dibyo!"

Mata Lisa membulat.

"Pakde Dibyo, Ma?"

Rima menatap menantunya sejenak.

"Iya! Dia itu kan baru saja menikahkan anaknya. Kali aja dia bisa bantu."

"Tapi, Ma. Bukannya Pakde Dibyo itu anaknya laki-laki semua ya?" tanya Lisa dengan mata menyipit.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top