PART 2
Lue membersihkan tanah dari dedaunan dan beragam bunga yang berserakan seusai pesta pernikahan tetangganya. Seperti biasa, ia dan Lucien akan membantu meski hanya sebatas bersih-bersih. Lumayan, dapat makanan tambahan.
"Lue!" Terdengar suara berat Lucien menyeru namanya.
Lue mendekat. "Ya, Ayah?"
"Mana Rue?" tanya Lucien, cemas. "Seharian ini aku belum melihatnya. Sudah tiga kali bolak-balik ke rumah, belum ada tanda keberadaannya."
Lue tahu sifat Rue, berusaha menghindarinya meski dia tidak pernah sekali saja menyakiti saudarinya. Lue masih tidak paham apa penyebab saudarinya begitu.
"Ah, paling berjalan-jalan seperti biasa," sahut Lue, berusaha menenangkan sang ayah yang selalu saja mencemaskan mereka berdua.
"Benarkah?" sahut Lucien. "Tapi, belum pernah dia pergi lama seperti ini."
Lue meletakkan sisa dedaunan yang berserakan di suatu titik untuk dikubur. Dia tidak bisa membalas ucapan ayah angkatnya. Beragam dugaan mulai memenuhi pikiran, tapi dia tidak suka semuanya.
"Kalau saudarimu belum pulang juga." Nada bicara Lucien berubah. "Aku akan mencarinya!"
"Mau kubantu?" sahut Lue. Serenggangnya hubungan mereka, Lue tetap mencemaskan saudari kembarnya.
Lucien menggeleng. "Tidak perlu. Kamu jaga rumah saja. Aku khawatir kalau dia diculik penyihir."
"Tapi, ini 'kan, pulau tersembunyi," heran Lue.
"Tidak menutup kemungkinan para penyihir tahu," balas Lucien. "Mereka bisa saja tahu melalui perantara."
Lue diam saja, takut sekaligus cemas mendengarnya. Namun, dia juga setuju dengan ayahnya. Apa jadinya jika mereka benar-benar menemukan Pulau Paradis?
Beberapa saat setelahnya, mereka pun pulang.
***
Senja mulai tiba. Langit perlahan menggelap. Lue dan Lucien masih berada di rumah, menunggu salah satu anggota keluarga mereka pulang. Namun, Rue belum juga muncul.
Lue sesekali melirik ayahnya, berharap cemas. Dia tidak ingin centaurus itu pergi meninggalkannya. Bagaimana jika sebenarnya ini jebakan? Mereka mungkin menjadikan Rue sebagai umpan, begitulah yang Lue pikirkan.
Tidak. Dia yakin Rue tidak selemah itu.
Apa jadinya jika sebenarnya Rue ....
"Rue!"
Seruan Lucien mengagetkan Lue. Ia berlari menghampiri bayangan dari kejauhan.
Lue memfokuskan pandangan menuju arah Ayahnya berlari. Di ambang pintu, Lue dapat melihat siluet saudari kembarnya.
Gadis itu berdiri, lantas menghampiri kakaknya. Senang sekaligus lega. "Rue!"
Rue telah kembali pulang, tanpa luka sedikit pun.
Namun, ada yang salah dengannya.
Lue tahu itu. Ini tidak seperti biasanya.
"Rue!" Lucien menepuk bahu Rue. Ia jelas senang meski sedikit cemas.
"Ayah," sahut Rue tanpa intonasi. "Aku pulang."
Lucien kembali bertanya, "Ke mana saja kamu? Kau benar-benar membuat Ayah khawatir."
"Aku jalan-jalan seperti biasa, Ayah." Rue membalas dengan pelan, namun kesannya malah seakan tidak ingin bicara lagi.
Lue tahu ada yang janggal, dia tahu Lucien juga menyadarinya.
"Rue, apa yang kau lakukan tadi?" tanya Lue.
Rue diam saja.
Lucien menatap kedua putrinya cemas. Ia berusaha mengalihkan topik. "Sudahlah, yang penting sekarang kamu aman. Rue, kami membawakan banyak makanan untukmu."
Dengan pelan, Rue melangkah masuk ke dalam rumah beriringan dengan Lucien. Tatapannya terlihat hampa seperti hari-hari biasanya. Tetapi, Lue yakin pada sorot mata itu, terdapat rahasia. Selain itu, Rue juga terus berjalan dengan kepala menunduk. Tidak seperti biasanya. Hal ini membuat kecurigaan Lue semakin meningkat.
"Rue," panggil Lue. "Apa yang kamu lakukan?"
"Apa maksudmu?" Rue menoleh. Entah kenapa, dibandingkan hari-hari biasanya, tatapan Rue kali ini terlihat sedikit ... bersemangat. "Aku tidak melakukan apa pun kecuali berjalan-jalan di sekitar hutan."
"Aku tidak percaya," desis Lue. "Mari kita bicarakan di luar. Aku tidak ingin Ayah mendengarkan ini."
Rue menghentikan langkahnya. Ia menatap Lucien yang ada di depannya, lantas menatap Lue.
"Ayah," panggilnya tanpa mengalihkan pandangan dari wajah saudarinya. "Aku ingin keluar sebentar, bolehkah?"
"Tentu saja boleh." Lucien menoleh. Ia mengukir senyuman. "Tapi, kenapa? Biasanya kau tidak pernah keluar setelah matahari terbenam."
"Aku ingin mengucapkan selamat kepada tetangga kita." Rue membalikkan tubuhnya. "Aku akan mengajak Lue. Kurasa, kita akan sedikit terlambat untuk makan malam."
"Baiklah, hati-hati."
Lue mengikuti langkah Rue. Ketika mereka berdua sampai di halaman, Lue kembali bertanya kepada Rue. "Jadi, apa yang kau lakukan selama berjalan-jalan?"
"Tidak ada." Rue menatap tajam Lue. "Oh, aku hanya berlatih pedang dan bertarung menggunakan tangan kosong."
"Lagi?" Lue berkacak pinggang. "Setiap hari kau terus saja berlatih. Apa kau tidak lelah?"
"Lelah? Orang semacam kau bertanya seperti itu padaku?" Rue mendengkus. Ia tertawa sinis. "Kurasa, orang yang mengandalkan kekuatan sepertimu, tidak akan merasakan apa yang namanya lelah."
"Rue, ayolah." Lue mendekati Rue. Kedua tangannya menggenggam lembut tangan Rue. "Aku ini selalu merasa lelah setiap melihatmu pulang dengan badan penuh luka." Lue menarik tubuh Rue dan memeluknya. "Lupakan soal kekuatan yang ada padaku. Apa kau tidak merasa lelah dengan perasaan iri yang selama ini ada di hatimu?"
Rue mendorong Lue. Tanpa sadar, tangannya bergerak menuju kalung yang tadi diberikan Fay.
"Kau sadar, ya." Rue tertawa pelan. "Setidaknya, dengan perasaan iri yang ada padaku, aku bisa mendapatkan apa yang selama ini kuimpikan."
Lue tertegun saat melihat kalung yang dipakai Rue bersinar. Ia baru menyadari benda yang melingkar di leher kakaknya itu.
Gadis itu menganga. "Kau ... dari mana kau mendapatkan benda itu? Tidak, jangan katakan bahwa itu ...."
Rue menatap Lue sekilas. Lantas ia menatap kalungnya yang masih mengeluarkan cahaya, walaupun kali ini lebih redup dibanding sebelumnya ia lihat.
Mungkin karena ikatan batin di antara keduanya, Lue langsung tahu apa yang terjadi pada Rue walaupun kakaknya itu tidak bersuara sepatah pun. Ia berteriak frustasi. "Kau keluar dari tempat ini?! Kau tidak mendengarkan apa yang Ayah ucapkan?!"
"Sudah kubilang, 'kan, Lue." Rue mengangkat kalungnya. "Perasaan iri yang timbul dalam diriku, membuatku mendapatkan apa yang selama ini kuimpikan."
Sesaat setelah Rue menyelesaikan ucapannya, gempa terjadi. Selama 15 tahun hidup di Pulau Paradis, belum pernah sekalipun Lue merasakan gempa. Menurut buku yang pernah Lue baca, gempa seperti ini terjadi akibat ada serangan besar yang mencoba menghancurkan pelindung di Pulau Paradis.
Dan, sedetik setelah gempa berhenti, sekelompok manusia berjubah terlihat berterbangan di atas pepohonan. Salah satu di antara mereka, memakai sesuatu yang bercahaya—yang bentuknya sama dengan kalung yang dipakai Rue.
Detik itu juga Lue menyadari apa yang telah kakaknya perbuat.
***
Dentuman keras bersahutan. Beragam cahaya menyinari pandangan. Tampak beberapa manusia terbang menggunakan sebuah sapu. Mengitari pulau ini sambil melontarkan cahaya tadi.
Kali ini, salah satu cahaya itu bergerak menuju tempat Lue dan Rue berada.
Secara refleks, Lue melompat mundur. Hampir saja ia hancur bersamaan dengan ledakan itu. Mulutnya bergerak hendak memanggil saudarinya, tapi ....
Rue tidak berpindah tempat walaupun ada ledakan beberapa meter di depannya.
"Rue!" tegurnya. "Apa-apaan ini?"
Rue tidak membalas. Dia mengangkat salah satu tangannya, lantas melambai pada seseorang di atas sana.
Lue melotot saat salah satu orang berjubah itu mendekat.
Orang itu mendarat bersama sapunya dengan mulus di depan mereka. Seringai licik menghiasi wajahnya.
"Terima kasih banyak, Rue."
Lue terbata. "A ... apa? Hah?"
"Senang membantumu, Fay." Ucapan yang keluar dari mulut Rue membuat bulu kuduk Lue meremang.
Tidak.
Ini tidak mungkin terjadi.
Dia pasti berkhayal!
Rue berpaling menatapnya. "Lue, kenalkan temanku, Fay Anouska."
Mata Lue menatap tajam penyihir di depannya. "Dia ... apa?"
Fay tersenyum. "Rue dan Lue, nama yang bagus. Sayangnya, karena terlahir kembar, kalian harus dibuang oleh orangtua kandung kalian."
Lue berpura-pura tidak mendengar ucapan Fay. Dia bahkan sudah tidak peduli dengan orangtua kandungnya. Ia yakin bahwa ini hanyalah tipuan agar dia mau mengikuti penyihir ini.
"Sebagai penyihir yang baik, aku tawarkan kekuatan padamu, sama seperti saudarimu." Fay menunjuk kalung Rue yang bersinar. "Dengan syarat, ikutlah bersama kami!"
"Tidak!" Lue refleks membalas. "Aku tidak mau!"
Rue lantas menatap Lue datar. Suara tanpa intonasi miliknya terdengar. "Mau sampai kapan kau akan puas dengan kemampuan sihirmu yang dangkal itu?"
"Walaupun begitu, aku tetap tidak peduli! Setidaknya di tempat ini, aku mendapatkan kasih sayang yang tidak akan pernah kudapatkan dari orang tua kandung kita," tegas Lue.
Rue mendengkus. "Ah, tentu saja. Kau mendapatkan perhatian lebih banyak dariku, tentu saja kau betah tinggal di tempat kotor semacam ini." Rue melipat lengannya. "Lagipula, Lue, kita ini adalah manusia, bukan makhluk jadi-jadian seperti mereka."
Mendengar ucapan yang dilontarkan saudarinya, membuat Lue geram. Dia tidak habis pikir dengan pikiran Rue yang menurutnya dangkal itu. Kurang kasih sayang? Itu hanya alasan Rue untuk membenarkan semua perbuatan yang ia lakukan.
"Rue! Lue!" seruan Lucien menyadarkan Lue dari lamunannya. Gadis itu melotot saat melihat Ayahnya keluar dari rumah.
"Ayah?" Lue hendak melarangnya mendekat. Namun, centaurus itu telah melaju hingga berada tepat di antara dia dan Rue.
"Oh, kau yang sudah mengasuh mereka?" Fay tertawa sinis. "Seorang centaurus? Benar-benar tidak bisa dipercaya."
Lucien tak menjawab. Mata birunya menatap tajam ke arah Fay. Ia sadar bahwa Fay adalah penyihir licik dan bisa saja membahayakan kedua putrinya. Lantas tangan kekarnya menarik kedua putrinya dan berniat membawa mereka kabur dari penyihir itu. Tanpa ia sangka, Rue malah menepis tangannya.
"Rue!"
Rue menghiraukan teriakan Lucien. Ia berlari menuju Fay sembari mencengkeram kalungnya. Ada sedikit perasaan bersalah di dalam dirinya.
"Rue?" Lucien jelas merasa bingung melihat tingkah putri tertuanya itu.
"Ayolah, Rue!" Lue mendesah frustasi saat melihat Rue. "Kamu tidak ada untungnya jadi penyihir!"
Mendengar ucapan Lue, jelas membuat Lucien berprasangka yang bukan-bukan. Ia merasa takut akan apa yang terjadi pada Rue.
"Aku ingin disayangi, sama sepertimu!" balas Rue sambil menatap tajam keduanya. "Tapi, tidak ada satu pun penghuni pulau ini yang menyukaiku hanya karena aku tidak sepertimu!"
Lucien membuka mulut, hendak mengungkapkan isi hatinya. Tetapi, sebelum ia melakukan hal itu, kobaran api menguasai pandangannya.
"Ayah!" jerit Lue kala menyaksikan api telah menerjang Lucien.
Lue memelototi Rue yang tetap berdiri diam, meski dia melihat semburat penyesalan di matanya.
"Selamat tinggal, Lue," kata Rue.
Bibir Lue bergetar. "Rue ...."
***
Rue berjalan mendekati salah satu tubuh seekor centaurus yang tak lagi bernyawa dengan diikuti Fay di belakangnya. Dengan wajah tanpa dosa, Rue menelusupkan sebelah tangannya ke dalam tubuh centaurus itu.
Tak berselang lama, ia kembali menarik tangannya yang kini menggenggam jantung milik centaurus dengan darah yang hampir membanjiri seluruh permukaannya. Sedangkan Fay yang kini ada di sampingnya hanya tersenyum melihat tindakan Rue. Ia merasa puas dan senang karena akhirnya dapat menemukan keberadaan para makhluk mitologi dan mendapatkan Rue sebagai teman barunya.
Rue dengan mata kosongnya menatap organ yang masih berdetak pelan di telapak tangannya mungilnya. Kemudian, pandangannya beralih ke sekitar. Banyak sekali tubuh makhluk di pulau ini yang bergelimang darah akibat serangan sihir darinya. Hanya beberapa di antaranya yang Rue kenali. Walau begitu, tak sedikit pun rasa bersalah hinggap di hati mungilnya yang kini telah mati.
Sampai akhirnya, Rue mendapati sosok yang tak lagi asing baginya tengah berdiri diam dengan jarak tak terlalu jauh darinya.
Sosok itu, Lue, terlihat syok dan tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Ketika bibir Lue ingin berucap—menyampaikan kalimat pada saudaranya itu, Lue merasa sesuatu telah menariknya dari belakang. Seketika itu juga, dia sudah duduk di punggung seekor kuda. Meski dia dapat merasakan sensasi panas dan bau daging bakar menyertainya.
"Ayah?" Lue memastikan.
Dari punggung sosok yang dia tunggangi, Lue tahu itu siapa.
Lue enggan menatap tubuh Lucien. Hatinya sakit melihat bahu kekar sang ayah kini terlihat seperti daging gosong.
Bulu putihnya kini berubah hitam. Bahkan hiasan kepala berbentuk tanduk yang sering dipakai Lucien sekarang hanya tinggal abu saja.
Lue lantas menoleh ke belakang, menyaksikan Rue dan Fay masih berdiri diam membiarkan mereka lolos pergi begitu saja.
Rue menyaksikan kepergian Lue dan Lucien hingga mereka lenyap dari pandangan.
Dia melirik ke sekitar.
Jeritan akibat ada nyawa yang telah melayang.
Isak tangis.
Bunyi api melahap habis pepohonan.
Warna merah berasap hitam telah mewarnai Pulau Paradis yang dulunya hijau dan asri.
Dia teringat akan tatapan Lue, saudarinya. Sebuah kekecewaan.
Dia teringat tatapan Lucien, ayah angkatnya. Bingung lagi takut.
Kini, dia punya kekuatan untuk menjadi lebih hebat dari saudarinya.
Dengan bayaran hancurnya pulau tempat dia dibesarkan.
Apakah dia menyesal?
Apa dia puas dengan hasil keputusannya itu?
Entahlah, Rue tidak tahu.
Fay memegang bahunya lembut. Wanita itu tersenyum.
"Ayo, ada banyak hal yang perlu kita urus!"
***
Omg!! Bawang-bawang berasap telah bertebaran di bab ini huweee🤧🤧
Dahlah, kita tunggu saja kelanjutan dari kisahnya. Oke?
Yang belum vote, mending vote dulu, abis itu komen, dan share yup..
Sampai jumpa pada bab berikutnya🏝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top