PART 1

Dunia yang penuh dengan sihir.

Juga penuh misteri.

Katanya, di dunia itu, hampir tidak ada manusia.

Katanya, di dunia itu, hanya penyihir yang berkuasa.

Para penyihir memburu makhluk sihir demi kepentingannya sendiri.

Selama ratusan tahun, para penyihir membantai makhluk sihir.

Tanpa peringatan, tanpa ampun.

Para makhluk sihir tidak dapat berbuat banyak selain bersembunyi.

Namun, sebagian sudah ketahuan dan dibantai hingga tidak menyisakan seekor pun.

Makhluk sihir pun perlahan terkikis dari bumi.

Beberapa yang selamat, mungkin berhasil menyelamatkan diri.

Mereka pergi ke sebuah pulau yang belum tersentuh para penyihir.

Di sana, bagai surga dunia. Di mana para makhluk dapat hidup damai meski terasingkan.

Mereka memberi nama pulau itu, Paradis.

🏝🏝🏝

Ketika musim panas tiba, saat itulah yang tepat untuk bersenang-senang di dunia luar.

Dedaunan dan angin menghiasi udara. Ketika langkah itu semakin terpacu.

Ia salah satu penghuni lama pulau ini.

Ia salah satu yang bertahan hidup dari serangan penyihir.

Kabur saat berusia masih sangat muda. Orangtuanya terbunuh di tangan para penyihir.

Mereka membutuhkan dua jantung Centaurus, untuk kepentingan bertarung.

Dan kini ia selamat bersama beberapa Centaurus lainnya.

Setibanya di pulau Paradis, ia berteman dengan makhluk baru dan kembali memulai hidup dari awal.

Ia tidak mengubah namanya, meski menyisakan luka di hati.

Lucien Dola namanya.

Sudah jadi kebiasaannya berlari mengelilingi pulau kecil ini. Dan ia tidak bosan dengan hal itu.

Selagi kaki kudanya melangkah mengelilingi hutan, ia dikejutkan dengan bunyi aneh dari kejauhan.

"Oek ... Oek ...."

Suara apa gerangan? Ia bertanya-tanya.

Sejauh ini, memang bukan hal baru jika ada yang memiliki anak. Namun, kenapa tangisannya tidak berhenti?

Di tengah hutan ini, ia pikir bisa jadi ada yang meninggalkan anak mereka. Tapi, kenapa? Sejauh ini, tidak ada bahaya selama dua abad hidupnya di Paradis.

Tangisan itu kian kencang.

Hati Lucien bergerak untuk mendekat. Ia pacu langkah menuju sumber suara.

"Ah, ternyata." Ia bergumam.

Tampak dua bayi yang dibalut selimut. Meratapi nasib dengan raga selemah itu.

Ia lantas duduk dan memeriksa mereka.

Kasihan betul kalau dibuang. Padahal, mereka bahkan tidak minta dilahirkan. Begitulah yang ia pikirkan.

Ia tatap lagi kedua bayi itu. Perlahan menggendongnya dengan harapan dapat menenangkan mereka.

Lama-lama, tangisan mereka reda. Diganti dengan kantuk. Keduanya terlelap didekapannya.

Terbesit dalam pikirannya untuk segera mencari orangtua kedua bayi ini.

Ia perhatikan keduanya.

Aneh.

Tidak ada taring.

Tidak ada tanduk.

Tidak ada pula sayap.

Jangan-jangan ....

Bagaimana bisa manusia sampai ke sini? Lucien berpikir keras. Ia tidak habis pikir bagaimana makhluk ini masih ada di dunia.

Ia tatap sekeliling.

Seketika hening.

Hanya desir angin.

Lucien lantas berdiri dengan dua bayi didekapannya.

"Aku akan menjaga kalian." Ia berjanji.

Lucien memacu langkahnya, menuju tempat yang cocok baginya untuk melindungi kedua bayi itu.

🏝🏝🏝

Seluruh pandangan penghuni pulau terpusat sepenuhnya ke arah Lucien.

Termasuk Jyyte—unicorn berbulu putih dengan tanduk kilau emas, mengeluarkan tatapan mengintimidasi, seolah meminta penjelasan lebih kepada Lucien mengenai keberadaan dua makhluk mungil yang dibawanya dari hutan.

Jyyte melangkah mendekati Lucien yang kini tengah mengayun-ayunkan keranjang berisi dua bayi itu dengan perlahan.

"Manusia," gumam Jyyte yang hampir seperti bisikan. "Mengapa kau  membawa mereka kemari, Lucien?" tanyanya sembari menatap teman dekatnya itu.

Mendengar pertanyaan Jyyte, Lucien tersenyum kecil. "Anak-anak ini sepertinya baru saja lahir dan masih suci. Tidak sampai hati diriku membiarkan dan meninggalkan makhluk sekecil ini menangis lalu berakhir di hutan yang gelap tanpa kenangan yang berarti dalam hidupnya."

"Kau tahu, kan. Manusia dan para penyihir itu sama saja! Mereka akan memburu dan membunuh kita semua!" sergah salah seorang centaurus tak terima mendengar jawaban Lucien.

"Ya, benar! Ketika mereka sudah besar, mereka akan mengkhianati kita!" sahut Centaurus yang lainnya.

"Penyihir dan manusia itu sama saja! Lebih baik, kita bunuh mereka berdua seperti penyihir membunuh keluarga kita!" ucap salah seorang makhluk pulau yang terdengar mendukung pendapat Centaurus sebelumnya.

Dari sana, para makhluk penghuni pulau lainnya pun mengeluarkan pendapat dan suaranya masing-masing.

Kebanyakan, dari mereka meminta dan menginginkan agar segera membunuh kedua makhluk tak berdosa itu.

Sampai akhirnya Jyyte mengangkat kaki depannya dan mendaratkannya kasar ke atas tanah, membuat suatu guncangan-—meminta agar yang lain tenang dan diam.

Jyyte pun kembali menatap Lucien. "Lucien. Berikan sebuah jawaban yang tepat agar kami dapat menerima kedua bayi manusia itu," kata Jyyte menatap serius Lucien.

Lucien menengadah, menatap Jyyte dengan senyum yang masih setia terukir di wajahnya.

"Ya, benar. Manusia dan penyihir memang sama. Sama-sama jahat dan keji. Buktinya, kedua bayi ini dibuang oleh manusia yang tak bertanggungjawab," ucap Lucien yang kemudian menarik napas pelan.

"Tetapi, kita bisa mengubah mereka menjadi sosok yang baik. Kita rawat mereka dengan penuh cinta dan kasih sayang. Bukankah manusia memiliki hati? Pastinya mereka paham dengan rasa itu," lanjut Lucien yang membuat sebagian makhluk pulau pun terdiam, termasuk Jyyte.

"Karena itu, aku percaya, bahwa mereka ditakdirkan Dewa untuk diasuh oleh kita agar kelak menjadi manusia yang baik. Manusia yang mampu mengubah semua penderitaan yang kita rasakan menjadi kebahagiaan," kata Lucien sembari menatap dalam kedua bayi yang kini telah tertidur pulas.

Setelah itu suasana menjadi hening, semuanya terdiam mendengar alasan beserta penjelasan Lucien.

Sampai akhirnya, Jyyte kembali membuka suara dan memecah keheningan. "Aku setuju dengan alasanmu itu, kawanku. Aku pun juga yakin, bahwa mereka dapat mengubah takdir dari makhluk penghuni Pulau Paradis ini." Jyyte menganggukkan kepalanya pertanda setuju.

Ia pun berbalik dan memandang sekitar, para makhluk pulau. "Kita rawat kedua bayi manusia ini dengan cinta dan kasih sayang! Siapa yang ingin mengubah takdir menjadi baik, harus merawat mereka dengan sepenuh hati!" teriak Jyyte dengan lantang.

Para makhluk pulau pun ikut berteriak dan bersorak—tanda mematuhi perintah Jyyte. Mereka pada akhirnya bisa menerima keberadaan kedua bayi manusia itu.

"Kalian lihat? Kalian akhirnya diterima di sini, di Pulau Paradis," ucap Lucien yang masih menatap kedua bayi tersebut. "Mulai sekarang, nama kalian adalah Lue dan Rue."

🏝🏝🏝

Tahun telah berganti dengan cepat. Anak kembar yang ditemukan Lucien di hutan telah beranjak remaja. Keduanya tumbuh menjadi gadis cantik yang dikagumi oleh para pria. Lue dan Rue tampak seperti dua orang yang dicetak sama persis dengan rambut hitam legam yang terlihat bersinar di bawah sinar matahari dan bola mata berwarna putih, warna yang sangat jarang ditemukan. Walaupun begitu, nyatanya perlakuan yang diterima keduanya tentu berbeda.

Lue Dola, putri kedua dari Lucien, mendapatkan perhatian lebih dibandingkan Rue. Ada beberapa hal mengapa hal ini bisa terjadi. Pertama, tentunya kekuatan Lue yang lebih unggul dibandingkan Rue. Kedua, adalah sikap baik Lue terhadap pada semua penduduk. Lue seperti perwujudan Dewi di mata para makhluk mitologi itu.

Layaknya kisah murahan lainnya, Rue merasa iri pada Lue yang mendapatkan perhatian yang lebih ketimbang dirinya. Untuk mengimbangi kekuatan Lue, Rue bahkan mau berlatih bertarung dengan fisiknya. Sayang, sekeras apa pun usaha yang dilakukan Rue, para warga tidak pernah meliriknya. Setidaknya itulah yang dipikirkan Rue selama lima tahun terakhir ini.

"Orang-orang bodoh itu." Rue mengayunkan pedangnya dengan kesal. Ia melirik ke arah Lue yang berjalan ke sana kemari—membantu tetangga mereka yang beberapa hari lagi akan menikah. "Aku tidak mengerti kenapa mereka lebih memilih Lue ketimbang diriku."

Rue melemparkan pedangnya saat melihat seseorang menghampiri Lue. Tanpa memedulikan apa pun, gadis itu berlari menjauh. Ia benci, sangat benci dengan saudari kembarnya.

Ketika Rue merasa bahwa ia sudah pergi cukup jauh, gadis itu memutuskan untuk istirahat sejenak. Matanya menatap langit yang terlihat kelabu. Bibirnya masih sibuk mengumpati Lue. Sesekali ia melempar batu yang ada di sekitar tangannya untuk melampiaskan kekesalan yang masih memenuhi hatinya.

Pekikan terdengar saat Rue melempar batu untuk kesekian kali. Gadis itu terlonjak. Ia menatap ke arah sumber suara. Matanya membulat saat melihat seekor burung terbang melintas di dekatnya.

"Phoenix?" Rue berdiri. Ia berlari mengikuti burung yang dikatakan telah punah itu. "Tidak mungkin."

Rue terus berlari mengikuti burung itu. Ia tidak memerhatikan sekitarnya. Tanpa disadarinya, pohon di sekitarnya semakin berkurang. Ketika burung itu terbang ke atas, barulah Rue menyadari di mana ia berada saat ini. Gerbang yang memisahkan antara hutan dengan dunia luar.

"Burung itu membawaku ke sini." Rue mengulurkan tangannya hingga melewati gerbang itu. Didorong rasa penasaran, Rue maju beberapa langkah untuk keluar dari hutan. Sebelum benar-benar keluar dari hutan, Rue memutuskan untuk menoleh ke belakangnya sekali lagi. Di sana, ia dapat melihat burung phoenix yang bertengger pada salah satu pohon.

Burung phoenix itu seakan berucap, "Terbanglah ke dunia di mana tempatmu seharusnya berada."

🏝🏝🏝

Rue membuka matanya kala cahaya di sekitarnya mulai meredup. Netra putihnya dipenuhi keterkejutan saat melihat sekelilingnya. Dunia luar ... terlihat berbeda dibandingkan yang selama ini ia bayangkan.

"Hei, aku tidak pernah melihatmu." Seorang wanita mendekatinya. Topi serta jubah hitamnya langsung menarik perhatian Rue. "Siapa namamu?"

Rue terlonjak saat melihat wanita itu mengulurkan tangannya. Ia menatap ragu-ragu wanita itu. Dengan tergagap, ia bersuara, "R-Rue."

"Rue. Namamu cukup aneh. Tapi aku menyukainya." Wanita itu tersenyum. "Namaku Fay Anouska. Salam kenal, Rue."

"Y-ya." Rue menatap tangan Fay yang masih terulur, lantas meraihnya. "Salam kenal, Fay."

"Nah, Rue, sepertinya kau bukan orang asli di sini." Fay menarik Rue. "Aku akan mengajakmu berkeliling. Kau tidak keberatan, kan?"

"Aku tidak keberatan."

Selama satu jam, Fay membawa Rue berkeliling desa. Dalam kurung waktu itu, Rue mengetahui bahwa dunia luar tidak seseram apa yang diceritakan oleh ayahnya. Warga yang menghuni desa ini adalah penyihir. Mereka memperlakukan Rue lebih baik ketimbang makhluk-makhluk yang menghuni di hutan Paradis. Rue merasa akan lebih baik jika sejak awal ia hidup dan besar di tempat itu.

"Nah, Rue, kuharap kau menikmati tur singkat dariku ini." Fay melepaskan genggaman tangan mereka. Wanita itu duduk di bawah pohon. Senyuman terukir di wajahnya saat melihat wajah Rue.

"Fay," panggil Rue. Ia berjalan menghampiri Fay, lantas duduk di sebelahnya. "Aku tidak pernah menyangka bahwa kau dan para warga akan menerimaku."

"Memangnya kau kira kami akan melakukan apa padamu?"

"Entahlah, merebusku mungkin." Rue mengangkat bahu. "Kata ayahku, para penyihir yang ada di dunia luar biasanya memburu makhluk-makhluk yang hidup di dalam hutan. Katanya makhluk sihir itu adalah bahan-bahan yang diperlukan penyihir untuk membuat sebuah ramuan."

"Kau tidak salah." Senyuman Fay melebar. Ia menatap mata Rue dalam. "Kami memang memburu makhluk-makhluk yang ada di dalam hutan. Tetapi, tidak denganmu. Karena kau adalah manusia."

Fay melepaskan kalung yang menggantung di lehernya. Tatapannya beralih menatap benda itu. "Mendengar ucapanmu barusan, kurasa kau berasal dari hutan itu, benar?"

Rue menganga. Ia menutup mulutnya sendiri. Gadis itu menatap horor Fay. "Memangnya apa yang akan kau lakukan jika aku menjawab iya?"

"Rahasia." Fay mengerling. "Ngomong-ngomong, Rue, apa kau tidak bisa menggunakan sihir?"

Rue tidak menjawab. Tetapi, hanya dengan respons seperti itu, Fay mengetahui jawabannya. "Ah, kau pasti tidak bisa." Fay mengangkat kalungnya. Ia melirik Rue yang juga menatap kalung miliknya.

"Aku bisa membuatmu agar mampu menggunakan sihir dengan satu syarat. Yah, itu pun jika kau mau."

Rue menatap Fay. "Memangnya kau bisa?"

"Ya, tentu." Fay tersenyum. "Hanya saja, sebagai bayarannya, kau harus memberitahuku semua hal mengenai makhluk-makhluk yang menghuni Hutan Paradis. Bagaimana?"

Rue menopang dagunya. Sedetik kemudian, ia mengangguk. Senyum juga ikut terbit di wajahnya. "Baiklah, aku akan menceritakan semuanya padamu. Pertama-tama, aku akan memberitahumu jumlah makhluk yang menghuni Hutan Paradis serta apa saja jenisnya terlebih dulu."

Fay tersenyum. Ia menopang dagu, siap mendengarkan apa yang akan diceritakan oleh Rue.

🏝🏝🏝

Matahari hampir terbenam di sebelah barat saat Rue memutuskan untuk kembali ke dalam hutan. Setelah menceritakan semua yang ia tahu mengenai hutan tempatnya tinggal, serta membicarakan langkah apa yang akan Fay ambil, Rue kembali pulang ke rumahnya.

"Sampai jumpa lagi, Rue." Fay melambaikan tangannya. Jubah hitamnya melambai pelan karena tertiup angin.

"Sampai jumpa lagi, Fay." Rue membalas lambaian tangan penyihir itu.

Gadis itu kemudian kembali masuk ke dalam hutan. Tidak ada sensasi apa pun yang dirasakannya, seperti saat ia keluar hutan tadi. Terasa aneh, tetapi Rue memilih untuk tidak memedulikannya.

"Phoenix?" Rue menatap burung phoenix yang terbang di atasnya dan melewati gerbang. Ia menatap ke belakangnya. Gadis itu baru menyadari bahwa tidak ada Fay di seberang sana.

Rue kembali menatap ke atas, tempat ia terakhir kali melihat burung phoenix itu lewat di dekatnya. Dalam hati, Rue mengucapkan terima kasih kepada burung itu karena telah membuatnya keluar dari hutan dan bertemu Fay.

Rue tidak pernah tahu kebenaran di balik kehadiran burung langka itu.

🏝🏝🏝

Wah, bencana sepertinya akan segera mengancam seluruh penghuni hutan Paradis nih:(

Duh, siapa yang penasaran sama bab selanjutnya?

Ayok ikuti terus kisah pulau Paradis ini.

Vote, komen, dan share selalu kami tunggu.

Bintangnya lagi kedap-kedip tuh di pojok kirimu hihi..

Sampai jumpa pada part selanjutnya:v

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top