Bab 6

Enjoy


"Selamat datang! Ada yang bisa saya bantu?"

Makhluk rupawan dengan telinga lancip mendatanginya. Cahaya keperakan mengelilingi tubuh makhluk ini.

Rambut peraknya panjang berkilau. Kulitnya seputih gading. Netranya kuning bak rumput ilalang. Tubuhnya tinggi. Lebih tinggi dari Cilica.

Bajunya berwarna hijau, dijahit dengan model seperti baju pengembara milik manusia tapi ini motif daun. Atau itu memang daun yang dijahit?

"Dimana aku bisa menemukan Aslan?" Cilica bertanya. Semoga kali ini ada jawaban yang bisa dia dapatkan.

Cilica sempat-sempatnya mengedarkan pandangan. Isi rumah ini lebih terlihat seperti kedai.

Banyak meja-meja dan orang-orang duduk disana sembari bercerita dan menikmati makanan yang dihidangkan. Bedanya orang yang ada bukanlah manusia. Melainkan makhluk sihir.

"Aslan akan datang sebentar lagi." Sang Elf tersenyum. Cilica baru ingin kembali bicara, sampai suara lain memasuki telinganya.

"Baru kali ini kulihat kedaimu lebih berisik, Norturne."

Cilica menoleh mendapati singa yang berjalan dengan pelan menuju ke arahnya. Sekali lihat Cilica langsung tahu. Singa ini bukanlah singa biasa.

Elf perak bernama Nocturne didepan Cilica tersenyum dan menunduk. "Halo, Aslan. Selamat datang kembali."

"Kau tahu kan, Nocturne."

Nocturne mengangguk. Lantas langsung pergi memasuki salah satu ruangan lain.

Singa emas itu kini menatap Cilica seolah memintanya untuk mengikutinya.

Cilica berjalan dibelakang. Keduanya melangkah keluar dari kedai menuju meja yang tak jauh dari sana. Bedanya meja ini agak dekat dengan hutan dan ada banyak sulur-sulur yang menutupi sekitarnya.

"Apa kau Aslan?" Sang puan bertanya setelah mendudukkan diri di meja itu.

Walau cahaya terlihat terik dan tak berawan, tapi tak terasa panas sedikitpun. Malah Cilica merasa sejuk dan nyaman.

"Kenapa kau mencariku, wahai bangsa jin?"

Pertanyaan sang singa membuatnya tersentak. Normalnya yang lain akan mengira dia adalah manusia karena bentuk tubuhnya terlihat seperti manusia. Tapi Aslan langsung tahu bahwa dia adalah bangsa jin.

"Charn, negeriku hampir hancur. Aku diminta untuk mencarimu agar aku bisa memperbaiki keadaan."

Raut Aslan berubah datar. Seolah Cilica telah mengatakan sesuatu yang menyinggungnya.

"Charn telah hancur. Semua penyihir sudah mengetahuinya. Yang menghancurkannya adalah kakakmu. Dan kakakmu itu sudah berani menginjakkan kaki ke dunia yang baru saja ku buat!"

Aslan nampak geram menatap tajam ke arah lain. Cilica melebarkan mata. "Bagaimana bisa Charn berakhir?! Apa itu artinya aku terlambat?!"

Ia menatap meja nanar. Masih tak percaya atas informasi yang baru didengarnya. Charn telah berakhir? Apa sekarang semuanya sudah tiada?

Bagaimana Eva? Ibunya? Jadis? Para rakyat? Ini salahnya karena terlalu lama bermain-main di bumi. Jika dia berusaha lebih untuk mencoba mengingat, akankah dia bisa menolong Charn lebih cepat?

"Tapi ada satu yang berhasil ku selamatkan. Aku mendengar sumpahnya pada kakak keduamu. Dia adalah kakak pertamamu, Eva."

***

Kini dua ginger itu baru selesai makan malam. Makan malam kali ini tak seberisik ketika para Pevensie ada. Tapi cukup ribut karena ketiganya sibuk menceritakan ingatan-ingatan tentang dunia lain.

Sudah memasuki waktu tidur untuk dua gadis Charnie. Harusnya. Tapi keduanya menolak. Memilih untuk melakukan sesuatu yang sesuai perjanjian mereka.

"Siap, Ev?" Janette meraih kedua tangan sang kakak.

Keduanya berdiri berhadapan dengan gaun hijau berenda mereka. Lengkap dengan tas hitam yang diselempangkan di bahu.

Tas itu hanya berisi botol air, baju tidur dan bekal potongan daging ayam yang dicuri dari dapur rumah Profesor Digory.

Semua itu adalah ide Evalyn. Dia merasa ragu kalau-kalau mereka bisa tiba dengan benar di Hutan Antara Dunia-dunia. Mana tahu mereka kesasar sampai ke dunia lain?

"Bagaimana cara kerjanya?" Evalyn bertanya menatap serius pada sang adik.

"Kita akan pergi ke Hutan Antara Dunia-dunia. Kau akan menjadi penampung kekuatan sihir kita, dan aku akan membawa kita berdua kesana. Yang kau lakukan hanya memikirkan kata 'Hutan Antara Dunia-dunia'." Janette menjelaskan.

Evalyn mengernyit. "Hah? Jadi maksudmu, kau akan mengambil kekuatan sihirku untuk membuat portal?"

Sang adik menggeleng. "Tidak. Kita tidak perlu portal. Caranya sama dengan cara kerja teleportasi. Tenang saja. Aku tahu bentuk Hutan Antara Dunia-dunia. Kau cukup mempersiapkan kekuatan sihir. Dan jangan lupa mengatakan 'Hutan Antara Dunia-dunia' di pikiranmu."

"I don't get it, Jane." Raut bingung jelas sekali nampak ada wajahnya.

Janette memutar bola mata. "Inilah kenapa aku bilang kau akan mengerti kalau kita melakukannya. Sudahlah. Siapkan saja kekuatan sihirmu."

Sang kakak menghela napas, lantas mengangguk. Dia mulai memikirkan hutan antara dunia-dunia.

Sesuatu terasa mengalir keluar dari tubuhnya. Evalyn bisa melihat cahaya hijau terang menyinari mereka berdua.

"Narnia."

Sontak netra emerald keduanya bersinar. Mereka menghilang dari sana.

***

Hal pertama yang dirasakan Evalyn adalah dia sedang terbaring di sesuatu yang keras dan tidak rata. Mungkin semacam tanah berbatu.

Ia memaksakan diri untuk membuka mata dan mendapati daun-daun yang menutupi langit.

Lantas dia mendudukkan diri. Mengedarkan pandangan. Hanya ada pohon disekitarmya. Tak ada kolam-kolam yang harusnya ada di setiap pohon-pohon tumbuh.

Juga pohon-pohon ini terlihat tua tapi sehat. Entahlah, Evalyn tak tahu. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum kesini.

Oh, dia dan Janette baru selesai makan malam dan mereka berencana untuk meneliti tentang asal usul neneknya Cilica di hutan antara dunia-dunia.

Hingga Janette salah mengucapkan nama tempat. Harusnya adiknya mengucapkan Hutan Antara Dunia-dunia. Kenapa malah Narnia?

Awas saja adiknya itu. Evalyn akan membunuhnya. Dia mengabaikan rasa sakit dipunggung. Mencoba mencari Janette yang harusnya ada disebelahnya saat dia bangun.

Tapi sang puan tidak ada disana. Melainkan berada cukup jauh dari Evalyn. Sekitar sepuluh meter mungkin. Janette nampak terbaring tak sadarkan diri.

Sontak Evalyn berlari kecil menuju kearahnya. "Janette! Jane!"

Ia menggoyangkan tubuh sang adik. Nihil. Tak ada tanda-tanda Janette akan bangun. Dia seperti sudah meninggal.

Dengan segera Evalyn mengecek denyut nadi Janette juga pernapasannya. Semuanya normal. Mungkin Janette sedang tertidur pulas.

Lantas dia menghela napas. Dalam hati masih bersyukur Janette tidak meninggalkannya sendirian di dunia antah berantah ini.

Evalyn kembali mengedarkan pandangan. Ini adalah hutan. Dia harus setidaknya menyembunyikan Janette di suatu tempat agar sang adik bisa aman selagi tak sadarkan diri.

Netra emeraldnya menyala. Entah bagaimana pandangannya berubah sampai bisa melihat isi dari pohon-pohon itu. Ada satu pohon yang memiliki ruang kosong di bawah tanah.

Evalyn segera mendekat ke pohon itu. Tak ada pintunya. Itu kalau dia belum membersihkan dedaunan kering di akar-akar pohon.

Nampak pintu kayu yang sudah lapuk. Evalyn mendorong pintu itu, menampilkan lorong gelap dan suram. Dia tak tega meninggalkan sang adik di tempat gelap ini sendiri.

Meski takut, Evalyn mencoba masuk lebih dulu. Melihat-lihat siapa tahu ada yang punya. Tapi nihil. Tempat ini seolah sudah tak ditinggali selama puluhan tahun. Banyak sarang laba-laba.

Terima kasih dengan ingatan Eva. Membuatnya bisa menggunakan sihir penglihatan malam.

Dengan segera Evalyn membersihkan ruangan itu. Menyalakan tungku pemanas ruangan dengan batu secara primitif.

Meski masih kecil, dia pernah berkemah dengan keluarganya dan selalu bertugas menyalakan api dengan batu. Kini ruangan tak lagi gelap.

Ada meja bundar melingkar dan kursi yang sesuai ukuran tubuh Janette dan Evalyn. Juga dua ranjang berdebu yang lagi-lagi sesuai ukurannya dengan Janette.

Evalyn menduga ini adalah rumah dwarf. Ayolah, mana ada bocah seumuran mereka yang membuat rumah dibawah pohon dan tinggal sampai mereka tak muat untuk tinggal disana lagi?

Ini pasti rumah dwarf yang sudah ditinggalkan lama. Entah pemiliknya meninggal atau pergi dan tak mau pulang.

Terserah. Evalyn tak peduli. Yang penting sekarang ada tempat aman untuk Janette dan dirinya selagi mereka ada disini.

Netranya menangkap sesuatu yang mengkilap di bawah ranjang. Itu adalah anak panah. Lengkap dengan busurnya.

Evalyn menyimpannya disebelah ranjang lalu beranjak. Keluar dari rumah bawah pohon dan menuju Janette. Dengan perlahan Evalyn menggendong sang adik di punggung. Membawanya ke ranjang yang sudah dibersihkan.

Evalyn mengeluarkan botol air yang dia bawa dalam tas. Menciprat air pada wajah sang adik.

"Bangun Janette.... Wahai adikku Janette, Bangunlah!"

Bertingkah seolah-olah dia adalah penyihir hitam dalam dongeng yang pernah diceritakan oleh ibu temannya.

Sampai dia menangkap suatu pergerakan dari tubuh sang adik. Netra emeraldnya terbuka menatap Evalyn dalam bingung.

"Siapa kau?"

Oh tidak. Jangan bilang.... Tidak. Tidak boleh. Evalyn memasang wajah senyum dengan alis mengkerut yang membuatnya jadi terlihat aneh.

"Janette, kau... Jangan bilang kau hilang ingatan?" Ia bertanya dengan hampa.

"Siapa Janette? Siapa aku?" Janette menujuk dirinya sendiri. Jelas sekali raut kebingungan di wajahnya.

Lantas Evalyn mengusap wajah kasar. Bagaimana hidupnya disini jika Janette saja hilang ingatan? Kan Janette yang membawanya ke hutan antah berantah ini.

Setidaknya harusnya dia tanggung jawab dulu sebelum hilang ingatan. Atau paling tidak bilang dulu cara mereka pulang kembali ke rumah Profesor Digory. Bagaimana mereka bisa kembali kalau begini?

"Anu, apa kau punya makanan? Aku lapar." Dengan wajah tanpa dosa Janette meminta. Evalyn benar-benar akan membunuh Janette jika ingatannya tidak kembali segera.

Lantas Evalyn meraih tas adiknya. Mengeluarkan air dan bekal. "Makanlah. Tapi jangan kemana-mana. Aku akan pergi dulu. Jangan buka pintu, atau menyahut jika ada yang datang. Jika ada yang bertanya, bilang kau anaknya Eva. Mengerti?"

Janette mengangguk paham. Dia tidak ingat siapa Eva. Atau kenapa mereka ada disini. Mungkinkah ini rumah mereka?

"Bagus. Jangan kemana-mana! Aku Evalyn, kakakmu. Namamu Janette. Saat kembali nanti aku akan langsung membuka pintu. Jadi jangan pernah buka pintu." Evalyn mengingatkan.

Janette mengangguk lagi. Lantas Evalyn beranjak meninggalkannya disana. Dia menutup pintu dan pergi mencari pemukiman.

Dengan alat panah, dia mungkin bisa berburu. Tapi tak ada yang tahu jika dia gagal mendapat buruan lantaran tak punya pengalaman.

Dan saat itu terjadi, meminta tolong kepada orang sekitar adalah yang paling bagus. Walau sudah ada bekal potongan daging, dia harus setidaknya mendapat makanan untuk besok pagi.

Kini Evalyn berjalan. Mengobservasi wilayah tempat dia berada. Hanya ada pohon sejauh mata memandang. Tak nampak pemukiman penduduk atau setidaknya lahan kosong.

Hingga dia mendengar suara gemericik air. Dengan senyum sumringah ia berlari menuju suara itu. Keheningan membuat suara air begitu keras terdengar.

Ia tiba disebuah sungai biru nan indah. Airnya jernih. Tapi ada makhluk lain disana. Bukan manusia. Tapi nimfa air, naiad.

Mereka sedang sibuk bermain air sambil tertawa menampilkan gigi-gigi tajam mereka seperti hiu. Evalyn hanya berharap mereka tidaklah ganas.

Saat dia mendekat, nimfa-nimfa air itu nampak tersentak melihatnya.

"Demi surai Aslan!" Salah satu berbicara dengan bahasa yang nampak familiar ditelinga Evalyn. Itu terdengar seperti bahasa asli Narnia. Rupanya dia dan Janette sungguhan tiba di Narnia.

"Penyihir agung Eva?!"

"Apa? Penyihir agung Eva hidup kembali?"

"Tidak mungkin."

Berbagai bisikan dengan bahasa asli Narnia itu membuat Evalyn hanya tersenyum kecut. Sepertinya wajahnya memang begitu mirip dengan penyihir Narnia itu.

Ia lantas menggeleng. "Bukan. Aku bukan Eva!" Terima kasih pada Eva yang memberinya ingatan tentang bahasa asli Narnia. Dia jadi bisa berkomunikasi dengan baik disini.

Para naiad kini menelengkan kepala bingung. Mereka beranjak, ada enam nimfa yang mendekatinya. Melihat dari dekat dengan mengerubunginya.

"Bukan Penyihir Agung Eva? Aku sudah hidup cukup lama. Dan selama itu aku sudah bertemu dengan beliau selama enam kali! Tak mungkin aku salah mengira. Wajahmu terlalu mirip dengannya. Bawa dia! Kita harus mengintrogasinya kalau dia bukanlah bawahan Penyihir Putih!"

Para naiad itu lantas menarik tubuh Evalyn kasar tanpa dia sempat membela diri. Dengan terpaksa dia membiarkan dirinya dibawa mengikuti hilir sungai.

Berjalan terus hingga mentari menjadi terik. Syukurlah disini pepohonannya rimbun. Jadi sinar matahari tak begitu menyengat kulit.

Mereka tiba di muara sungai. Tak begitu jauh dari sana, netra emerald Evalyn menangkap istana yang begitu megah berwarna putih.

Tidak mungkin. Dia dibawa ke Cair Paravel. Sekarang siapa yang memerintah? Para Pevensie sudah ada di bumi. Mereka tak ada disini.

Evalyn dibawa masuk dan dilempar di tengah aula. Semuanya nampak tersentak saat ada gadis kecil dilempar didepan mereka.

Bisa Evalyn lihat, ada empat tahkta kosong didepannya. Ada cukup banyak makhluk disana.

Beberapa ada dalam ingatan Eva, seperti Ress si koki, Tumnus si Faun, atau Raphnee si rakun. Bahkan ada kepala suku Elf. Selebihnya Evalyn tidak tahu.

"Aku membawa mata-mata Penyihir Putih!"



TBC~

Hai hai~~

Gak nyangka akhir tahun banyak waktu kosong. Jadi bisa sering update.

Sekali lagi makasih banyak kalian dah mau baca

See yaa~~

______________________________________

10 Desember 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top