Bab 3

Enjoy


Semua orang keluar rumah, mengantar ibu Evalyn dan Janette. Tadinya saat mereka berbincang, ibu dua ginger itu telah keluar bersama Profesor Digory. Dia ingin pamit pulang.

Mereka berbaris menatapnya. Meskipun para Pevensie tidak mengenal ibunya Evalyn, tapi sebagai sopan santun mereka ikut mengantar keluar.

"Ibu! Ibu sudah tua, gampang sakit. Jadi jangan jenguk kami. Kami akan baik-baik saja disini!" Janette berseru.

Nampak Evalyn menutup sebelah telinganya lantaran seruan Janette memang cukup keras. Sang ibu hanya tersenyum maklum.

Semoga Profesor Digory akan baik-baik saja jika anak-anaknya tinggal disini. Yah, karena meski terlihat normal, Evalyn dan Janette itu agak.... Gila.

"Jangan rindu." Masih dengan raut tenangnya sang ibu menatap kedua putrinya. Janette hanya tertawa.

Sedangkan Evalyn menatapnya datar. "Aku tidak akan rindu ibu! Kami akan hidup dengan baik disini. Khawatirkan saja ayah. Dia kan tidak bisa hidup tanpa ibu."

Oh, ya ampun. Mulut mereka memang tidak punya filter sampai berhasil membuat madam Macready memegang kepala lantaran sakit setelah mendengar ucapan keduanya.

Mana ada anak yang menghina orang tuanya sambil tertawa dan tanpa malu seperti Evalyn dan Janette ini? Mungkin spesies mereka hanya ada dua di dunia. Harap kalian jangan mencontohnya.

"Baiklah. Telegram."

Sangat ibunya sekali. Dua kata tidak jelas untuk orang normal. Tapi untuk dua putri ras jin ini lebih dari cukup untuk dimengerti.

Artinya adalah "Bersikap baiklah selama disini. Jangan mengacau. Sering-seringlah mengirim telegram pada ibu atau ayah." Begitulah.

Percakapan ibu-anak ini ditonton dengan senyum kecut semua orang. Entahlah. Mereka hanya bingung bagaimana tiga orang ini bercakap sehari-hari.

"Ibu pulang." Wanita itu beralih menatap Profesor Digory. "Anak-anakku agak gila, Digory. Kuharap kau masih hidup jika aku mengunjungimu lagi setelahnya."

Nampak lelaki tua itu tersenyum. Membuat yang lainnya berfikir bahwa itu hanya lelucon.

"Leluconmu tidak pernah berubah. Aku hanya manusia biasa. Tentang usia, aku mana tahu?"

"Sudah sana! Kalau ibu bicara dengan profesor lagi, nanti ibu buang-buang waktu. Bulan depan ibu harus pergi ke luar negeri, kan? Tidakkah ibu membayangkan wajah ayah yang stres karena istrinya tidak ada dirumah?"

Janette mengusirnya. Sedangkan Evalyn menyenggol lengan Janette. "Ayah bukan stres karena istrinya tidak ada. Tapi ayah stres karena otaknya terlalu kecil mengurusi pekerjaannya yang terlalu sulit."

Semoga Aslan mau mendidik mulut tajam dua anak ini. Peter bisa kehilangan nyawa jika Evalyn tidak bisa menahan mulutnya.

Bagaimana nanti jika bertemu ibu dan ayahnya? Jika tidak sopan begini, bisa-bisa mereka tidak direstui bahkan sebelum Evalyn bisa menyandang gelar nyonya Pevensie disana.

Eh, memangnya Evalyn mau menikah dengannya? Ah, benar juga. Dia bukan Eva.

Mereka melambai kala sang ibu dengan kereta kudanya pergi menghilang di ujung jalan. Lantas madam Macready berkacak pinggang menatap dua ginger ini.

"Ya ampun! Bagaimana bisa mulut kalian tidak disaring sedikitpun?" Ia mulai berkomentar dengan nada yang begitu sinis.

Tapi Evalyn dan Janette tidak tertawa lagi. Mereka malah membungkuk hormat.

"Maafkan kami, Madam." Evalyn yang bicara lebih dulu. Lalu dilanjut oleh Janette. "Tapi memang begitulah cara kami berbicara dengan ibunda."

Lantas Madam Macready mulai memberikan ceramah-ceramah panjang berisi kesopanan dan kebaikan yang tentu saja hanya masuk melalui telinga kanan dan keluar dari telinga kiri Evalyn dan Janette.

Jujur saja. Mereka bukan tipe orang yang akan banyak bicara jika bersama orang yang mereka tidak suka.

Sebaliknya, jika bersama orang yang mereka sukai, mulut mereka tidak akan diam dan tidak akan di saring dalam bicara.

Karena mereka tidak begitu menyukai Madam Macready, keduanya hanya menjawab "Yes, Madam."

***

Keheningan menyusup masuk kedalam kamar yang kini terasa sempit. Tentu saja. Kamar yang biasanya terisi dua orang kini diisi oleh enam orang. Parahnya semuanya sedang duduk di lantai.

Evalyn dan Janette baru saja menceritakan sejarah keluarga mereka. Yah, walau secara singkat. Toh mereka juga tak banyak tahu tentang misteri keluarga mereka.

"Jadi kalian ini cucu dari Cilica? Cilica yang katanya adiknya Eva itu?"

Pertanyaan Lucy dijawab anggukan mantap dua gadis ginger. Susan menggeleng tak percaya. Mana ada kebetulan yang sangat kebetulan ini?

Oh, lupakan. Sejak Eva meninggal, dia mencoba untuk menerima semua kebetulan sebagai takdir.

Edmund menunjuk Evalyn. "Lalu, bisa kau jelaskan kenapa wajahmu mirip dengan Eva? Dan kau–" ia beralih menunjuk pada Janette. "–Kenapa bisa mirip dengan Jadis?"

Janette tersenyum menampilkan gigi taringnya yang membuatnya nampak seperti serigala setengah manusia. "Jadis nggak punya gigi taring! Aku punya! Kami dua orang yang berbeda."

Dibalas anggukan Evalyn. "Lalu Eva punya gigi kelinci dan aku tidak punya. Selain itu kepribadian kami sangat beda jauh. Lihat saja Janette yang kadang seperti orang gila karena selalu teriak tidak jelas."

Janette tanpa sadar mengangguk setuju. Lantas mendelik pada sang kakak. "Heh! Bicara apa kau! Begini-begini aku juga punya sifat anggun tahu!"

Evalyn menyeringai. "Oh iya. Sifat anggun di depan raja Pe–" sontak mulutnya dibekap sang adik. "Diam atau kubunuh, nih!"

Ia melepas paksa tangan Janette di mulutnya. "Duh kasar sekali. Kalau begini sih kau nggak akan bisa jadi ratu!"

Janette menatapnya datar. "Siapa juga mau jadi ratu? Aku malah lebih mau jadi kesatria. Keren, kan? Kesatria yang berdiri di barisan pertama dalam perang!" Ia kini tersenyum menatap langit-langit.

Disini para Pevensie sadar. Janette bukanlah Jadis. Dan mereka mensyukuri itu. Tapi yang membuat mereka kecewa adalah Evalyn bukanlah Eva.

"Baiklah. Lalu, bagaimana kau bisa tahu tentang kami? Maksudku bagaimana bisa ingatan Eva sampai kesini? Padahal dia jelas-jelas dikubur di Narnia."

Kini Peter yang bertanya. Evalyn meraih sesuatu dari leher Janette. Kalung berbentuk bintang dengan permata emerald.

Itu kalung yang mereka kenakan saat 'Pewarisan Ingatan'. Sang ibu membiarkan Janette mengenakannya. Mungkin saja kalung itu telah diwariskan padanya. Entahlah.

"Kalung ini kata ibu terhubung dengan kalung yang dipakai Eva di Narnia." Janette menjawab, lalu dilanjutkan oleh Evalyn.

"Selama kalung itu dipakai Eva, kalung itu akan menyerap semua ingatannya sampai ingatan terakhir. Lalu semuanya dikirim melalui sihir ke kalung ini."

***

"Kejar dia, Edmund!"

"Jane, watch out!"

Teriakan saudara-saudaranya dan Evalyn mengiringi setiap langkahnya. Edmund dengan segera meraih baju belakang Janette.

Hampir. Sebelum gadis itu berhenti dan menunduk. Membuat Edmund terpaksa menghentikan larinya sebelum dia menabrak sang puan.

Tapi rupanya itu hanya tipuan. Janette langsung berlari kembali. Ke tempat dimana Edmund akan sulit mengejarnya. Dia memanjat pohon.

"Turun Jane! Kau harus tanggung jawab!"

Edmund berseru emosi. Pasalnya gadis itu memecahkan cangkir favorit milik Madam Macready. Tapi malah menuduh Edmund. Membuat sang empu dihukum membersihkan seluruh ruangan kosong sendirian.

"Tanggung jawab apa? Aku tidak menghamilimu."

Yang lain menonton dengan tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Berbeda dengan Edmund. Dia malah mengacak surainya kasar. "Turun sebelum aku yang naik, Janette!"

Janette malah tertawa dan mengeluarkan lidahnya. Mengejek Edmund. "Anak kota sepertimu mana bisa memanjat pohon!"

Sang empu menyeringai. "Kalau aku bisa naik kesana, kau harus menemaniku membersihkan ruangan-ruangan kosong itu!"

Dijawab tawa Janette. "Silahkan!"

Evalyn tersenyum. Dia mendudukkan diri di bawah pohon terdekat. "Tidak tahu saja dia, Edmund itu pemanjat handal."

Susan ikut duduk disebelah kirinya. "Benar. Dulu Edmund yang paling sering memetikkan buah-buahan dari pohon tinggi untuk kami."

Lucy ikut duduk disebelah kanannya. "Iya. Aku sering memanggilnya kera! Bahkan, kalau mau dibandingkan dengan Peter, dia kalah jauh!"

Lantas ketiganya tertawa. Tanpa sadar Peter sudah berkacak pinggang. "Aku juga hebat tahu!" Bangganya.

Evalyn mengangguk. "Iya. Hebat memanggang. Kue buatanmu enak."

Rona merah menghiasi pipinya. Peter menutup wajah dengan sebelah tangan. Lucy yang melihat malah tertawa gemas. Dia masih pendukung Peter-Eva. Walau sekarang ada lyn dibelakangnya.

"KYAAAA!"

Sontak keempatnya kembali menatap dua orang yang saling menjambak rambut diatas pohon.

"Curang! Curang! Curang!"

Janette berteriak histeris saat Edmund berhasil menangkap tangannya. Sang empu menatapnya emosi. "Teriak lagi, kubunuh kau!"

Evalyn langsung berdiri saat melihat ada yang salah dengan ranting pohon yang mereka duduki.

"Apa hanya perasaanku, atau ranting itu bergoyang seolah ingin patah?"

Lucy menunjuk pohon Edmund dan Janette. Susan mengangguk. Lantas mereka berdiri.

"Ed! Jane! Turun!" Teriakan Evalyn tak diacuhkan mereka. Keduanya malah sibuk menjambak rambut satu sama lain.

Krak.

"Aku mendengar sesuatu yang patah."

Ucapan Janette membuat Edmund memutar bola matanya. "Iya seperti hatiku saat tahu Eva menyukai Pete–AAAAAGGHHH!!"

Bruk.

Empat orang yang menonton hanya bisa menutup mata saat melihat keduanya jatuh. Saat dirasa sudah selesai, mereka akhirnya berlari menuju keduanya.

"Edmund!"

"Janette!"

Apa yang orang lakukan saat jatuh dari pohon? Entahlah. Evalyn tidak tahu, belum pernah coba dan semoga tidak akan.

Hipotesisnya mengatakan paling rendah Janette akan pingsan. Atau paling parah adalah patah tulang dan sebagainya. Tapi yang dia lihat disini bukanlah keduanya.

Malah nampak Janette yang berkacak pinggang dan Edmund yang memeluk pinggangnya.

"Sudah Ed, kita sudah mendarat dengan aman."

Edmund membuka matanya, menatap empat orang yang menatapnya menggelikan.

"Edmund astaga! Wahahahaha." Lucy memegang perutnya dan tertawa terbahak-bahak. Dia bahkan sampai berguling-guling di atas rerumputan.

Susan hanya menutup mulut sambil menahan tertawa. Begitu pula Peter.

Berbeda dengan Evalyn. Gadis itu mengusap dagunya. Memikirkan bagaimana bisa dua orang yang harusnya jatuh malah terlihat seolah tak terjadi apa-apa?

"Oh! Aku mengendalikan angin agar kami bisa jatuh dengan sedikit lebih lembut."

Jawaban Janette menyadarkannya. Begitu rupanya. Sihir adiknya semakin lama semakin berkembang.

Dia tak hanya memiliki sihir es seperti Jadis. Tapi juga punya sihir angin seperti ibu mereka. Kapan Evalyn mendapatkan sihirnya?

Lantas sang puan tersenyum dan mengangguk. Entahlah. Kejadian didepannya yang menurut tiga Pevensie lucu, menurutnya malah menyebalkan.

Karena itu membuatnya ingat bahwa dia tidak bisa menggunakan sihir. Bukan tidak bisa, tapi belum. Iya dia hanya belum bisa menggunakannya.

Janette yang tahu perubahan mood Evalyn, lantas berlari masuk ke rumah. "Tunggu sebentar! Lima menit!"

Tak sampai lima menit setelahnya, dia kembali membawa sesuatu yang dilemparkan langsung ke kepala Evalyn.

Tapi benda itu tak mengenai kepalanya, melainkan ditangkap dengan mudah oleh sang tangan. Rupanya itu adalah pedang kayu.

"Ayo!"

Janette memasang kuda-kuda. Tapi Evalyn menggeleng. "Tidak mau. Kau membosankan." Dia melempar pedang itu kearah Peter.

Dengan kesal, Janette melempar pedang kayu itu pada Evalyn. Lantas berdecih dan mendudukkan diri dengan kasar dibawah pohon.

Edmund masih duduk ditempat yang sama. Dia sedang merenungkan kejadian memalukan yang membuatnya berteriak tidak jelas.

Sedangkan dua gadis Pevensie duduk disebelah Janette. "Kalian bisa main pedang?" Tanya Lucy.

Janette mengangguk malas. "Evalyn itu keren. Dia selalu bisa mengalahkanku."

Susan menyeringai. "Mari kita lihat. Mana yang lebih hebat. Evalyn, atau sang Raja Agung Peter?"

Evalyn memasang kuda-kuda. Tatapannya datar fokus menatap Peter yang tak kalah datar menatapnya.

"Mulai!" Seruan Susan diikuti suara aduan kayu menghiasi siang menjelang senja mereka.

Pertarungan begitu sengit. Baik Peter maupun Evalyn tidak ada yang mau kalah. Mereka bertarung seolah benar-benar berada dalam arena pertempuran.

"Wah, ini mengingatkanku saat turnamen besar Lone Islands." Lucy tersenyum lebar.

Susan mengangguk. "Benar! Saat itu Peter sama kerennya dengan saat ini!"

"Bedanya yang ini dia terlihat lebih muda."

Keduanya tertawa. Meninggalkan Janette yang semakin kesal karena tidak tahu apa-apa. 'Huh! Tidak tahu saja Evalyn sekuat apa!"

Tak.

Semuanya terdiam kala mendapati dua orang yang tak lagi bertarung. Hanya menatap dalam diam.

Lantas dua orang beda gender disana menyunggingkan senyum dan tertawa. Hilang sudah raut datar mereka.

"Apa? Apa? Ada apa?" Janette langsung beranjak menuju keduanya. Didapatinya tangan Peter kosong seolah dia tak pernah memegang apa-apa.

"Kenapa aku sial sekali hari ini?!" Edmund melemparkan sesuatu pada Peter. Ditangkap dengan baik oleh sang empu.

"Thanks, Ed!" Peter memberikan pedang itu kembali pada Evalyn.

Dengan ini sudah jelas. Evalyn menang. Pedang ditangan Peter terlempar di pertarungan mereka.



TBC~

Makasih dah mau baca~~

______________________________________

7 Desember 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top