Bab 27

Enjoy


1947, Prancis.

Jemari porselen merapikan rumput-rumput segar yang baru selesai dipotong. Panas terik yang menyengat kulit. Suara jangkrik berirama menemani paginya.

Setelah rapi, ia menepuk tangan berlumpur yang tentu saja tidak akan berguna untuk menghilangkan lumpur kering disana. Dia berbalik. Mendapati sang ibu dengan kipas yang menutupi setengah wajahnya.

Netra biru yang menatap tajam nampak jelas menunjukkan ketidaksukaan sang ibu pada pekerjaan yang baru saja dia lakukan.

"Evalyn! Itu bukan pekerjaanmu. Kau harusnya sudah di London untuk bolak-balik istana dan ikut pertemuan sosialita bangsawan. Bukan mengurus rumput!"

Evalyn hanya tersenyum canggung. Ibunya memang sering tidak suka setiap Evalyn mengerjakan pekerjaan pelayan. Wajar saja. Ibunya kan lahir dan besar dengan marga De Charnie.

Evalyn masih ingat saat membaca sejarah keluarganya. Dia bukannya benar-benar terlahir dari darah biru murni. Neneknya memang putri raja di Charn. Tapi bagaimanapun neneknya menikahi lelaki biasa tanpa marga di desa.

Berkat kecerdasan sang nenek, bisnis mereka jadi berkembang hingga ke mancanegara. Sampai membuat Raja George melirik mereka dan memberikan gelar Baron dan Baroness pada keduanya.

Jadi Evalyn sebenarnya bukan benar-benar putri bangsawan murni. Dia hanya setengah. Mengingat ayahnya sebenarnya putra bungsu keluarga Viscount di Prancis.

Dia tidak mengerti lagi dengan gelar itu semua. Toh, dia tidak pernah berniat mendapatkan gelar itu. Kalaupun gelar Baroness diberikan padanya, suaminya kelak akan mendapatkannya. Evalyn berniat memberikan semua tanggung jawab sosialita bangsawan pada suaminya.

Evalyn mencuci tangan di keran samping rumah. Ibunya masih sibuk mengomel dengan anggun. Evalyn hanya membiarkan suaranya masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.

Hingga pelayan datang dan menghentikan omelan sang ibu. "Madam, ada tamu untuk anda. Katanya mereka adalah keluarga yang diundang Profesor."

Ibunya menutup kipas yang terbuka setengah. Lantas beralih menatap Evalyn tajam. "Ganti pakaian. Ibu sudah menyiapkan lelaki untuk menjadi pendampingmu."

Bak disambar petir di siang bolong, Evalyn mematung. Apa kata ibunya? Dia tahu umurnya memang sudah cukup untuk menikah. Tapi dia sedang menunggu seseorang untuk melamarnya! Dan orang itu hanya satu, Peter Pevensie!

Evalyn menggeleng. Menatap takut pada dua pelayan yang kini menariknya masuk menaiki tangga. Ada Janette di ujung sana.

"Tenanglah, aku ada dipihakmu."

***

Evalyn menarik napas, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Dia sudah berniat untuk menolak perjodohan pada siapapun yang ibunya inginkan. Dia hanya ingin menikahi Peter!

Ditatapnya pintu itu dan dibuka kasar. "Ibu! Aku menolak–" Netra emeraldnya berhenti pada netra safir disofa sana.

Disana. Nampak lelaki yang begitu familiar dengan setelan jas hitamnya. Senyum hangat dan mata teduh yang selalu membuat Evalyn tenggelam. Dia Peter. Peter Pevensie yang dicintai seorang Evalyn Agatha De Charnie.

"Peter?"

Sang empu berdiri. Mengangguk dengan senyum menenangkan. Evalyn sontak berjalan cepat menuju kearahnya. Meraih kedua lengan sang empu. "Ini sungguhan kau? Kau benar-benar datang ke sini? Ke Prancis?!"

Peter mengangguk. "Butuh cukup banyak pengorbanan saat harus kesini."

"Kami sempat mendapat badai ditengah laut." Suara manis itu membuat Evalyn berbalik. Menatap Lucy yang melambai.

Mereka disini. Susan, Edmund, Lucy dan Peter ada disini. Teman-temannya lengkap disini. Oh, bahkan Janette sudah duduk tenang di kursinya sambil menyesap tehnya.

"Kenapa tidak bilang disurat sebelum kesini?" Netranya menatap pada Peter.

Sang empu terkekeh. "Ev, surat terakhir yang kuberikan berisi dua puluh lembar. Tidak muat jika ditambah selembar lagi."

Evalyn tertawa. Dia memeluk sang empu erat. Menyalurkan rasa rindu selepas tak bertemu empat tahun. Lelaki itu tumbuh jauh lebih tinggi. Rahangnya pun kini nampak lebih tegas. Dia lebih mirip Raja yang sesungguhnya.

Peter menariknya duduk disebelahnya. Sedangkan Edmund dipaksa pindah di sebelah Janette. Yang tentu saja di iyakan dengan mudah oleh lelaki itu.

"Mana ibu?" Evalyn beralih pada Janette.

Sang adik mengangkat bahu. "Membicarakan hal penting dengan ayah dan orang tua Pevensie."

Tak begitu lama hingga ayah Evalyn nampak masuk bersama sang ibu. Mereka duduk di sofa kedua dibagian ujung. Ruang tamu keluarga Evalyn memang cukup luas.

Ditengahnya terdapat sofa satu set lengkap. Lalu di ujung sana adal sofa lain di depan perapian. Lalu ada tangga di belakang sofa tengah dan pintu menuju dapur di sebelah sofa ujung.

Ayah Evalyn kini beralih untuk duduk di satu sofa kosong di sebelah Evalyn. "Ayah yakin kau sudah mendengarnya. Ayah berniat untuk mengadakan pertunanganmu dengan anak teman lama ayah saat sekolah dulu."

Netra emerald melebar. Dia tidak pernah membayangkan ternyata ayahnya Peter dan ayahnya adalah teman. Janette mendengus. "Ayah, jangankan pertunangan, aku yakin Evalyn ingin langsung menikah dengannya."

Sang ayah tertawa. "Janette, jangan menggoda kakakmu begitu."

"Janette benar ayah! Aku ingin menikah dengan Peter. Kalau bisa bulan ini."

Brak.

Di sofa ujung nampak ibu Evalyn menggebrak meja. Dia menunjuk Evalyn dengan kipasnya. "Bulan depan! Ibu akan merestui."

Ah, nampaknya Evalyn harus menunggu satu bulan agar dia resmi mendapat marga Pevensie.

***

Evalyn menatap bintang gemintang. Purnama tak nampak malam ini. Memang belum saatnya, mengingat ini belum bulan baru.

Evalyn merasakan lengan melingkar di pinggangnya. Ia menyandarkan punggung. Menyamankan diri pada dada bidang di belakang.

"Pete, kau lihat bintang itu?" Ia menunjuk pada dua bintang yang nampak berdekatan. Masih bisa dilihat dengan mata telanjang.

Sang empu mengecup puncuk kepalanya. "Iya. Aku lihat. Kalau tidak salah, di Narnia ada bintang yang mirip."

Evalyn mengangguk. "Tarva sang Penguasa Kemenangan dan Alambil sang Putri Perdamaian. Itu yang kumaksud." Ia berbalik menatap Peter yang penasaran padanya.

"Kenapa tiba-tiba membahas tentang itu?"

"Kita akan berangkat ke London dan menikah di katedral. Kebetulan, dua bintang berdekatan ini muncul. Tidakkah kau tahu arti dari pertemuan dua bintang itu?"

Peter terdiam sejenak. Dia memang mempelajari tentang bintang-bintang di Narnia. Tapi itu bukan fokusnya. Dia lebih fokus mengasah pedangnya dan insting perang. Mengingat dialah penentu pemberi keputusan saat menjadi Raja dulu.

"Makna pertemuan dua bintang itu menandakan pada kebaikan."

Peter tersenyum. Mengecup lembut dahi sang puan. "Kau senang kita menikah?"

Evalyn mengangguk cepat. Melingkarkan lengannya pada leher Peter. Memeluknya erat. "Sangat. Malah, aku berharap kalau bisa kita menikah sekarang saja."

Peter menggeleng. "Aku ingin semua orang datang memberkati kita. Karena itu prosesnya butuh waktu, Ev."

Sang puan mengangguk. "Aku tahu. Kalau boleh, aku juga ingin Caspian dan rakyat Narnia melihat. Bahkan kalau bisa Aslan juga. Melihat pendamping High King Peter The Magneficent."

Peter terkekeh. "Dan pendampingnya adalah Queen Evalyn, The Red Lion of Narnia."

Evalyn menelengkan kepalanya. "Siapa yang memberikan julukan itu?"

Peter mengangkat sebelah alisnya. "Kau tidak tahu? Saat berjalan-jalan, Cornelius menjelaskan sambil menunjuk lukisanmu dengan Ratu Medavita. Dia bilang 'Beliau adalah Lady Evalyn, The Red Lion Narnia.' Semua orang memanggilmu seperti itu."

Evalyn menutup wajahnya. "Memalukan."

Peter malah meraih kedua tangannya. Menatap wajah indah sang puan. "Ada beberapa julukan lagi yang akan kau dapatkan kalau menikah denganku."

"Apa itu?"

"Ehem. Biar kusebutkan. Empress of Loneisland, Lady of Cair Paravel, Queen–" Peter berhenti mengatakannya saat Evalyn menutup mulutnya.

"Apa-apaan? Itu semua julukanmu tapi diubah ke versi wanitanya." Protes Evalyn.

Peter mengecup tangan yang menutup mulutnya. Lantas membawanya ke bahu. "Julukanku adalah julukanmu, Ratuku."

"Pete, apa aku pernah bilang?"

Sang empu menelengkan kepala. Tak yakin apa yang Evalyn maksud.

"Aku mencintaimu terlepas dari semua jabatan dan gelar yang kau miliki. Aku hanya mencintai seorang Peter Pevensie tanpa peduli apakah dia remaja biasa atau Raja suatu negara."

Metra safir dan emerald bersirobok. Lengan yang memeluk pinggang Evalyn terasa mengerat. "Aku mencintai seorang Peter Pevensie. Baik saat dia remaja, saat dia berdiri didepanku, ataupun saat rambutnya telah memutih dan wajahnya berkerut dimasa depan."

Peter terkekeh. Menempelkan dahinya pada dahi sang puan. "Aku juga mencintai seorang Evalyn Agatha De Charnie. Mencintainya lebih dari hidupku sendiri. Terlepas dari semua gelar bangsawan yang dia miliki, semua prestasi yang melekat pada dirinya. Aku mencintaimu apa adanya, Ev."

Evalyn meatap mata yang menyiratkan kesedihan didalamnya. Mata penuh rasa takut. "Pete?"

"Jangan tinggalkan aku, Ev. Jika kau pergi, kurasa aku benar-benar akan mati."

Evalyn mengangguk. Memeluk sang empu erat. "Kemanapun kau pergi disitulah aku berada, Pete."

***

Janette menatap sang kakak berbalut gaun putih yang indah. Gaun bergaya Victorian era itu nampak manis di tubuhnya. Disebelahnya ada Peter dengan setelan jas putih yang nampak serasi kala keduanya disandingkan.

"Memikirkan bagaimana kita berdua akan berdiri disana?"

Janette berbalik menatap Edmund dengan seringainya dan setelan jas hitam. Janette memutar bola mata jenaka, dia menggeleng. "Aku memikirkan rencana kita."

Edmund mengangguk. "Lakukan sesukamu. Aku yakin mereka akan siap kapanpun."

Janette terkekeh. Ini adalah hadiah pernikahan dari Janette pada kakaknya. Ya, Evalyn telah menikah dengan Peter hari ini. Keduanya nampak manis duduk dialtar sana.

Kini Janette menatap Lucy dan Susan yang mengangguk dipojok sana. Juga Jill dan Eustace yang mengangkat jempol tak jauh dari mereka.

Keduanya berjalan menaiki altar. Mendekati pengantin dengan senyum kucing. "Evalyn! Selamat!" Janette memeluk sang kakak. Sedangkan Edmund bertos ria dengan Peter.

"Wah, Evalyn sekarang jadi kakak iparku." Edmund terkekeh. Ia melirik pada lelaki dengan rambut putih yang diikat kebelakang tengah memegang kamera.

Evalyn mengikuti arah tatapannya. "Nocturn?!" Katanya kaget.

Sang kameramen tertawa dan melambai. "Selamat menikah anak kecil! Sekarang kau bahkan sudah punya suami."

Evalyn hanya menggeleng tak percaya. Senyum diwajahnya tak memudar.

Semua orang kini mulai memposisikan diri masing-masing. Janette berdiri disebelah Evalyn.

Edmund sendiri tak mau berpisah dari Janette. Jadi dia berdiri disebelahnya. Dan Lucy ada disebelahnya.

Eustace berdiri disebelah Peter dan Jill juga Susan ada disebelahnya.

Mereka menatap jari Nocturn yang membentuk angka 3 .... 2 .... 1 ....

Cahaya menyilaukan mata mereka semua. Membuat Evalyn terpaksa menutup mata.



TBC~~

Eitsss!!!!! Ada satu chapter lagi. Itu bakal benar-benar jadi yang terakhir. Mwehehe.

______________________________________

22 Maret 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top