Bab 26
Enjoy
•
•
•
Kaki berbalut sepatu khas Telmar yang telah lama tak dia gunakan melangkah melewati rumput. Netra emerald menatap sendu pada taman yang ada didepannya. Lantas beralih menatap jendela menara disana.
Dalam ruangan itu, dia dan sang pangeran yang masih bayi tinggal. Cukup banyak kenangan pahit dalam istana ini melekat pada ingatan Evalyn. Membuatnya terkadang sedih setiap melihatnya.
"Orang bilang waktu akan menyembuhkan segalanya. Kupikir yang sebenarnya adalah kita sendirilah yang harus memutuskan apakah kita akan menyembuhkan diri atau membiarkan masing-masing tetap terluka."
Ia bicara entah pada siapa. Mungkin pada angin yang terkadang datang menyapa. Atau pada lelaki yang tengah berdiri dibelakang.
"Seburuk apa kehidupanmu disini?"
Evalyn berbalik. Mendapati Peter dengan netra sendunya disana. Sejak Evalyn sadar, lelaki itu tak pernah melepaskan pandangan darinya. Seakan-akan Evalyn akan menghilang jika dia berhenti menatap walau sedetik.
"Tak seburuk yang kau bayangkan. Tapi cukup buruk hingga meninggalkan kesan yang menyeramkan."
Evalyn kini beranjak. Mendudukkan diri pada kursi taman. Taman sekitar sini telah sepi. Entah karena dari dulu memang sepi, atau seseorang sengaja menyuruh orang-orang untuk tidak melewati taman itu.
Peter mendudukkan diri disebelahnya. "Kita akan berpisah lagi."
Sang puan tersenyum mengangguk. "Hadiahku." Dia mengerling menatap Peter yang masih sibuk menatap bunga didepan.
Evalyn kembali berdiri. Berlutut dengan satu kaki didepan Peter. Meraih tangan kirinya. Di pergelangannya masih ada pita hijau yang diikatkan Evalyn.
"Kau tahu kenapa saat orang-orang dewasa menikah, mereka menaruh cincin pada jari manis pasangan mereka?"
Peter mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa?"
Evalyn meraih jari manis Peter. "Karena pada jari manis, ada pembuluh darah yang langsung menuju ke jantung. Menunjukkan bahwa mereka menginginkannya dari hati mereka."
Sang empu terkekeh. Walau tak begitu paham, dia sedikit mengerti maksudnya. Intinya yah, ada hubungan dengan perasaan dan cinta.
"Peter, kau tahu aku besar sebagai pelayan. Meski ada ingatan Eva pada diriku, tapi aku tetap hidup sebagai pelayan."
Peter mengangguk. Dia jelas tahu itu. Janette entah kenapa selalu menekankan hal itu padanya dan tiga adiknya.
"Setiap pelayan memiliki pemilik. Peter, pemilikku telah mati di istana ini belasan tahun lalu." Jeda sedikit. Nampaknya Peter tahu apa yang akan selanjutnya dikatakan Evalyn.
"Hadiah yang kujanjikan padamu hari sebelum perang adalah jiwa dan tubuhku. Maukah kau menjadi pemilikku yang selanjutnya?"
Sang empu terdiam. Dia menggeleng, melepaskan tangan Evalyn yang menggenggamnya. "Aku menolak."
***
Tapak sepatu dan lantai batu beradu. Menciptakan bunyi menghentak yang keras. Dia melangkah dengan terburu-buru. Kepalanya terkadang celingukan mencari sesuatu. Atau seseorang?
Hingga dia mendapati surai merah yang tengah bersembunyi dibalik dinding pojok sana. "Ja–"
Belum selesai memanggil, sang puan langsung berbalik dan menempelkan telunjuknya di bibir. "Ssshhhhht!" Memintanya untuk diam.
Dalam diam Edmund mendekat. Menempatkan kepalanya diatas kepala Janette yang mengintip. Netranya mendapati Peter dan Evalyn yang sibuk berduaan.
Ia berdecih. Ayolah. Apakah dua sejoli itu lebih menarik dimata Janette ketimbang Edmund sendiri? Edmund menggeleng. Memilih untuk menyandarkan punggungnya pada dinding.
Entah sejak kapan Edmund sudah tidak tertarik pada segala hal yang berkaitan Evalyn. Dia lebih ingin mendapatkan perhatian Janette yang selalu tertuju pada gadis itu dan juga kakaknya.
"Jane, kita tidak bisa membuang waktu terlalu banyak. Pelantikan Caspian akan segera tiba. Kita harus memanggil mereka untuk menuju aula utama."
Netra Edmund mendapati Susan memberi kode. Ini sudah jam sarapan. Setelahnya ada upacara pelantikan Caspian sebagai Raja. Edmund dengan segera menepuk pundak sang puan.
Janette menggeleng. "Ed, ini kejadian seumur hidup. Cukup sampai dua orang itu menjadi kekasih, aku akan berterima kasih padamu selamanya." Netranya masih sibuk mengintip Evalyn dan Peter.
Edmund menghela napas. Beralih menatap Susan dan menggeleng. Kakaknya yang satu itu datang mendekat diikuti Lucy yang entah kapan ada bersamanya. Keduanya ikut mengintip dari balik dinding.
Karena kesal, Edmund menendang dinding kasar. Memaksa tiga perempuan itu berbalik dan menempelkan telunjuk di bibir masing-masing.
"Diam, Ed!"
"Aku menolak."
Kini keempatnya mengintip. Edmund juga nampak penasaran. Suara yang dia dengar samar-samar itu jelas suara Peter. Apa yang dia tolak?
Ditatapnya Evalyn yang nampak terluka. Oh? Dia menolak menjadi kekasih Evalyn? Ckckck. Pilihan buruk. Padahal Edmund sudah menyerah pada gadis itu, tapi kakaknya malah menyia-nyiakannya.
Nampak Peter meraih tangan Evalyn. Memintanya untuk berdiri. Peter menggeleng. "Maaf, Ev. Aku tidak mau menjadi pemilikmu. Kau bukan barang."
Evalyn terdiam dan menunduk. Sepertinya benar-benar terluka atas kalimat yang dilontarkan Peter. Kini Peter berlutut dengan satu kaki. Masih dengan tangan Evalyn dalam genggamannya.
"Ev, aku yang ada di depanmu mungkin seorang Raja. Tapi jika kita kembali ke bumi, aku tidak lain hanyalah remaja biasa. Aku tidak bisa menjanjikanmu apapun. Tapi bisakah kau menunggu? Sampai saat aku memiliki pekerjaanku sendiri, aku akan datang menemui ibu dan ayahmu."
Evalyn menatapnya. "Kau akan melamarku?"
Peter tersenyum. "Tidak. Aku akan menculikmu dan membawamu pulang." Lantas dia tertawa. "Tentu saja aku akan melamarmu."
"Peter itu idaman!" Janette menutup mulutnya sembari menggelengkan kepala. Dia benar-benar tidak akan rela jika Peter tak menikah dengan kakaknya.
Ayolah lelaki mana yang memilih untuk mundur demi menyiapkan segala kebutuhan gadisnya lalu datang kembali untuk melamar? Sepertinya cukup jarang di sekitar Janette.
Edmund menarik tangan Janette kesal. Membawanya menjauh dari sana. Dia harus memastikan apakah gadis itu menyukai kakaknya atau tidak. Kalau iya, apakah ini karma untuk Edmund? Karena dia dulu sempat terpikir untuk bersaing dengan kakaknya?
"Ed! You hurt me!"
Janette melepas paksa cengkraman tangan Edmund. Pergelangan tangannya memerah dan sakit. Dia menatap kesal pada Edmund yang nampak sendu disana.
"Kau menyukai Peter?"
Eh?
***
Sarapan berakhir dengan tenang. Setelahnya penobatan Caspian sebagai Raja.
"Sekali menjadi Raja, selamanya akan tetap menjadi Raja." Peter baru saja menempatkan mahkota pada kepala Caspian. Aslan tengah berdiri disebelahnya.
Caspian menatap rakyat dan teman-temannya bangga. Sorak sorai tepuk tangan orang-orang memenuhi alun-alun istana. Semua orang nampak riang gembira.
Kini Aslan memanggil orang-orang yang ingin kembali ke negeri asal mereka. Namun banyak yang ragu bahwa Aslan mampu mengembalikkan mereka.
Karena itu, dua Charnie memilih untuk melakukannya lebih dulu. "Kami duluan." Evalyn memberikan tongkat sihirnya pada Caspian.
"Tanamlah di manapun dengan kristal di bagian bawah. Itu bisa menjadi pohon dan tempat bernaung orang-orang dari terik matahari."
Caspian menatapnya ragu. "Tidakkah kau akan kembali?"
Evalyn menggeleng. Melepas jubah hijau toska dan memberinya pada Caspian. "Anggap kenang-kenangan kita. Aku dan Janette punya banyak sekali urusan yang belum selesai di bumi."
Janette mengangguk. Melepaskan mahkota es miliknya yang entah muncul dari mana. Tak ada yang tahu selain dirinya. Dia menaruh mahkota itu pelan-pelan ditangan Caspian.
"Jangan biarkan mahkota ini jatuh ketangan orang yang salah. Kuharap kau mau menanamnya didepan istanaku saat jalan-jalan ke Ettinsmore."
Caspian mengangguk sedih. "Selamat jalan, temanku."
Keduanya tersenyum. Kini beralih pada para Pevensie yang tersenyum. Evalyn memeluk Lucy erat. "Jaga dirimu baik-baik." Lalu gantian dengan Janette.
Kini Evalyn memeluk Susan. "Aku akan merindukan kalian."
Susan balas memeluknya erat. "Kita masih bisa bertemu di London."
Janette menggeleng. Gantian memeluk Susan sedangkan Evalyn melewati Edmund dan langsung memeluk Peter.
"Kami akan pergi ke Prancis."
Peter melepas pelukannya. Menggenggam kedua lengan Evalyn erat. "Apa maksudnya? Kita tidak akan bertemu lagi?"
Evyn menggeleng. "Kami mungkin sesekali kembali ke London. Tapi kami akan pergi ke Prancis. Ayah sakit keras disana."
Peter meraih pipi Evalyn. "Kau baik-baik saja?"
Sang puan tersenyum. "Setelah melihatmu, aku jadi semakin baik."
Edmund berdecak. "Love bird. Cari ruangan untuk kalian berdua!" Tegurnya. Dibalas kekehan sang kakak dan Evalyn.
Kini Edmund berhadapan dengan Janette. Sang puan menatapnya tajam. Tangan porselen Janette terangkat menampar Edmund agak keras.
Edmund memegang pipinya sebelah. Ada rasa menyengat disana. Netranya menatap Janette tak percaya.
Yang lain sontak kaget. Terutama para Pevensie dan Evalyn yang tepat berada disebelahnya.
"Aku menyukaimu idiot. Apakah sesulit itu untuk menerima sampai kau harus bilang aku menyukai Peter?" Janette menatapnya tajam. Hidungnya mulai memerah dan matanya berkaca-kaca.
Tadi saat ditanya oleh Edmund, Janette langsung berlari untuk melarikan diri. Setelahnya dia menjauhi Edmund untuk meyakinkan dirinya agar dia bisa menjelaskan hal yang sebenarnya. Tanpa sadar, Janette malah mengatakan perasaannya karena terlalu kesal.
Edmund menggeleng cepat. "Tidak! Bukan begitu maksudku. Kupikir, kupikir aku tidak cukup menarik untuk dilirik olehmu." Suaranya mengecil diakhir kalimat.
Janette menganga mendengarnya. "Kau tidak cukup menarik? Kau malah orang paling menarik didunia ini untuk kutatap! Tidak tahukah kau aku selalu menatap patungmu di Cair Paravel setiap aku kesulitan tidur? Oh! Aku harusnya melukis wajahmu sebelum masuk ke Narnia agar aku bisa–"
Janette terdiam. Wajahnya memerah saat sadar apa yang baru saja dia katakan. Dia menutup mulutnya sendiri. Sepertinya dia terlalu banyak bicara saat ini.
"Jadi kau menatap patungku? Kau bilang tidak pernah lihat!" Edmund menatapnya tak percaya. Dia menahan mulutnya untuk tersenyum.
Janette membuka mulutnya. Tapi tak ada suara yang keluar. Dia malah jadi terlihat seperti ikan yang mangap dalam air.
Yang lainnya tertawa melihatnya. Pertengkaran keduanya memang selalu seru untuk dinonton.
Edmund menyeringai. Dia memilih untuk merapikan rambut Janette yang nampak berantakan.
"Hey, mau kugambarkan wajahku agar kau bisa tidur dengan nyenyak?" Ia mengedipkan sebelah mata. Mengundang Janette untuk memukul kepalanya.
"Diam kau! Cabul!"
Edmund memegang kepalanya, berpura-pura kesakitan. "Aw! Hey, tunggu! Darimana kau belajar kata itu?"
Janette mengangkat bahu memilih untuk berdiri didekat pohon. Menatap Evalyn yang tertawa dengan Peter disana.
"Cepatlah, Ev! Kematian ayah tidak bisa menunggu."
Evalyn malah tambah tertawa. "Ayah sedang sakit. Bukan mau mati!" Setelahnya dia berdehem sejenak. Lantas beralih menatap Peter.
Sang empu tersenyum. "Jaga dirimu baik-baik. Jangan tidur terlaru larut. Jangan lupa mimpikan aku."
Evalyn mengangguk. "Jangan lupakan aku. Kalau kau lupa, aku akan langsung berada disebelahmu untuk mengingatkanmu!"
Peter tertawa. Dia mengangguk. Lantas meraih pipi Evalyn dan mendekatkan wajah mereka. Ia mengecup dahi sang puan lembut. "Tunggu sampai aku punya pekerjaan. Aku akan langsung kerumahmu."
Evalyn kembali mengangguk. Dia berjalan cepat dengan langkah kecil menuju Janette. Melambai sedikit pada orang-orang dan masuk kedalam pohon.
Janette dibelakangnya berhenti sejenak. Dia berbalik dan berlari menuju Edmund. Memeluknya erat. "Aku akan merindukanmu."
Lantas kambali berlari memasuki pohon. Menghilang disana. Meninggalkan seseorang dengan wajah merah dan jantung yang berdetak kencang.
***
Janette membuka mata. Ditatapnya pelabuhan yang ada didepan sana. Setelah ini, akan sulit untuk kembali ke Inggris. Akan rumit untuk mengurus Visa dan Pasport.
Dirinya keluar dari mobil. Menatap jalanan yang tadi mereka lewati. Dia benar-benar akan merindukan Britania Raya dan segala macam orang yang dia kenal disini.
"Kita bukannya tidak akan kembali, Jane." Evalyn mengeluarkan koper dibantu kepala desa.
Janette mengangguk. Berbalik untuk membantu Evalyn mengeluarkan koper.
Setelah semua pemeriksaan, akhirnya mereka bisa menaiki kapal. Keduanya menatap pak kepala desa yang sudah berbaik hati mengantar.
"Terima kasih, Sir. Titip salam untuk Progesor Digory dan keluarga anda."
Sang kepala desa tersenyum. Mengangkat topinya sedikit dan mengangguk. "Hati-hati dalam perjalanan kalian, anak-anak. Aku akan mendoakan keselamatan kalian."
Mereka melambai. Meninggalkan sang kepala desa dan masuk kedalam kapal. Akhirnya, setelah bertahun-tahun, mereka kembali ke Prancis.
"Semoga ayah baik-baik saja." Janette meraih permen dalam tasnya.
Evalyn mengangguk. "Semoga."
•
•
•
TBC~
Dua lagi sebelum Ending yang sesungguhnya!
______________________________________
22 Maret 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top