Bab 24
Enjoy
•
•
•
Evalyn meneguk ludah mengingat ribuan pasukan yang sebelumnya sempat dia lihat didepan sana. Tadi Peter sudah menyetujui kedatangan pasukan bantuan milik Janette. Setelahnya dikabarkan pasukan Miraz telah berkumpul didepan Aslan How.
"Kita tidak bisa langsung menyerang. Mustahil untuk menang." Janette menggeleng pada semua orang yang telah berkumpul dimeja batu.
"Tapi kita punya pasukan bantuan darimu. Ribuan pasukan itu untuk apa jika bukan untuk menyerang?" Edmund mencibir.
Janette tetap menggeleng. "Tidak dengan ketapel raksasa itu. Kita tidak tahu berapa lama waktu pengisian ulangnya. Tapi kemungkinan besar mereka jauh lebih cepat ketimbang pasukanku. Kalian tahu raksasa, mereka besar tapi lambat."
"Kalian punya sihir. Hancurkan saja dengan sihir kalian." Edmund memberi usulan.
Janette mendengus. "Kami.bukan.Eva!" Serunya kesal.
"Eva mungkin punya sihir-sihir hebatnya. Tapi kami tidak dibesarkan seperti dia. Kami besar sebagai pelayan dan dilatih untuk melayani! Bahkan sebagian besar masa lalu kami dihabiskan untuk berlatih pedang. Bukan sihir. Kami tidak tahu menggunakan sihir untuk menghancurkan. Yang kubisa hanyalah sihir untuk memperbaiki."
Dia panik. Janette panik! Dia belum pernah mengikuti perang sebelumnya. Ini pertama kalinya dia melihat pasukan musuh sebanyak itu. Karena itulah dia tidak bisa menjaga intonasi nadanya dan malah terlihat seperti sedang marah.
Edmund berdecak. Dia terdiam. Masuk akal, pikirnya. Janette menatapnya kesal tapi langsung menghela napas. Berusaha menenangkan dirinya sendiri.
"Aku tahu, kami sekarang hanyalah beban. Jadi aku hanya bisa menyerahkan peperangan ini pada kalian. Maaf."
Evalyn menyeringai tapi sontak memasang wajah serius. Dikepalanya terlintas ide yang bagus. "Tidak ada cara lain. Kita harus mencari Aslan."
Peter sontak menjentikkan jari. "Tepat sekali! Lucy pasti bisa melakukannya." Netranya beralih pada Lucy yang mengangguk setuju.
"Itu rencana terbaikmu? Menyuruh gadis kecil ini pergi ke bagian terdalam hutan sendirian?" Trumpkin menatapnya tak percaya.
"It's our only chance." Netra safir Peter menatap serius pada sang dwarf.
"Dan dia tak akan sendirian." Susan berdiri. Menunjukkan bahwa dia akan pergi bersama Lucy.
Trumpkin kini beralih pada Lucy. Netranya menatap sendu, meminta Lucy agar tidak pergi. "Tak cukupkah banyaknya dari kita yang mati?"
"Nikabrik mungkin teman kita. Tapi dia sudah kehilangan harapan. Ratu Lucy tidak. Aku juga tidak." Thrufflehunter angkat bicara.
"For Aslan." Ripicheep mengangkat pedangnya dan menaruhnya didada. Memberikan kepercayaan teguh pada Lucy. Diikuti sang beruang dan yang lain.
Evalyn berdiri. "Seperti saat Lucy menemukan jalan menuju Narnia untuk pertama kali, dia akan menemukan jalan menuju Aslan. Percaya padanya." Evalyn menatap Lucy yakin.
Trumpkin nampak ragu. Tapi langsung meyakinkan dirinya setelah melihat Lucy. "Dan aku akan pergi denganmu."
Lucy menggeleng. "Kami membutuhkanmu disini." Dia menyentuh bahu sang dwarf.
"Kita harus menahan mereka sebaik mungkin sebelum Lucy dan Susan kembali." Sambung Peter.
"Kalian tahu." Evalyn mengangkat tangan, meminta atensi yang lainnya. "Kita harus mengenal musuh kita sebelum bertempur." Netra emerald melirik pada Caspian. "Aku yakin Caspianlah yang paling mengenal Miraz diantara kita semua."
Sang empu nampak melirik Cornelius. Lantas dia mengangguk dan berdiri. "Miraz mungkin pembunuh kejam. Tapi dia adalah Raja yang selalu memikul harapan rakyatnya. Ada satu cara yang mungkin bisa kita lakukan."
Evalyn mundur. Membiarkan atensi beralih pada Caspian. Dia tahu Caspian pasti akan memberikan satu cara mudah tanpa harus mengorbankan banyak nyawa.
Evalyn mengenal Miraz. Dia bisa saja mengatakan langsung pada Peter untuk berduel dengan lelaki itu. Tapi, ada kemungkinan yang lain tak akan percaya padanya. Mengingat hanya sebagian kecil diantara mereka yang tahu bahwa dia pernah menjadi pelayan di istana Telmar.
Karena itu, dia membutuhkan Caspian yang jelas pernah tinggal cukup lama didekat Miraz. Jadi terbukti lelaki itu lebih mengenal Miraz lebih baik daripada Evalyn sendiri.
Jika Evalyn benar, besar kemungkinan pikiran mereka akan merujuk pada satu hal yang sama. Meminta Miraz untuk berduel. Dan perkataan Caspian akan jauh lebih dipercaya oleh yang lain.
"Kita bisa memintanya untuk berduel."
Tepat sasaran. Caspian menyuarakan pikiran Evalyn tanpa perlu sang gadis bicara.
Janette kini berdiri. "Kalau begitu, Peter atau Edmundlah yang paling bisa melakukannya." Netranya beralih pada dua saudara.
Evalyn mengangguk. Tapi kembali menggeleng. "Untuk menunjukkan otoritas Narnia yang dipimpin oleh dua Raja, maafkan aku. Tapi Peterlah yang paling berhak melakukannya. Disamping itu, Edmund yang harus pergi menjadi utusan pembawa pesan."
Peter mendekat. Menatap tajam pada sang puan. "Apa kau baru saja memerintah seorang Raja?" Nampaknya dia agak sensitif saat ini.
Evalyn menggeleng. "Aku hanya memberikan usulan."
Adu mata itu terjadi agak lama. Hingga Peter yang lebih dulu memutuskan kontak mata. Dia menatap Edmund yang kini berdiri. Nampaknya setuju-setuju saja pada apa yang dikatakan Evalyn.
"Then, let's do it. For Aslan!"
"For Aslan!" Yang lain ikut bersorak. Mereka memilih bubar meninggalkan empat Pevensie, dua Charnie dan Caspian. Bahkan Cornelius memilih menyingkir.
Evalyn mendekat pada Susan dan Lucy yang hendak berangkat. "Kalian!"
Keduanya berbalik. Menatap Evalyn yang mengangkat sebelah tangannya. Angin hangat berhembus pelan. Sontak muncul sebuah tongkat di tangannya. Itu adalah tongkat milik Eva.
Mungkin yang lain yakin bahwa tongkat Eva menghilang setelah perang bersama Jadis ribuan tahun lalu. Tapi sebenarnya tidak.
Tongkat itu hanya diberikan sihir khusus oleh Eva agar tidak bisa digunakan siapapun. Dan karena ingatan Eva ada dalam kepala Evalyn, dia bisa mematahkan sihir yang ada. Membuat tongkat itu berada dalam genggamannya.
Ia mengulurkan tongkat. "Kuberikan sihir pelindung pada kalian. Dengan begitu, tidak ada kejahatan manapun yang akan mendekat ataupun melukai masing-masing dari kalian berdua."
Cahaya hijau keemasan mengelilingi Lucy dan Susan. Ketenangan dan keberanian dalam diri mereka meningkat. Keduanya mengangguk. Setelah sihir Evalyn telah diberikan, keduanya pamit pergi diikuti Caspian.
Edmund kini menatap Evalyn. "Kau punya ingatan Eva dalam kepalamu. Aku yakin kau pasti tahu satu atau dua sihir penghancur."
Sang puan menyeringai. "Aku hanya terpikir cara terbaik agar tak banyak yang menjadi korban."
***
Peter menatap zirahnya. Zirah itu telah menemaninya bertarung sejak seribu tahun lalu. Masih bagus karena ditempa oleh penempa terbaik, dwarf merah dari barat. Dan disimpan dengan penyimpanan terbaik, gudang harta Cair Paravel. Terdapat sihir Eva disana. Membuat barang-barang akan nampak tak berubah meski ribuan tahun berlalu.
"Peter."
Tanpa berbalik, Peter tahu siapa itu. Gadis yang selama ini berkeliaran dalam pikirannya, Evalyn.
Evalyn dengan segera menarik Peter lembut, memintanya duduk pada pinggiran ruangan. Sedangkan dia meraih zirah itu dan membawakannya pada sang empu.
Peter memakainya dalam diam. Dia khawatir. Evalyn tahu itu. Karena itulah dia disini. Berharap bisa mengurangi kekhawatiran sang empu.
Evalyn berjongkok dengan satu kaki. Membiarkan lutut sebelahnya lebih tinggi dari yang satu.
Dia menarik salah satu pita hijau muda dari pinggang bajunya. Meraih pergelangan tangan kiri Peter dan mengikatkan pita disana. Sang empu menatapnya heran. Apa yang gadis ini lakukan?
Evalyn tersenyum. Membawa punggung tangan Peter pada dahinya. "Semoga keselamatan senantiasa menyertaimu. Dan semoga kemenangan berada ditanganmu, Rajaku."
Peter mengepalkan tangan kanannya. Berusaha menahan diri untuk tetap waras dan tidak gegabah untuk memeluk sang puan.
Evalyn kini menengadah. Netra emerald dan safir berisobok. "Dahulu, aku melayani Medavita sebagai pemilik. Sekarang biarkan aku melayanimu sebagai Rajaku."
"Kenapa harus mengikat pita pada tanganku?" Peter mengangkat sebelah alisnya. Masih berusaha untuk bersikap biasa saja.
"Ada mitos di Telmar. Seorang gadis yang mengikat sesuatu pada kesatria yang hendak berperang, maka kemenangan akan dibawa oleh kesatria itu. Mungkin hanya mitos. Tapi aku berharap hal itu bisa memberikanmu kepercayaan bahwa kau tidak akan gagal."
Peter menyeringai. Mengikis jarak pada wajahnya dan Evalyn. Mencoba untuk menggoda sang puan. "Kau tahu tanpa itupun aku tidak akan kalah."
Evalyn tersenyum sendu. "Aku tahu. Aku percaya kau akan menang. Tapi, itu hanya untuk menghilangkan ketakutanku. Maafkan aku."
Peter kalah. Dia menarik Evalyn pada pelukannya. Dia khawatir. Kegagalan sebelumnya membuatnya ragu.
Bahkan Evalyn juga sama khawatirnya. Tapi gadis itu tetap memberikan kepercayaan padanya. Mendoakan keselamatannya agar dia kembali dengan kemenangan. Peter tidak akan pernah mengecewakan gadis ini.
"Aku pastikan kemenangan ada ditangan kita."
***
Janette menatap pasukan Miraz didepan sana. Dia bersedekap. Sesekali akan menggigit ujung kukunya, berharap itu bisa menenangkannya. Kakinya dihentakkan cepat pada tanah.
"Kenapa Edmund lama sekali?" Lirihnya.
Di kepalanya penuh kekhawatiran sang empu akan dilukai. Akankah dia baik-baik saja? Dia tidak menghunuskan pedangnya sembarang arah, kan? Edmund tidak akan panik dan sembarangan bicara, kan?
Janette menggeleng. Dia tahu Edmund akan baik-baik saja. Edmund adalah pendebat yang handal. Lelaki itu sempat beberapa kali membuat Janette kelabakan karena mulutnya yang sarkas. Lantas kenapa Janette harus khawatir?
Janette menghela napas. Dirinya memilih untuk duduk ditanah. Menyandarkan kepalanya pada dinding berlumut. "Kembalilah dengan selamat, Ed. Kalau tidak, akan kucari mayatmu dan kuhidupkan kembali. Setelah itu, akan kubuat kau mati berulang kali."
Disaat bersamaan, suara tapak kuda terdengar diantara hiruk pikuk suara dentingan zirah dan percakapan orang-orang. Janette kembali berdiri menatap Edmund yang telah tiba dengan kudanya.
"Caspian benar. Mereka menyetujuinya."
Lelaki itu nampak lega. Hendak masuk untuk memberitakan hal ini pada Peter. Tapi Janette menghentikannya.
Dia memanggil seekor faun dan menyuruhnya untuk memberitahukan berita ini pada Peter. Sedangkan Edmund ditarik Janette menuju belakang sana.
"Apa yang kau lakukan? Aku harus memberitahukan hal ini langsung pada Peter." Edmund masih berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman Janette yang ternyata cukup kuat.
Janette melepaskan genggaman tangannya. Memilih untuk mendudukkan diri pada akar pohon yang mencuat keluar. Dia mengangkat tangan, menenggelamkan wajahnya disana.
Edmund yang bingung hanya berdiri didepan Janette. Menatap pada gadis yang terduduk seakan tengah menenangkan diri.
Keheningan diantara keduanya memberikan jeda pada Edmund untuk berpikir. Janette seumuran dengan Lucy, dua belas tahun. Tapi gadis ini sudah mencapai pencapaian yang luar biasa.
Dia sudah jadi Ratu di Ettinsmore. Selain itu, Edmund dengar Janette sendirilah yang menyatukan Ettinsmore dan Narnia di masa lalu. Di mata Edmund, gadis ini luar biasa. Dengan tubuh sekecil itu, dia mampu memerintah raksasa yang jelas berkali-kali lipat lebih besar dari dirinya.
Edmund kini kembali pada ingatannya di rumah Profesor Digory. Ah, benar juga. Sejak kapan? Sebenarnya sejak kapan dirinya dipenuhi oleh bayang-bayang Janette?
Bukankah Edmund menyukai Evalyn? Tapi sejak kedatangan dua gadis ini, netra Edmund hanya menetap pada Janette bukannya Evalyn. Seakan ada cahaya besar menyinari Janette, membuatnya lebih mencolok ketimbang Evalyn.
Edmund mendekat. Mencoba meraih rambut Janette yang telah memanjang lebih dari punggungnya. Dia penasaran. Sejak kapan sebenarnya kepalanya penuh oleh Janette? Sejak dia dirumah Profesor Digory? Sejak mereka bertemu di Narnia? Atau ...
Sejak Edmund memandang Janette dibawah purnama saat itu?
"Yang manapun itu, kurasa aku akan baik-baik saja jika melihatmu." Gumamnya tanpa sadar. Lantas menggeleng akan keabsurdan kepalanya.
"Jane, sampai kapan kau membuatku menunggu? Kenapa kau membawa kita kesini?" Dia memilin helaian rambut merah Janette.
"Entahlah. Tanpa sadar tubuhku bergerak. Saat aku sadar, aku jadi bingung." Janette masih menenggelamkan wajahnya dalam telapak tangan kecilnya.
Sang empu terkekeh. Dia tiba-tiba ingat julukan Janette yang sempat dia dengar saat lewat diantara para raksasa. Edmund tidak menguping! Dia hanya mendengarnya tanpa sengaja.
Mereka bilang Janette adalah The Red Wolf Of Ettinsmore. Edmund kembali tertawa. "Julukanmu tidak cocok, Jane. Ketimbang Serigala Merah, kau lebih mirip kelinci merah."
Sontak Janette menengadah. Menatap tajam pada Edmund yang menyeringai. Wajah kesal Janette berubah menjadi takut. Mungkin Edmund benar. Dia adalah kelinci merah yang penakut.
Sialnya kelinci penakut ini sedang berhadapan dengan panter hitam. Ini buruk. Janette bisa melihat Edmund yang tengah berubah jadi binatang buas. Seakan ingin menyergapnya.
"Apa maumu?!"
Sang empu mengangkat sebelah alisnya. Seringainya telah memudar dan tatapannya berubah jadi sedikit lebih normal. Tapi kemudian dia kembali menyeringai. Hendak menggoda Janette.
"Apa yang kau pikirkan tentangku, Jane?"
Janette terdiam sejenak. Jika ditanya seperti itu dia hanya bisa menjawa satu hal. "Kau seperti sungai yang mengalir dengan lembut. Membawa siapapun yang jatuh padamu mengalir dengan ringan."
Edmund terdiam. Janette terkadang memang sangat puitis. Dia gemar mengatakan sesuatu yang rumit. Bahkan terkadang kalimat yang keluar dari mulutnya sulit dimengerti Edmund yang membenci sastra.
"Oh, dan apakah sungai itu membawa sesuatu saat dia mengalir?"
Janette mengangguk. "Sehelai daun jatuh padanya. Dan daun itu tidak punya pilihan lain selain mengikuti arus air. Dia ingin berenang ketepian. Tapi kelembutan sungai membuatnya nyaman dan tanpa sadar dia menetap disana. Membiarkan sungai mengalir membawanya entah kemana."
'Dan daun itu adalah aku.' Batin Janette, melanjutkan kalimatnya dalam kepalanya.
Lihat? Janette mulai lagi. Edmund tidak mengerti gadis ini membicarakan apa. Pertanyaan Edmund awalnya hanya apa yang gadis itu pikirkan. Kini melenceng menjadi daun dan sungai.
Edmund hanya mengangguk pelan. Dia memilih untuk berdiri dan menatap Aslan How. "Kurasa sudah saatnya kita kembali bersama Peter. Duelnya akan dimulai sebentar lagi."
•
•
•
TBC~
Aku nggak ingat ini adegan di filmnya tuh kek gimana. Udah lama gak nonton soalnya wkwk
______________________________________
11 Maret 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top