Bab 22
Enjoy
•
•
•
"Terlalu tenang." Lucy menyesap tehnya. Dia mengerling pada Susan dan Evalyn yang mengangguk di sebelah.
"Ini tidak menyenangkan. Padahal kita sudah menyiapkan camilan dan teh." Susan membalas. Menyimpan cangkir tehnya kesal hingga berbunyi dentingan keramik.
Evalyn mengangguk. "Apa yang terjadi pada Edmund dan Janette? Aku kan sudah berharap hari ini ada tontonan menarik."
Ketiganya kini menghela napas. Menatap cangkir dan camilan didepan mereka. Mereka kini tengah berpiknik dibelakang halaman. Menonton dua lelaki yang sibuk bermain baseball agak jauh disana.
Entah kenapa para lelaki itu hanya memainkan satu jenis permainan tiap tahunnya. Mungkin karena mereka terlalu malas main yang lain.
Janette? Sedang tidur di ranting pohon diatas mereka.
"Aku ingin Janette dan Edmund bertengkar! Kenapa mereka tenang sekali?" Lucy mengeluh suaranya dikecilkan sedikit, berharap Janette tak terbangun mendengarnya. Netra safirnya menatap kesal pada Edmund yang melempar bola.
"Ada yang tidak beres."
Dua Pevensie menatap Evalyn. Mereka juga merasakannya. Susan mengangguk. "Ada sesuatu diantara mereka."
Kini ketiganya menatap Janette yang sedang tidur di atas ranting pohon. "Anak itu terlalu barbar. Apa dia menyatakan perasaannya?" Evalyn yang bicara.
Tapi Lucy memilih untuk menatap Edmund. Di saat seperti ini kepalanya penuh dengan teori cinta. "Sepertinya ada kalimat jujur yang Edmund katakan pada Janette. Firasatku bilang begitu."
Susan dan Evalyn menatapnya kagum. "Seperti yang diduga, detektif cinta pasti tahu!" Susan memuji. "Tapi apa yang kira-kira dia katakan?"
Sang adik mengangkat bahu. "Entahlah. Sesuatu yang bisa membuat mereka berdamai."
Sang ginger menjentikkan jari. Rasanya seakan ada bohlam besar diatas kepalanya. "Edmund mungkin saja meminta untuk berteman!"
Susan menutup mulutnya kaget. "Ya ampun, itu masuk akal! Edmund terlalu bodoh untuk menyadari kalau dia suka pada Janette. Jadi mustahil dia menyatakan perasaannya."
Lucy bertepuk tangan girang. "Benar. Dan Janette terlalu rasional untuk mengatakannya. Maksudku dia anak yang selalu memperhitungkan segala sesuatu di dunia ini."
Yang lain mengangguk. Ini kabar baik. Pikir mereka masing-masing. Kapal mereka berjalan sesuai yang direncanakan. Bergerak lembut tapi pasti layaknya aliran sungai Beruna di musim panas.
Mereka terdiam. Sesekali menatap Edmund, sesekali menatap Janette. Di pikiran mereka masing-masing menanti bagaimana kapal menarik satu ini berjalan hingga mereka dewasa.
Tanpa sadar bahwa Janette sebenarnya tidak tidur. Gadis itu hanya menutup mata sambil membiarkan telinganya bekerja untuk mendengarkan percakapan tiga gadis dibawah sana.
Janette membuka sebelah matanya. 'Jadi begitu?' Batinnya tertarik. Dia mengerling pada Edmund yang mendapat giliran untuk memukul bola.
Dia mengulum bibir. Edmund menyukainya, katanya. Entah kenapa itu membuatnya agak ... Senang?
***
Kaki kecil tanpa alas kini melangkah diatas rerumputan. Dia sudah turun dari pohon. Tiga gadis yang tadi tengah piknik kini masuk ke rumah. Sedangkan dua lelaki yang bermain entah pergi ke mana.
Janette mengelilingi pohon, mencari sepatunya. Tadi dia sengaja menaruhnya dibawah pohon karena dia tidak bisa memanjat pohon dengan alas kaki.
"Oh, Vanessa! Dimana kau?" Panggilnya yang jelas saja sia-sia.
"Sepatu tidak mungkin menyahut dan bilang 'hey, aku disini', Jane."
Janette berbalik. Mendapati seringai Edmund dengan sepatu hijaunya yang cantik di sebelah tangan lelaki itu.
"Vanessa! Kenapa sepatuku ada padamu?" Seru Janette sembari hendak melangkah mendekat.
Tapi sang empu mengulurkan tangan. Meminta Janette berhenti. "Berhenti disana." Dia malah berjalan mendekat dan berjongkok dengan satu lutut.
Netra emerald melebar. Janette kini mendapati Edmund mengangkat sebelah kakinya dan memasukkannya kedalam sepatunya. Begitu hingga kedua kaki kecil Janette telah berada dalam sepatu hijau cantik itu.
Edmund menepuk tangannya, berusaha menghilangkan debu yang ada sambil berdiri. "Selesai. Sekarang anda bisa jalan dengan nyaman, Putri." Dia membungkukkan tubuhnya sedikit. Bertingkah layaknya seorang kesatria.
Janette mengulum bibir. Berusaha untuk tidak tertawa. Dia tidak pernah menyangka Edmund mau-mau saja bertingkah begini. Ada apa dengannya? Apa dia sadar dengan hal yang baru saja mereka lakukan?
"Ada apa? Apa ada sesuatu di wajahku?" Edmund menunjuk wajahnya sendiri.
Sang puan menggeleng. Memilih untuk berjalan menjauh darinya. 'Aku ingin teriak.' Batinnya sengsara tapi senang di saat bersamaan.
Keduanya tidak sadar ada tiga perempuan dengan satu lelaki yang mengintip dari balik jendela.
"Kau lihat itu tadi? Cubit aku." Lucy menganga melihatnya.
Susan yang berada disebelahnya mencubit pipinya keras. "Ini bukan mimpi, Lu. Kapal kita sepertinya mulai agresif."
"Aku meleleh." Gumam Evalyn sembari mengipasi wajahnya sendiri.
Adegan tadi memang benar-benar manis. Kalau adegan itu dilakukan oleh Peter, mungkin tidak akan terlalu berasa.
Tapi ini dilakukan oleh Edmund yang sangat mereka kenal sebagai seseorang yang tidak tertarik untuk bersentuhan dengan perempuan! Dan dia melakukannya tanpa ada paksaan orang lain!
"Edmund melakukannya! Dia memakaikan Jenette sepatu!" Heboh Susan. Dia menutup mulutnya sendiri tak percaya.
Sedangkan Peter nampak syok. "Aku tak percaya Edmund yang dingin kepada perempuan bisa..." Dia menggeleng.
"Dia adikku. Adikku itu harus agresif!" Pamer Susan. Dia membusungkan dada.
"Dia kakakku. Aku akan bilang dengan jelas kalau dia kakakku. Benar-benar, deh. Manis sekali!" Lucy beranjak dan memilih berguling di atas karpet.
Evalyn tertawa. "Lucy, kalau Madam Macready melihatmu, dia akan mengamuk."
Sontak Lucy berdiri dan mendudukkan diri di sofa. "Dugaan kita benar. Edmund menyukai Janette. Tapi sepertinya dia tidak sadar akan hal itu."
Yang lain mengangguk. Peter telah berhasil mengembalikkan kesadarannya kembali. Dia kini menatap Edmund yang menutup mulut dengan sebelah tangannya.
Netra safir melebar. Peter yakin dia melihat telinga Edmund memerah. Dia beralih pada tiga perempuan yang sedang fangirling.
"Hey, apa kapal kalian masih muat? Aku juga ingin ikut menjodohkan mereka."
Yang lain menyeringai. Akhirnya, awak kapal Edmund-Janette bertambah satu orang!
***
Mentari telah terbit di ufuk barat. Menyinari pagi mereka yang cerah. Hari keberangkatan telah tiba. Disinilah dua Charnie dan empat Pevensie tengah mengucapkan salam perpisahan.
Meski berpisah, tak ada satupun dari mereka yang menunjukkan raut sedih. Masing-masing yakin akan bertemu suatu saat lagi. Jadi mereka sebisa mungkin menciptakan kenangan yang menyenangkan sebelum berpisah.
"Aku akan merindukan kalian." Evalyn memeluk Susan erat.
Sedangkan Janette memeluk Lucy erat. "Kirim surat sering-sering. Aku akan sedih kalau kalian tidak melakukannya."
Yang lain mengangguk. Madam Macready telah menyiapkan kereta kuda untuk mereka. Barang-barang sudah ditaruh disana. Hanya tersisa empat Pevensie untuk naik dan mereka bisa segera berangkat.
Keempatnya melambai sebelum benar-benar naik keatas kereta kuda. Sedangkan dua Charnie menatap dengan tenang di depan pintu.
Mereka melambai ketika keempat Pevensie telah duduk dengan rapi diatas kereta kuda yang juga melambai kearah mereka. Bahkan keempatnya kembali melambai terus hingga kereta kuda menghilang di ujung jalan.
Janette menurunkan tangannya. Dia menyenggol lengan sang kakak. "Bagaimana kau dan Peter?"
Netra Evalyn masih menatap ujung jalan. "Baik. Kau dan Edmund?"
Keduanya kini bertatapan. Janette menggeleng. "Buruk. Setiap melihatnya jantungku serasa ingin copot. Rasanya aku berubah jadi es batu yang disimpan dibawah sinar terik matahari."
Evalyn mengangkat sebelah alisnya. "Meleleh?" Tebaknya
Tidak mungkin.
Sang adik mengangguk. "Tepat sekali." Dia kembali menatap jalan. "Bocah itu semakin kesini semakin bersinar. Syukurlah mereka pergi hari ini. Aku tidak akan bisa bertahan jika harus menatapnya setiap hari."
Rupanya dugaannya dan tiga Pevensie salah.
"Kalau Edmund muncul, rasanya dia adalah tokoh utamanya. Yang lain hanya figuran. Ckckck."
Ternyata Janette juga tidak sadar kalau dia menyukai Edmund.
***
3 tahun setelahnya.
"Sudah lengkap semua?" Evalyn menatap sang adik dengan kopernya.
Janette mengangguk. Menaikkan koper terakhir yang dia miliki keatas mobil. Keduanya sedang bersiap-siap untuk berangkat ke Prancis. Mereka mendapat surat dari ibu mereka. Kabarnya ayah mereka tengah sakit. Jadi mau tidak mau keduanya harus segera berangkat kesana.
Evalyn dan Janette telah bertambah tinggi sedikit ketimbang sebelumnya. Evalyn bahkan yakin rambutnya yang sepinggang itu bertambah panjang. Rambut Janette saja kini sudah mencpai punggungnya.
Kini keduanya beranjak mendekati Profesor Digory, Madam Macready, dan tiga pelayan yang mengantar kepergian mereka.
"Terima kasih telah merawat kami, Madam, Profesor." Evalyn membungkuk. Mengangkat gaunnya dengan anggun diikuti sang adik di sebelah.
"Kalian akan diantar oleh kepala desa, langsung menuju pelabuhan." Profesor Digory melambai pada kepala desa yang juga melambai di mobil sana.
Dua Charnie mengangguk. Melambai sedikit dan beranjak menaiki mobil. Evalyn bersumpah dia melihat Madam Macready mengusap ujung matanya. Sepertinya wanita itu diam-diam merasa sayang untuk berpisah.
Mobil bergerak meninggalkan area rumah sang Profesor. Berjalan menuju jalanan yang lebih rata. Hingga Janette merasakan ada yang aneh.
"Kau mendorongku?" Dia menatap sebal pada Evalyn. Sang kakak menatapnya tak percaya. "Kau yang mendorongku!"
Keduanya bertatapan. "Idiot! Ini sihir!" Mereka berpegangan tangan dan merasa sekitar mereka mulai berubah.
Dua pasang netra emerald melebar. Menatap sungai dan pohon-pohon rimbun didepan mereka. Janette menunduk melihat tempatnya duduk. Mereka duduk diatas sebuah batu besar.
"Kita di Narnia?"
"Sepertinya begitu!"
Sepatu cantik yang membalut kaki masing-masing dilepas. Dilempar entah kemana. Keduanya melompat turun, membiarkan kaki telanjang mereka berlari diatas tanah berbatu menuju sungai besar.
Air dingin nan jernih menyentuh kulit kaki mereka. Keduanya berjingkrak riang. Sesekali melemparkan air pada masing-masing.
Matahari nampak terik, tapi tertutupi oleh daun pohon yang rimbun. Evalyn menduga sekarang baru sekitar jam delapan pagi. Mereka bermain dengan semangat. Hingga Janette merasakan sesuatu dari ujung kakinya.
Netranya menatap jari-jari kaki yang terbenam oleh air yang jernih. "Ev? Apa kau merasakan sesuatu?"
Sang kakak mengernyit. Ikut menatap kakinya sendiri. Dia merasa ada sesuatu yang menyentuh kakinya. Seakan-akan memanggilnya.
"Kurasa. Seperti ada yang memanggil?" Netranya beralih menatap Janette yang mengangguk.
Evalyn beranjak. Memilih untuk mendudukkan diri di sebuah batu di pinggir sungai. Dia mengangkat jempolnya. "Lakukanlah, Jane. Panggil mereka."
Janette menatapnya datar. "Kenapa aku?"
Evalyn mengangkat bahu. "Karena kau ahli dalam sihir air dan angin? Aku kan spesialis api dan tumbuhan."
Sang adik memutar bola matanya malas. Dia menghela napas. Mulai menunduk dan mengulurkan tangan, menyentuh permukaan air. Netra emeraldnya ditutup. Ia mencoba untuk mengalirkan sihir melalui jemarinya.
Air nampak mulai beriak. Diiringi getaran kecil di tanah sekitar sungai. Evalyn menatap takjub pada air yang mulai bergerak, membentuk sebuah tubuh perempuan.
Janette menegakkan tubuhnya. Menatap wanita didepan dengan senyum yang menunjukkan gigi taring yang mengkilap. Dia adalah naiad.
"Ratu!"
Itu adalah bahasa kuno Narnia. Sudah lama sekali keduanya tak mendengarnya. Mereka merasa agak asing dengan bahasa itu.
"Halo. Apa yang sebenarnya terjadi pada kalian?" Janette bertanya penasaran.
Sang naiad nampak sendu. "Kami melihat banyak pohon yang ditebang. Teman-teman kami ditarik untuk di bunuh. Karena itu, mau tidak mau kami harus bersembunyi. Tapi kami bersembunyi terlalu dalam hingga lupa bagaimana cara untuk kembali.
"Syukurlah Ratu muncul. Kami bisa merasakan kekuatan Ratu dan mencoba untuk memanggil kalian." Sang naiad menjelaskan. Sesekali menatap Evalyn, sesekali pada Janette.
Evalyn mengangguk. Dia mendekati keduanya dan menujuk aliran sungai bergerak. "Dari mana dan kearah mana sungai ini pergi?"
"Dari muara Cair Paravel hingga sungai tiga arah di Ettinsmore, Ratu."
Dua ginger mengangguk. Keduanya bertatapan. "Mau ke Cair Paravel?" Evalyn bertanya menggunakan bahasa inggris seperti biasa.
Sang adik menggeleng. "Tidak. Kita tidak boleh membuang waktu untuk kesana. Kita harus mengabarkan pasukan di Ettinsmore untuk segera bersiap. Memindahkan ratusan tentara raksasa itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Kau tahu, mereka lambat."
Dia terdiam sejenak lantas melanjutkan. "Lalu kita juga harus bertanya tentang situasi. Aku sudah menempatkan beberapa pasukan yang harusnya bisa mengontrol bagaimana keadaan di perbatasan Ettinsmore dan Narnia. Harusnya mereka lebih tahu ketimbang kita."
Evalyn mengangguk. "Kalau begitu, tujuan kita Ettinsmore, lalu bergerak menuju Dancing Lawn? Itu wilayah yang paling dekat dengan sungai Beruna."
Janette mengangguk mengiyakan. Dia kini menatap sang naiad. "Apa ada cara cepat menuju Ettinsmore tanpa berkuda sehari semalam?"
Sang naiad nampak terdiam. Lantas mengangguk. "Saya tahu satu cara. Tapi pertama-tama kalian harus berdiri di tengah sungai."
Keduanya kini menatap sungai. Sungai ini cukup besar. Air di pinggirnya memang rendah, tapi tengahnya cukup dalam. Jadi jika mereka menuju tengah sungai, jangankan berdiri, yang ada keduanya malah akan tenggelam.
"Kau bisa berenang?" Evalyn bertanya. Janette menggeleng. "Tidak ada pelatihan renang seumur hidup kita."
Mereka menghela napas. Lantas menatap sang naiad. "Apa tidak ada cara lain? Kami tidak bisa berenang."
Sang naiad kini menjentikkan jemarinya. Dia meletus layaknya balon air dan menghilang. Air sungai kembali beriak. Bergerak menarik Janette dan Evalyn untuk tenggelam kedalam sungai.
Evalyn mengutuk naiad yang sangat serampangan memperlakukan mereka. Hingga kepala dan setengah tubuhnya naik ke atas permukaan air. Dia bisa melihat Janette dengan kondisi sama. Namun alih-alih ekspresi takut yang terpasang diwajahnya, dia malah nampak semangat.
Keduanya bertatapan. Hingga air lagi-lagi bergerak kencang menuju arus sungai.
"YEAAAAAAY!!!!!" Teriak Janette semangat.
Evalyn menggeleng. "HARUSNYA KITA TELEPORTASI SAJA!"
Kenapa otaknya terlambat bekerja?!
•
•
•
TBC~
Iyeay! Dua Charnie dah sampe di Narnia! Bentar lagi end nih wkwk. Kedepannya bakal banyak love story nya.
Harap untuk mempersiapkan hati. Karena Arrah nggak terlalu bisa bikin romance wkwk
See yaa~ makasih buat yang Masih mau stay!
______________________________________
1 Maret 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top