Bab 21
Enjoy
•
•
•
Lucy menyeringai saat menatap buku dongengnya. Dia melirik pada Susan dan Peter yang tengah duduk diam dan sibuk masing-masing.
Edmund sedang tidur siang. Lelaki itu memang terkadang akan memilih untuk tidur siang. Evalyn dan Janette sedang sibuk membantu Ivy memasak daging dan menggiling gandum di belakang untuk makan malam mereka.
"Tidakkah ini menarik?"
Susan melirik sebentar tapi kembali menatap buku bahasa latinnya. "Apanya? Buku dongengmu atau kisah cinta yang kau pikirkan dalam kepalamu?" Katanya tak tertarik.
Lucy tertawa geli. "Tentu saja mereka! Dua pasangan yang saling mendamba dalam diam. Dan dua pasangan yang nampak saling membenci."
Peter terdiam. Masih berusaha untuk pura-pura sibuk dengan pekerjaan rumah yang diberikan profesor dari sekolahnya. Padahal kepalanya sedang sibuk menerka-nerka siapa yang Lucy maksud.
Susan mengangkat sebelah alisnya, dia kini penasaran. Dia tahu dua pasangan yang saling mendamba itu adalah Peter dan Evalyn. Jelas sekali dari tatapan mata mereka dan tingkah laku masing-masing. Tapi dua yang lainnya itu siapa?
"Peter dan Evalyn, juga Edmund dan Janette. Sempurna sekali, bukan?" Wajah Lucy berseri-seri seakan-akan telah menemukan seember berlian dalam toilet kamarnya.
"Edmund dan Janette saling membenci?" Susan menatap kaget.
Sang adik bungsu menahan tawa. Dia melambaikan tangannya. "Itu hanya kelakuan mereka. Aslinya dua bocah itu saling suka."
Peter sontak menutup bukunya. Bukankah ini berita bagus? Itu artinya dia sudah tidak bersaing dengan adiknya lagi, kan? Dengan kata lain, mendapatkan hati Evalyn bisa lebih mudah karena tidak ada saingan!
"Edmund menyukai Janette?" Tanyanya mencoba untuk memastikan.
Lucy mengangguk pasti. "Tapi aku ragu dia tahu akan hal itu. Kalian tahu, Edmund agak lambat untuk sadar akan perasaannya sendiri."
Peter mengangkat bahu. "Kalau tidak tahu, kita hanya perlu memberi tahu."
Sang adik bungsu menggeleng tak setuju. "Ide buruk."
Susan mengangguk ikut menyetujui. "Biarkan kisah cintanya mengalir seperti air mengalir tanpa campur tangan kita. Justru kau yang harus mengurusi hubunganmu dengan Evalyn."
Peter menghela napas. Dia mengingat saat dia berdansa dengan Evalyn dua malam lalu.
***
Jantung keduanya berdetak kencang. Musik telah berhenti cukup lama. Tapi keduanya masih sibuk menatap mata masing-masing.
Tak ada yang mau beranjak barang sesenti. Baik Evalyn maupun Peter telah larut dalam suasana yang mereka tak pernah rasakan sebelumnya. Bahkan Peter saat bersama Eva dulu.
"Apa kau pernah mencintai seseorang?" Evalyn tiba-tiba bertanya. Wajahnya nampak sendu. Seakan telah larut dalam kesedihan.
"Pernah. Cintaku terbalas cukup terlambat. Dia pergi sebelum kami bisa membuat kenangan bersama lebih banyak. Kau sendiri?"
"Aku mencintai seseorang yang telah lama jatuh hati pada orang lain."
Setelahnya Evalyn berbalik dan melangkah pelan menuju tangga. "Selamat malam. Semoga mimpimu indah."
Dia lantas melangkah cepat menaiki tangga dan menghilang dibalik sana. Meninggalkan Peter yang menatap bingung padanya.
Apa maksudnya? Cintanya bertepuk sebelah tangan, begitu? Evalyn menyukai orang lain? Siapa? Edmund? Atau orang lain di Narnia? Kalau itu, bukankah artinya Peter kalah bahkan sebelum perang?
***
Peter menghela napas. Setiap mengingatnya tubuhnya langsung jadi lelah, lesu, seakan-akan dia kurang darah. Parahnya Evalyn selalu bertingkah seolah menghindarinya.
Lucy menggeleng prihatin. Dia juga menyadari kapalnya yang satu ini nampak telah rusak dan harus diperbaiki. Semoga saja belum karam. Kalau karam, Lucy jadi sulit melakukan sesuatu.
"Apa yang terjadi diantara kalian?"
Peter menggeleng. "Sesuatu yang anak kecil tak perlu pahami. Aku akan mengurusnya sendiri."
Lucy memutar kedua bola matanya. Dia menatap Susan, meminta bantuan. Dia dan Susan kini memang jadi satu tim untuk menyatukan pasangan ini.
"Peter, ingat terakhir kali percintaanmu dengan Eva? Lucy yang mengurus sampai Eva bisa membalas cintamu. Tanpa Lucy, Eva tidak akan pernah melirikmu."
Peter menatap Susan. Adiknya yang satu ini benar. Dan dia tidak akan pernah bisa mengelaknya. Dia hanya menghela napas dam mengambil semua buku-bukunya.
"Beri aku waktu. Sampai jumpa makan malam nanti."
***
Edmund terbangun dengan segar. Tidurnya akhir-akhir ini terasa menyenangkan. Dia bahkan beberapa kali mimpi indah. Walau saat bangun dia tidak akan mengingatnya. Yang jelas perasaannya saat bangun selalu terasa baik.
Dia yakin ini karena Janette. Gadis itu entah bagaimana, mungkin dia sudah menyihir Edmund. Menghilangkan kekhawatiran dan menghentikan otak yang tak hentinya berpikir.
Jadwal Edmund telah berubah. Dari yang begadang hingga tengah malam baru tidur, berubah menjadi tidur dua jam setelah makan malam. Sangat menyehatkan.
"Sihir Janette bekerja dengan baik. Aku harus berterima kasih kapan-kapan." Gumamnya sambil berjalan menuju dapur. Mengintip perempuan yang baru selesai memasak untuk makan malam.
Edmund menatap Janette yang sedang mengelap meja. Sesekali gadis itu akan mengelap keringat di pelipisnya dengan tangan. Dia tidak mendapati Evalyn. Mungkin sibuk dibelakang sana mengurus oven atau entahlah. Edmund tak yakin.
Janette berbalik. Menatap Ivy yang mencuci piring. "Ivy, apa hanya steak yang kita sajikan?"
Sang pelayan mengangguk. "Madam Macready bilang cukup steak saja. Apa ada yang kau inginkan untuk makan malam?"
Janette mengangguk. "Aku mau cheesecake sebagai camilan. Tidak akan terlambat untuk membuatnya, kan?"
Ivy menggeleng. "Memang tidak. Tapi susu sudah habis membuat pie pagi tadi. Kiriman susu baru akan tiba besok."
Janette nampak kecewa. "Baiklah. Aku bisa makan yang lain sebagai camilan."
Edmund menutup mulutnya menahan tawa. Itu sudah menjadi pekerjaannya sejak dia tiba disini beberapa hari lalu.
Dia merasa Janette cukup menarik akhir-akhir ini dan memutuskan untuk menontonnya sesekali seperti sekarang. Rupanya itu cukup untuk menghibur.
Kini Edmund berbalik mendapati Susan dan Lucy yang nampak menggeleng tak percaya. "Ckckck. Kau menguntit orang." Lucy yang bicara.
Edmund meneguk ludah. Kali ini dia benar-benar nampak seperti orang yang ditangkap basah mencuri sesuatu. "Tidak. Aku bukan menguntit, maksudku–"
"Oh, apa yang kalian lakukan di depan dapur?" Evalyn datang dengan keranjang baju. Rupanya dia habis mengambil pakaian kering dari jemuran di halaman belakang.
"Hai, Ev. Kami sedang menonton tikus yang menonton keju." Susan menyeringai menatap Lucy yang menahan tawa.
Perkataan Susan jelas sekali. Tikus adalah Edmund dan keju adalah Janette. Evalyn mengangguk paham. Dia tertawa geli sambil kembali membawa keranjang pakaiannya.
"Aku duluan. Katakan pada tikus itu untuk hati-hati karena keju yang dia tonton itu bisa melihat dan berjalan."
Dua gadis lain tertawa makin keras. Sedangkan Edmund menatap bingung. Tawa mereka mengundang Janette untuk keluar.
"Kalian kenapa disitu? Cepat sana siap-siap sebelum makan malam." Katanya mendorong Edmund.
Edmund yang masih bingung hanya mengangguk dan menarik dua saudarinya pergi ke kamar untuk siap-siap sebelum makan malam.
***
Peter duduk dalam diam. Profesor Digory menatapnya penasaran. Bingung pada anak yang biasanya duduk tegak dan berwibawa sambil makan, kini nampak telah kehilangan selera untuk hidup.
"Apa makanannya tidak enak, Pete?"
Peter sontak menegakkan punggungnya dan tersenyum pada sang profesor. "Enak, sir. Aku hanya melamun sedikit tadi."
Janette meliriknya. "Syukurlah. Seseorang membuatnya dengan penuh cinta." Dia mengerling kearah Evalyn yang makan dengan tenang. Tak terganggu sedikitpun dengan kalimat Janette.
Makan malam mereka kali ini adalah steak sapi yang dibuat khusus dengan bumbu milik Telmar, yang tentunya biasa ditemukan di daerah mereka saat ini. Evalyn dan Janette paling handal membuatnya karena telah terbiasa membuatkannya untuk Ratu.
Medavita adalah orang dengan lidah sensitif. Wanita itu cukup pemilih dalam hal makanan. Karena itu Evalyn dan Janette yang selalu mengurus makanannya. Disitulah mereka bisa membuat steak yang dibuat dengan banyak rempah-rempah.
Kini Profesor Digory melirik Evalyn. Lantas dia kembali melirik Peter. Saat itu dia tahu, ada yang tidak beres dengan dua anak ini. Jadi dia memutuskan untuk turun tangan sedikit.
"Kalian akan berangkat beberapa hari lagi. Bagaimana persiapan kalian?" Dia melihat kearah empat Pevensie.
"Sudah, Sir. Aku sudah merapikan beberapa barang yang tidak akan kusentuh lagi." Susan yang menjawab setelah dia menurunkan garpu dan pisaunya.
"Aku juga." Edmund dan Lucy menjawab bersamaan.
Kini Profesor Digory menatap kearah Peter. Wajah remaja satu itu nampak ragu. "Kami dapat surat dari ibu, Sir. Katanya tahun depan kami tidak perlu kembali kesini. London sudah cukup aman."
Profesor Digory tersenyum. Dia mengangguk. "Syukurlah kalian bisa kembali bertemu dengan kedua orang tua kalian. Itu kabar yang baik. Meski aku cukup sedih karena kita akan berpisah."
Evalyn menyimpan garpu dan pisaunya. "Kalau begitu, kalian harus memasukkan 'menulis surat pada kami' dalam kegiatan sehari-hari kalian."
Susan tertawa. "Pasti. Aku akan menuliskan surat setiap hari." Diikuti anggukan dari Lucy dan yang lainnya.
***
Evalyn menatap lemari didepannya. Lemari itu telah lama pudar. Cahaya keemasan dan biru yang dulu bertebaran disekelilingnya telah meredup. Tanda bahwa lemari itu tak bisa digunakan lagi.
Ini sudah tengah malam. Sejak makan malam tadi dia memilih menyendiri ruang kosong ini bersama lemari didepannya.
"Aku jadi merindukan Rabbit."
"Siapa Rabbit?"
Tanpa berbalik Evalyn tahu. Itu suara Peter. "Kucingku dan Janette dulu. Dia ada disini untuk kembali ke Narnia. Sekarang dia sudah di Narnia. Sepertinya hidup dengan baik."
Sang empu duduk disebelahnya. Cukup jauh seakan memberikan jarak. Mereka terdiam sejenak. Sesekali angin malam akan masuk melalui jendela yang sengaja Evalyn buka.
"Aku akan pergi." Peter mengerling. Menatap sang puan yang nampak bergeming disana.
"Kita tidak akan bertemu lagi?" Evalyn masih menatap lemari itu. Seakan-akan lemari itu sangatlah menarik untuk ditatap.
"Aku akan menulis surat."
Evalyn sontak menatapnya. Wajahnya nampak serius tapi Peter bisa melihat rasa sedih disana. "Orang yang kau sukai, Eva, kan? Apa kau masih menyukainya?"
Peter tersenyum. Dia mendekatkan dirinya dan meraih beberapa helai rambut Evalyn. "Kalau kubilang perasaanku berubah kepadamu?" Helaian rambut itu dipilin dan dimainkan sejenak.
Sang puan nampak kaget. Tapi segera mengalihkan pandangan. "Janette bilang Aslan berjanji padanya kalau kita akan kembali ke Narnia sesegera mungkin."
Evalyn kini mengerling. "Saat disana, ada yang akan kukatakan padamu. Jadi bersiaplah."
***
"Ingat malam itu? Disana." Jemarinya menunjuk jendela kecil pada rumah Profesor Digory di pojok lantai dua.
Sang empu menatap pada apa yang Janette tunjuk. Dia jelas mengingat. Malam terakhir saat dia dan tiga saudaranya yang lain akan kembali bersekolah.
"Tentu saja ingat. Saat itu kau menangis. Dan aku harus bersusah payah untuk menenangkanmu." Katanya terkekeh.
Janette tertawa. "Benar. Saat itu jiwaku masih terlalu muda. Jadi sulit untuk menahan emosi yang tiba-tiba muncul."
Keduanya tengah berada di halaman belakang. Mereka keluar melalui pintu depan yang memang tak pernah dikunci. Toh, wilayah ini cukup aman. Selama bertahun-tahun tak dikunci pun tak ada yang mau masuk untuk mencuri.
Edmund menatap Janette. "Jadi sekarang kau tidak sedih?"
Sang puan menggeleng. "Bukan tidak sedih. Aku sedih. Hanya saja berpisah bukan berarti tidak akan bertemu selamanya, kan?"
Edmund terdiam. Menatap wajah samping Janette. Sekarang memang bukan bulan purnama lagi. Tapi cahaya rembulan masih sanggup menerangi wajah Janette yang manis.
Malam ini Edmund sengaja mengajak Janette ke halaman meskipun dia sendiri sudah mengantuk.
Kini Edmund tiba-tiba teringat dengan Eva. Hari itu di Narnia juga seperti ini. Dia akan menatap sang puan dibawah sinar bulan setiap malam.
Hanya saja sekarang berbeda. Tempatnya, waktunya, bahkan sampai orangnya. Tapi kenapa dia merasa perasaan yang sama? Tenang dan menyenangkan.
"Kapan kalian berangkat?" Janette tiba-tiba bertanya.
"Lusa." Edmund menjawab pendek. Matanya masih sibuk menatap bulu mata lentik milik sang puan.
"Begitu. Omong-omong aku penasaran. Apa kau selalu seperti itu pada perempuan?"
Edmund yang ditanya nampak bingung. "Seperti itu apanya?"
"Menatap perempuan seperti itu. Mengikutinya seolah-olah kau adalah anak ayam." Janette mengerling. Menatap polos pada Edmund yang kini tersentak kecil.
Sang empu terdiam sejenak. Dia mengusap tengkuk lehernya. "Tidak. Entahlah." Dia terdiam sejenak dan menurunkan tangannya. Memainkan jemari sembari sesekali melirik pada Janette.
"Em... Kurasa, kurasa itu hanya berlaku untukmu."
•
•
•
TBC~
Yeap. Karena sakit aku jadi gak update. Sekarang aku double update..
Btw keknya kedepannya aku mau ambil yg versi filmnya deh. Soalnya kan di film umur mereka lebih tua dari yg di novel.
Klo di novel kan cuma 1 tahun buat kembali ke narnia. Klo di film smpe 3 tahun. Jadi keknya lebih baik ambil yg film biar love story nya jalan wkwk.
Moga klen suka~ aaaaand makasih dah mau baca! Luv ya all~~
______________________________________
22 Februari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top