Bab 2
Enjoy
•
•
•
Jin adalah ras yang gemar melanggar. Segala bentuk hukum dan aturan, jika bosan para jin akan mencoba melanggarnya.
Terserah apa konsekuensinya, itu urusan belakang. Yang penting rasa bosan bisa menghilang segera mungkin.
Seperti ibu dari dua anak ini. Benar. Alasan mereka bisa bergerak di dunia yang waktunya berhenti adalah karena dia melanggar hukum waktu.
Dia mengubah waktu tubuhnya dan dua anaknya agar bisa bergerak dalam dunia yang waktunya terhenti ini.
Ia melakukannya bukan karena bosan. Tapi karena ingin berbicara pada dua putrinya lantaran waktu mereka tak akan cukup lagi.
Dua putrinya ini akan di kirim pada Profesor Digory untuk membantu pak tua itu dalam penelitiannya. Setidaknya itu yang Digory katakan dalam surat.
Karena itu, demi menghemat waktu, mumpung waktu di dunia ini juga berhenti, dia rela menerima konsekuensi apapun agar bisa bicara dengan para putrinya.
Ditatapnya dua gadis yang sibuk merapikan gaun masing-masing. Putri-putrinya ini benar-benar manis. Pipi gembil yang agak merah, netra emerald seindah permata, hidung mancung yang kecil dan bibir yang mungil.
‘Kalian adalah harta berhargaku.’ Batinnya sendu.
"Tunggu dulu. Kenapa nenek Cilica bisa meninggal?"
Akhirnya pertanyaan yang dari tadi dikepala disalurkan oleh si bungsu. Nampak sang ibu terdiam sebentar.
"Jin bisa memilih hidup dalam sumpah. Sekali bersumpah, sumpah itu harus terlaksana. Nenek Cilica sudah bersumpah untuk hidup demi Eva."
Netra keduanya melebar. Jadi alasan nenek mereka tetap hidup bahkan setelah kakek mereka tiada, itu semua karena sumpahnya pada Eva?
"Untuk apa sebenarnya nenek melakukan itu?"
Jelas sekali raut penasaran pada wajah Janette. Lantas sang ibu meraih kalung yang masih tergantung indah di leher putri sulung, lalu beralih menatap si bungsu.
Netra anaknya melebar seolah tahu apa yang ingin dilakukan ibunya. "Aku tidak mau, bu! Itu menyakitkan. Aku takut! Lagipula aku kan baru sembilan tahun!"
Janette menutup mata dan berjongkok. Memeluk dirinya sendiri berharap itu bisa menghentikan ibunya.
"Jane, jika kau mau mengetahui alasan nenek melakukannya, kau harus mengikuti proses pewarisan ingatan."
Kini Evalyn menatap ibunya heran. "Ibu, kenapa aku mendapat ingatan Eva? Bukan nenek?"
Netra emerald dan biru mereka bersirobok. Sang ibu menghela napas lelah. "Sihir besar jika dilakukan berlebihan, memiliki konsekuensi yang cukup berat."
Ibunya mengangkat kalung yang masih dipegang.
"Misalkan saja kalung ini. Kalung ini berisi sihir untuk memberikan ingatan pada orang lain.
"Hanya satu orang yang boleh diberikan ingatan dan memberikan ingatan. Konsekuensinya jika dilanggar adalah menjadi gila. Ingatannya akan tercampur aduk dan kewarasannya menghilang."
Keheningan menyusup cukup lama. Membuat sang ibu kembali menatap putri bungsunya.
"Apa kau setakut itu?"
Janette tak menjawab, tak juga mengangguk. Lantas sang ibu kembali menghela napas pelan. "Ya sudah. Percuma saja jika kau tidak mau."
Ia hendak beranjak kembali ke kereta kuda. Tapi berhenti kala gaun bawahnya ditarik.
"Aku.... Walau ragu, tapi biarkan aku mencoba, bu."
***
Kini dua putri ginger tengah duduk menyesap teh di sofa. Mereka telah tiba di rumah Profesor Digory sejak tadi. Juga waktu telah berjalan kembali cukup lama.
Kini Evalyn melihat raut wajah sang adik. Cukup banyak yang berubah. Padahal saat pewarisan ingatan, adiknya ini begitu tertekan. Tapi sekarang, lihat saja dia malah terlihat begitu bahagia.
"Apa ingatan nenek sebegitu indahnya?"
Janette tersenyum lebar. Menampilkan gigi taringnya yang manis. "Tidak juga. Tapi seru!"
"Ceritakan!"
***
Langit kelam dengan mentari besar berwarna merah. Pemandangan yang tak berubah meski umurnya telah genap enam belas tahun.
Hari ini adalah hari pengangkatan kakaknya, Eva. Harusnya dia berada di aula istana dengan gaun berkilau dan emas permata menghiasi tubuh. Tapi kini dia ada di kamar sang ibu. Tadi sebelum acara, sang ibu memanggilnya untuk bicara.
"Cilica, ibu melihatnya!"
Bahasa asli bangsa jin digunakan. Nampaknya sang ibunda tak ingin ada yang tahu tentang percakapan mereka. Meski hanya ada mereka berdua disini.
Kalau dilihat, ibunya nampak seperti orang gila. Rambut acak-acakan, tubuh bergetar, raut yang tanpa keriput itu terlihat begitu pucat.
Namun Cilica tidaklah kaget maupun takut. Wajahnya nampak tenang. Pengendalian ekspresinya benar-benar luar biasa. Seperti aktor papan atas di bumi.
"Bolehkah ibunda menjelaskan apa yang baru saja ibunda bicarakan?"
Ibunya nampak berjalan bolak-balik gelisah. Raut yang biasanya diatur normal kini nampak benar-benar buruk.
"Charn sebentar lagi akan berakhir! Jadis... Anak itu! Harusnya aku membakar buku itu sebelum dia menemukannya."
Kepala Cilica benar-benar tidak mengerti sekarang. Apa maksudnya? Kenapa dengan Jadis? Bagaimana Charn yang damai bisa berakhir? Buku apa?
Meski begitu, raut tenang masih menguasai wajah. Menunggu sang ibu menjelaskan semuanya.
"Masa depan benar-benar buruk. Jadis, dia menggunakan Kata Kemalangan! Kita semua akan mati!"
Jemari kurus ibunya meremas rambutnya sendiri. Sang ibu berjongkok seolah benar-benar ketakutan.
Ibunya adalah jin murni tanpa ada campuran ras lain. Diantara kekuatan terkuat jin murni adalah mengendalikan waktu dan melihat masa depan.
Ibunya mampu melihat masa depan terjauh yang pernah ada. Sayangnya, jika digunakan berlebihan akan memberikan konsekuensi yang berat.
Untuk kasus ibunya adalah kegelisahan yang berlebihan. Karena itulah sekarang yang harusnya menjadi waktu tercantik sang ibu sembari melambai pada para raja dan rakyat, kini digunakan meringkuk di pojok ruangan.
"Kita semua akan berakhir! Kau.. kau harus pergi, selamatkan Eva! Charn tidak akan berakhir jika kau bisa menemukannya! Benar. Penyihir itu! Singa itu pasti bisa melakukan sesuatu."
Ia melepaskan anting yang selalu terpasang di telinga kiri. Memasangkannya pada telinga Cilica.
"Pergi! Ucapkan Hutan antara dunia-dunia lalu carilah penyihir itu disana! Minta pertolongannya. Bantulah Eva!"
Kini alis Cilica mengernyit. "Kenapa saya harus melakukan itu? Maksud saya, saya bahkan tak kenal siapa Aslan."
Labium pucat sang ibu gemetar. "Aslan. Dia, aku tak yakin. Yang jelas dia memiliki sihir yang luar biasa melebihi bangsa jin asli! Cari dia! Dia berwujud singa. Pergilah sekarang!"
Meski punya segudang pertanyaan, Cilica menyimpannya dalam kepala. Ia mengucapkan hutan antara dunia-dunia. Dan menghilang dari pandangan sang ibu.
"Hiks.... Charn... Charn sudah berakhir."
***
Hal yang paling pertama ia rasakan adalah dingin. Tubuhnya terasa ringan seolah melayang.
Lantas ia membuka mata mendapati dirinya berada dalam air. Anehnya ia tidak basah, tidak juga tenggelam. Rasanya seperti terbang.
Lantas bergerak, meraih permukaan air. Mencoba berdiri, dan baru sadar kalau air itu bahkan tak mencapai mata kakinya.
Ia mengedarkan pandangan. Hanya ada pohon dan rumput sejauh mata memandang. Tinggi badannya tak sampai dua meter, tapi dia masih bisa melihat bahwa pohon-pohon itu tinggi menjulang.
Lantas kakinya melangkah pelan mencari sesuatu yang terlupakan. Entahlah ia lupa siapa dirinya. Hanya satu yang terngiang-ngiang di kepala. Aslan.
Mencari dan mencari, tapi tetap tidak bisa ia temukan dimanapun. Hutan ini begitu luas dan hanya dipenuhi oleh tanaman hijau. Udaranya sejuk dan menenangkan.
Karena sudah terlampau bingung, ia pun mendudukkan diri dibawah pohon. Menikmati indahnya hari yang sepertinya tidak akan hilang ini.
Tak begitu lama hingga suara kecipak air berbunyi, ia masih menutup mata. Paling bukan sesuatu yang penting.
Tapi suara air kembali berbunyi. Kini ada suara orang lain disana.
"Kau siapa?" Suara pertama bertanya dengan heran.
"Aku? Entahlah. Tapi yang jelas aku sudah ada disini cukup lama."
Netra biru terbuka. Tidak ada orang saat ia disini. Bagaimana mungkin tiba-tiba ada orang yang bilang kalau dia tinggal cukup lama?
Lantas ia mengedarkan pandangan dengan malas. Mendapati dua orang yang sedang bicara. Mereka seolah menyadari sesuatu.
"Oh! Kau.. kau adalah Digory! Dan aku adalah Polly!"
Nampak gadis kecil berseru pada anak lelaki didepannya. Lantas ia mengernyit. Nama apa itu? Polly, Digory... Aneh.
Tak begitu lama dua anak itu melompati masuk salah satu kolam dan menghilang. Karena penasaran, dia juga ikut memasuki salah satu kolam. Iya. Dia tertarik masuk kedalamnya.
***
"Apa?! Nenek hilang ingatan? Bagaimana bisa?"
Evalyn berseru menghentikan cerita Janette. Sang adik mengangguk mantap.
"Hutan antara dunia-dunia adalah hutan magis. Didalamnya terdapat sihir yang sangat kuat. Dan sihir itu bisa membuat nyaman serta merasa seolah kita ada dirumah."
Alis sang kakak mengernyit, masih bingung. "Lalu?"
"Ya, sihir itu bisa menghapus ingatan. Tergantung sih seberapa lama kita berada disana. Itu yang aku tahu dari pemikiran nenek."
Evalyn mengangguk mengerti. "Nah, terus nenek bagaimana? Apa yang terjadi setelahnya?"
"Ya begitu. Nenek Cilica pergi ke bumi dan bertemu kakek. Mereka saling jatuh cinta disini."
Netra sang adik menyendu. Berbeda dengan netra kakaknya yang menyipit. Terlihat jelas bahwa dia sedang memikirkan sesuatu. "Apa ingatan nenek tidak kembali?"
Dibalas anggukan pelan, sang adik kembali bicara. "Butuh waktu yang cukup lama bagi nenek untuk ingat tentang Charn karena terlalu lama tinggal di Hutan Antara dunia-dunia."
"EVA!"
Lantas percakapan keduanya terhenti kala melihat dua lelaki dengan setelan jas dan dua perempuan dengan gaun yang indah. Sekali lihat, Evalyn sudah tahu. Mereka adalah para raja dan ratu Narnia.
Tapi kenapa mereka ada disini? Entahlah. Itu bisa terjawab jika Evalyn memperhatikan sedikit lebih lama.
Karenanya dia menepuk sedikit paha adiknya, memberi tahu untuk memberi salam. Mereka berdiri disebelah meja, tepat menghadap pada para Pevensie.
Netra emerald Evalyn beradu dengan netra biru Peter. Bisa Evalyn lihat lelaki itu tersentak. Nampak binar sendu pada matanya.
'Aku tahu kau merindukan Eva, Sir. Tapi aku bukanlah Eva.'
Berbeda dengan Evalyn, Janette menatap Peter agak lama.
'Astaga. Tekanan macam apa ini? Ibu bahkan kalah menakutkannya.' batinnya takut-takut.
"Salam pada para raja dan ratu Narnia."
Lantas Janette mengerjap sedikit, ikut membungkuk seperti Evalyn dengan kikuk. "S-salam pada para raja dan ratu N-narnia?"
Nampak netra keempat orang itu melebar. Tentu saja mereka pasti terkejut.
Cerita tentang mereka yang menjadi raja dan ratu Narnia harusnya tidak bisa sampai ke telinga mereka. Karena para Pevensie yakin bahwa profesor Digory tidak mungkin menceritakannya pada dua gadis ini.
"Saya Evalyn Agatha De Charnie. Disebelah saya adalah adik saya, Janette Arabella De Charnie."
Mereka menunduk cukup lama. Jika sesuai ingatan Eva, dalam tata krama Narnia, mereka baru boleh mengangkat tubuh jika para raja dan ratu mengangguk atau mempersilahkan mereka kembali berdiri.
Hingga Peter berdehem. "Kau ini bicara apa?"
Lantas Evalyn memasang senyum simpul. Lelaki di depannya tak pandai berbohong. Memang tipikal raja jujur dan baik hati. Meski dia pura-pura tidak tahu, tapi karisma yang ia miliki tak bisa disembunyikan.
Terbukti dari tatapan mata dan postur tubuhnya, juga dengan postur tubuh ketiga saudaranya. Benar-benar mencerminkan manusia yang bermartabat.
Kini mereka diam menatap satu sama lain. Hingga Peter lebih dulu duduk dan diikuti tiga adiknya.
Lantas menunjuk sofa tempat dua gadis ginger ini duduk. Seolah memerintahkan mereka kembali duduk.
Tuh, kan. Perilaku Peter benar-benar menunjukkan bahwa dia adalah penguasa.
Senyum Evalyn melebar. Kini menampilkan lesung pipi yang dalam. Lantas membungkuk sedikit dan kembali duduk di sofa diikuti sang adik.
Mereka terdiam kembali. Entahlah, ini cukup canggung untuk Janette. Pasalnya yang dia tahu keempat orang didepan ini adalah raja dan ratu Narnia. Dan itu membuatnya... Gugup.
Dengan senyum canggung, Susan bicara. "Aku Susan Pevensie. Lelaki rambut emas adalah Peter. Yang rambut hitam Edmund. Lalu gadis kecil itu Lucy."
Keempatnya jelas sekali memasang raut waspada. Apalagi ada Janette, wajahnya sangat mirip dengan Jadis. Mereka sampai berpikir penyihir putih itu hidup kembali lalu pura-pura jadi orang lain.
"Kami memang mirip dengan mereka. Tapi kami bukan mereka. Saya bisa menjamin Jadis dan Eva tidak hidup kembali."
Netra keempatnya melebar. Evalyn seolah bisa membaca pikiran. Padahal gadis itu hanya menebak dari raut wajah.
Peter mengernyit. Lantas bertanya. "Bagaimana kau bisa tahu tentang penyihir itu dan Eva?"
"Sir, Aku khawatir kau keliru. Keduanya adalah penyihir. Tapi tak masalah. Yang jelas kami masih ada hubungan darah dengan mereka."
"Hubungan darah?" Beo Edmund.
Senyum simpul dipasang. Lantas Eva menyesap tehnya. Lalu menaruhnya kembali. "Kami adalah cucu mereka."
Janette yang dari tadi diam akhirnya angkat bicara. "Loh? Kita itu cucunya nenek Cilica. Aku tidak sudi disebut sebagai cucu nenek lampir es bernama Jadis itu!"
Bibirnya manyun, alisnya bertaut sebal. Dia memang paling anti dihubung-hubungkan dengan Jadis.
"Biar bagaimanapun mereka masih saudara." Evalyn menjawab enteng.
•
•
•
TBC~
Mumpung otak masih lancar, aku up lagi!
Aku bikin karakternya Evalyn agak pintar baca situasi. Dia tipikal banyak berfikir beda sama Janette yang banyak ngomong. Mwehehehe
Yah gitu aja. Makasih yah dah mau baca~~
______________________________________
5 Desember 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top