Bab 13

Enjoy


Rabbit beranjak. Dia mendudukkan diri di sebelah Janette. "Ini adalah salah satu eksperimen Penyihir Eva. Oh, kalau kau tidak tahu, Eva adalah Penyihir Agung Narnia."

Janette menganga mendengarnya. "Kau pelayan Eva?! Tunggu, sebenarnya kenapa dia membuat eksperimen begini?"

Wajah Rabbit nampak sendu. "Dulu, mungkin sekitar enam atau tujuh ratus tahun setelah Narnia dibuat, Aslan menghilang cukup lama. Orang-orang mulai tidak percaya akan ramalan dan Aslan. Terutama para manusia. Mereka pikir cerita tentang Aslan itu bohongan.

"Tak begitu lama, mereka mulai melakukan pemberontakan. Raja juga mulai ragu. Karena itu dia menugaskan Eva  untuk menunjukkan pada mereka kalau ramalan itu nyata."

"Omong kosong macam apa itu?" Janette benar-benar tak habis pikir. Bagaimana bisa Raja meminta agar sebuah ramalan dibuktikan sebelum waktunya?

Rabbit mengangguk. "Kami para hewan berbicara juga berpikir yang sama. Manusia itu mungkin berpikir Eva sama dengan Aslan. Mereka pikir Eva bisa membuat ramalan dan melaksanakannya. Jadi mereka memintanya."

Janette menggelengkan kepalanya. "Tidak masuk akal."

"Saat itu pada hewan berbicara dan makhluk sihir lainnya membela Eva. Hingga terciptanya dua kubu. Kubu yang percaya pada Eva dan kubu yang berkata Eva adalah penipu." Rabbit melanjutkan.

"Dengan segala kecerdasan milik Eva, dia membuat portal untuk hewan kecil agar bisa memasuki suatu dunia yang Eva bilang terhubung dengan dunia tempat dua pengembara datang.

"Dan aku ditugaskan untuk kesana dan mencari dua pengembara secepat mungkin. Yah, aku memang bisa pergi ke sini. Tapi aku baru sadar kalau tidak ada lukisan apapun tentang dua pengembara itu. Alias, aku tidak pernah melihat wajah mereka. Karena kesal, aku kembali ke Narnia dan menceritakan segalanya pada Eva. Eva mengerti. Dan mencoba memikirkan jalan lain."

Janette menumpu dagu. "Lalu? Bagaimana kau bisa masih ada disini?"

Sang kucing terdiam agak lama. Lantas menghela napas panjang. "Aku bersalah. Banyak hal-hal menarik yang kutemukan disini. Dan aku berharap bisa melihat-lihat sekali lagi. Karena itu aku kembali ke sini dan menjelajah sangat jauh. Sampai kedua kakiku sakit dan aku kelaparan setengah mati. Aku kehilangan jejak untuk kembali ke portal itu."

"Apa penyihir Eva tidak datang mencarimu?" Kini Profesor Digory yang bertanya.

Rabbit menggeleng. "Pengetahuan Eva tak seluas sampai dia mampu membuka portal besar yang bisa dilewati seorang manusia. Portal itu hanya bisa digunakan olehku dan hewan yang lebih kecil dariku."

Janette mengusap dagunya. Sebuah pemikiran menarik terlintas di kepalanya. Ia menyeringai. Sepertinya dia akan merepotkan Evalyn lagi kali ini.

***

Akhir tahun yang indah. Juga liburan yang panjang harusnya. Tapi tidak dengan putra sulung keluarga Pevensie. Dia menolak seluruh keinginan ibunya untuk kembali dan merayakan tahun baru bersama demi menelusuri semua buku di perpustakaan sekolah.

Berkat itu juga, Edmund, memilih untuk menetap di sekolah dan tidak pulang. Sedangkan Susan memilih untuk singgah di rumah bibinya, tempat dimana Lucy tinggal saat ini.

"Lagi, Pete?" Edmund datang dengan wajah heran. Pasalnya sudah tiga hari terakhir kakaknya tidak kelihatan dimana-mana dan hanya ada di perpustakaan.

Edmund mendudukkan dirinya kesal di salah satu kursi perpustakaan. "Sebenarnya kenapa kau berusaha sekeras ini? Maksudku tanpa belajar semuanya pun asal nilaimu baik kau bisa lulus dengan normal, kan?" Dia memelankan suaranya karena sadar kalau ini adalah perpustakaan.

Peter meletakkan setumpuk buku di meja itu. Dia menatap sang adik malas. "Aku tidak mau lulus dengan normal. Paling tidak aku harus lulus dengan peringkat pertama."

"Tapi kau sudah jadi peringkat pertama di tahun ini." Edmund meraih salah satu buku itu. "Dan ini bahkan buku untuk siswa tahun ke empat! Dan kau baru siswa tahun ketiga."

Peter memutar bola mata birunya. "Kalau kau kesini untuk mengomel, kembalilah. Kau benar-benar menggangguku." Dia membuka bukunya dan mulai menulis.

"Apa ini karena Evalyn?"

Tangannya berhenti. Netra biru itu bersirobok dengan netra sang adik. "Kalau iya, kenapa?"

Edmund membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu namun ia urung. Dia sendiri tak tahu bagaimana cara mengatakannya.

Peter menyipitkan matanya. Dia sudah memikirkan hal itu selama beberapa hari ini. Tapi rasanya dia harus mengecek apakah dugaannya benar atau tidak. Kalau adiknya juga menyukai orang yang sama dengan yang dia suka.

"Apa yang kau pikirkan tentang Evalyn?"

Pertanyaan biasa harusnya. Tapi Edmund tahu karakteristik Peter. Dia masih ingat banyak kebiasaan sang kakak yang dibawa dari Narnia.

Salah satunya jika dia bertanya sambil memiringkan kepalanya sedikit, artinya dia sedang menilai sesuatu.  Dan saat seperti itu, Peter akan membuat pertanyaan menjebak.

Jika Edmund salah pilih jawaban, Peter bisa langsung membaca pikirannya dari jawaban-jawaban yang dia lontarkan.

"Aku tidak mengerti apa maksudmu." Dia memilih jawaban aman.

"Kalau begitu, menurutmu Evalyn bagaimana?"

Edmund mengerutkan dahi. Sepertinya Peter tidak berniat untuk menghentikan dirinya dalam menilai sang adik.

Edmund meraih buku kembali. Memilih untuk membacanya. "Dia gadis biasa. Kenapa kau jadi bertanya padaku soal dia? Maksudku kau lebih akrab dengannya, kan?"

Peter menyeringai. "Entahlah. Aku tidak yakin itu bisa dikatakan oleh seseorang yang menghabiskan lusinan kertas demi membuat satu surat padanya beberapa hari lalu."

Edmund mengeratkan genggaman tangannya pada buku. 'Peter tahu?' Pikirnya panik.

Sebenarnya ada alasan dibalik kenapa dia bersikap begini. Dia hanya tidak ingin Peter tahu kalau dia juga menyukai Evalyn. Akan sangat sulit baginya untuk bersaing secara terang-terangan didepan Peter.

Lihat saja. Dari segi fisik, Peter unggul. Segi kecerdasan, Peter juga unggul. Lalu apa yang di ungguli Edmund? Dia hanya sebutir remahan roti jika disandingkan dengan Peter.

"I-itu bukan untuk Evalyn." Edmund mengelak.

Peter menghela napas. "Begitu? Baiklah. Tapi kau jangan lupa. Kita punya pembelajaran moral kesatria selama di Narnia. Kau bahkan sampai menghabiskan tiga malam tanpa tidur demi menghapal buku-buku kesatria. Apa kau ingat?"

Edmund terdiam. Kenapa Peter membahas tentang pelajaran moral kesatria? Itu tidak ada hubungannya. Kecuali Peter ingin memancing Edmund agar berkata jujur.

Edmund menutup buku yang sebenarnya tidak dia baca itu. Lantas menyimpannya di atas meja. "Pete, kupikir tidak benar jika menyembunyikannya darimu."

Sepertinya Peter benar. Dia salah. Salah sudah berpikiran untuk merebut Evalyn di masa depan. 'Aku kan hanya perlu bersaing denganmu secara terang-terangan.' batinnya mengangguk.

Sang kakak mengangkat alisnya sebelah. "Apa yang kau sembunyikan?" Padahal sebenarnya dia sudah tahu. Dia hanya ingin memastikan apakah itu sesuai dengan dugaannya.

Edmund menggaruk pipinya tak gatal. "Kau tahu, ku pikir kita punya selera yang sama dalam banyak hal."

Peter kini melepas pena ditangan. Dia memangku dagu dan fokus mendengarkan Edmund. Jika tidak sekarang, dia tahu Edmund tidak akan mau membicarakannya lagi.

"Saat pertandingan sepak bola, kita mendukung tim yang sama. Saat perang, kita jarang berselisih pendapat. Style baju juga terkadang kita mirip. Bahkan selera perempuan kupikir juga sama."

Edmund mengulum bibirnya. "Yang ingin kukatakan adalah, sebenarnya selama kita ada di Narnia, aku sudah menyukai Eva."

Peter tetap diam. Membiarkan dua pasang netra biru bersirobok cukup lama. Sampai Edmund memutuskan kontak mata mereka. Dia memilih menunduk.

"Aku, entahlah. Eva hanya begitu luar biasa. Lalu soal Evalyn, aku tidak akan mengalah. Maksudku, kau memang menyukainya dan kau dua atau tiga kali lipat lebih unggul dariku. Tapi aku tetap tidak akan menyerah sampai Evalyn bilang kalau dia juga menyukaimu."

Edmund menghela napas lega. Rasanya dia baru saja membuang banyak beban dari hatinya.

"Kau mengingatkanku tentang pelajaran kesatria dulu. Sebagai kesatria, kita harus jujur dan bersaing dengan adil. Kau benar. Sebelumnya aku tidak jujur, jadi maafkan aku. Tapi untuk kedepannya, aku harap kita bisa bersaing dengan adil."

Dia menatap sang kakak damai. Tidak ada raut kebencian, karena dia hanya ingin bersaing dengan adil.

Peter tertawa hampa. "Aku sudah curiga saat malam ketika kau bertemu dengan Eva di balkon aula. Tapi lupakan, toh kita kalah bahkan sebelum menyatakan perasaan. Eva sudah lebih dulu meninggalkan kita."

Peter menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Dia meraih balpoin dan memutarnya.

"Tapi Ed, Kau harus sadar. Kau yang sekarang belum pantas untuk memikirkan masalah yang seperti itu. Aku juga. Makanya aku mencari kesibukan lain. Yaitu belajar. Mencoba meningkatkan kemampuanku. Tunggulah sampai umur kita pantas dan kita akan bersaing dengan adil."

Edmund tertegun. Kakaknya benar. Mereka masih terlalu muda. "Itu akan memakan waktu yang cukup lama. Tapi baiklah. Saat ini ayo bersaing melalui nilai sekolah!"

Sang kakak tersenyum. "Aku sudah meraih peringkat satu di antara siswa tingkat ketiga. Tahun depan aku akan meraih peringkat satu umum."

Edmund mendengus, meremehkan kakaknya. "Heh, kalau begitu, aku juga tidak akan kalah. Aku akan lompat kelas tahun depan!"

"Hahaha. Coba saja."



TBC~

Yuhuu~~~

Sebenarnya aku nggak ada niat mau nunjukin adegan tentang para Pevensie. Tetiba aja kepikiran gitu, jadi aku bikin deh. Moga kalian suka!

See yaa!!

______________________________________

12 Januari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top