Bab 12
Enjoy
•
•
•
Janette memasang sepatu hijaunya dengan riang. Sepatu itu berwarna hijau limun dengan pita putih dan model yang sama dengan sepatu lamanya, Vanessa.
Saat mereka kembali ke bumi, Evalyn benar-benar mengirim surat pada sang ibu untuk meminta agar Janette dibelikan sepatu baru. Dan tidak sampai satu bulan, sepatu itu sudah bisa dikenakan kaki kecilnya.
"Kau suka sekali dengan sepatu itu, ya?" Evalyn datang membawa empat amplop kecoklatan.
Janette mengangguk cepat. "Sangat! Bahkan aku sudah punya nama yang cocok dengan sepatu ini. Namanya Vanessa de sekon! Namanya kubuat mirip dengan Vanessa, sepatu lamaku. Keren tidak?"
Evalyn memutar bola matanya malas. Dia mendudukkan diri di ranjangnya. "Apa semua sepatumu punya nama seperti itu?"
Janette nampak terdiam dan berdiri. Dia pergi ke lemari baju di seberang sana dan mengambil sebuah kotak berwarna biru tua dan membukanya.
"Yang satu ini belum punya nama. Apa kau mau menamainya?" Ia menunjukkan sepatu hitam.
Evalyn mengambil sepatu itu. Dia merasa familiar dengannya. "Sepatu ini kan sepatu saat kita sekolah tahun lalu? Kenapa kau malah membawanya ke sini?"
Janette mengangkat sebelah sepatu itu. "Aku pikir kita akan kembali sekolah di sekolah lain. Lagipula sepatu ini penuh kenang-kenangan. Aku masih ingat aku menginjak keras kaki Madam Alysha sampai dia berteriak keras dengan sepatu ini. Perempuan itu sudah menghina ibu. Dia pantas mendapatkannya"
Evalyn terkekeh. "Benar. Berkat itu kau sampai di tantang tiga belas Profesor untuk ujian dengan syarat jika kau bisa mendapat nilai tinggi di seluruh ujian, maka kau lulus dari sekolah. Dan aku juga ikut terbawa-bawa."
Sang adik mengangguk. "Yeah. Kau kan kakakku, jadi kau ikut bertanggung jawab atas sikapku. Tapi karena itu lah kita bisa menjadi lulusan termuda di seluruh Britania Raya."
Evalyn menggeleng. Dia mencubit sebelah pipi Janette keras. "Iya, dan kau membuatku tidak tidur dalam dua pekan karena harus mempersiapkan ujian itu dengan teliti. Aku harus begadang demi belajar."
"Duh sakit!" Janette melepas paksa cubitan sang kakak. Dia menggembungkan kedua pipinya. Lantas ikut meraih pipi Evalyn sebelah. "Tapi kan kalau tidak begitu pun, kau akan tetap dapat nilai tinggi. Lagipula soalnya mudah."
Evalyn mengangguk. Janette telah melepaskan cubitannya. "Soal setingkat kelas akhir kau anggap mudah. Tapi memang sih. Atau mungkin saja karena otak kita yang terlalu luar biasa."
Sang adik melirik pada empat amplop cokelat yang di simpan disebelah Evalyn. "Itu punya siapa?"
Evalyn mengambil dua amplop. "Tidak dituliskan untuk siapa. Tapi nama penulisnya ada. Dua ini dari Susan dan Lucy."
Janette meraih dua yang lainnya. Mencoba membaca dari siapa surat itu. "Eh? Ini dari Peter. Dan ini...."
Janette membolak-balikkan amplop cokelat itu. Tulisannya buruk sekali. Lebih terlihat seperti rumput ketimbang tulisan.
"Apa ini? Ecom? Ec-eclum? Eclumel Pcuensie? Siapa yang menulis surat seburuk ini?" Janette bahkan sampai memiringkan tubuhnya, berharap bisa membaca tulisannya jika seperti itu.
Evalyn terkekeh. Dia meraihnya dan melihat sebentar. "Edmund Pevensie. Itu dari Edmund." Katanya kembali memberikan amplop pada sang adik.
Janette mendengus. "Tulisannya buruk sekali. Kalau kau bilang dia sedang mencoba belajar menggambar rumput, aku akan percaya." Meski begitu, Janette tetap membuka suratnya dengan senyum sumringah.
"Kau senang sekali mendapat surat dari Edmund." Evalyn mengejek. Dia sendiri memilih untuk menyimpan surat yang lain dan menunggu Janette selesai membacanya.
"Yah, aku hanya mencari bahan baru untuk mengejeknya." Janette mengedipkan sebelah matanya pada sang kakak. Dia membuka lembaran surat dan membacanya sejenak. Tapi baru sebentar, wajahnya kini berubah jadi masam.
Janette melipat surat itu kembali dan memberikannya pada Evalyn. "Wah, parah. Surat ini sih untukmu. Isinya hanya tentangmu. Sudahlah, ambil saja, nih." Ia pergi meninggalkan sang kakak, menuju ke luar kamar.
Evalyn menatap kepergian sang adik dalam diam. "Padahal kupikir itu untuknya." Gumamnya. Dia membuka lipatan kertas. Benar-benar hanya ada tulisan yang lebih mirip rumput.
Tulisannya benar-benar buruk. Evalyn sampai harus menyipitkan mata untuk bisa memahami tulisannya.
Dear Evalyn Agatha De Charnie.
Evalyn terkekeh membaca tulisan paling atas. "Bahkan namaku saja tertulis lengkap."
Halo Ev. Apa kabar? Kuharap kabarmu baik. Musim dingin sebentar lagi tiba. Apa Madam Macready sudah mulai marah-marah lagi?
Sebentar lagi kan Halloween. Kalau aku tidak salah ingat, setiap ada acara dia akan selalu marah-marah. Lalu Profesor Digory akan muncul entah darimana dan bilang "Madam Macready sedang banyak pikiran. Jadi dia akan lebih sering marah-marah."
Aku benar-benar merindukan masa itu. Jujur saja aku rindu suara teriakan Madam Macready. Atau cerita-cerita menarik milik Profesor Digory. Apalagi suara teriakan Janette setiap aku menjahilinya! Semuanya menyenangkan. Aku merindukan kalian.
Hey Ev, apa kau juga merindukanku?
***
Janette menendang batu kerikil dengan perasaan kesal. "Padahal aku yang lebih akrab dengan Evalyn. Bisa-bisanya dia bilang begitu pada kakakku!"
Sebenarnya Janette bisa membaca tulisan Edmund dengan lancar. Bagaimanapun, dia sudah terlatih membaca tulisan para profesor yang tulisannya lebih buruk dari tulisan Edmund.
Dia hanya ingin mengejek tulisan Edmund yang memang lebih buruk dari tulisannya. Dia pikir dia bisa menuliskannya di surat balasan. Tapi ternyata surat itu bukan untuknya. Melainkan untuk Evalyn.
Ia mendudukkan diri diatas rerumputan. Masih sibuk melihat pohon-pohon rindang dan besar di halaman belakang rumah. Seekor kucing jantan ikut mendudukkan diri disebelahnya.
Janette meraih kucing itu dan menaruhnya di pangkuannya. Rasanya kucing itu agak besar dan berat. "Kucing, kau tahu? Seseorang berusaha merebut kakakku."
Ia mengelus surai oranye kucing itu, membuatnya mendengkur perlahan. "Apa dia pikir dengan begitu aku akan merestuinya dengan Evalyn? Oh. Tentu tidak, Edmund! Aku tidak akan pernah setuju Evalyn menikahi biang kerok sepertimu."
Janette mengangkat sang kucing. "Kucing, menurutmu Evalyn cocok tidak dengan Edmund?"
"Meong." Sang kucing tentu saja hanya mengeong. Tapi Janette mengangguk seolah mengerti. "Benar. Dia harus bersama laki-laki yang lebih baik. Bukan dengan Edmund."
"Dasar manusia. Bisa-bisanya kau mengurusi urusan orang dewasa. Tubuhmu bahkan jauh lebih kecil daripada manusia yang aku temui di luar sana."
Sontak Janette melempar kucing itu. Sang kucing mendesis menatap sinis Janette. "Hati-hati dengan itu manusia! Walau orang bilang nyawaku ada banyak, bukan berarti aku mau mati sia-sia!"
"Kau bicara! Kucing bicara!" Seru Janette antusias menunjuk sang kucing.
Kucing oren itu memutar matanya. "Oh, tidak pernah lihat hewan berbicara? Ciri khas manusia sekali. Di kampung halamanku dulu, para hewan bisa bicara. Bahkan tubuh mereka dua kali lipat lebih besar dariku."
Kucing itu mengangkat dua kaki depannya, berdiri di depan Janette. Mengingatkan Janette pada Nyonya Raphnee sang rakun di Narnia.
"Kau dari Narnia?"
Sang kucing nampak terkejut sedikit. "Darimana kau... Baiklah. Biar kuperkenalkan diriku, aku Rabbit dari lembah hutan liar Narnia." Ia membungkuk layaknya manusia.
Janette mengernyitkan dahi. "Rabbit? Tapi kau kucing. Aku Janette omong-omong."
Rabbit menatapnya datar. "Inilah yang selalu aku katakan pada ibuku setiap dia memanggilku Rabbit. Tapi kawan, ibuku adalah orang yang unik. Dia menamai anak-anaknya dengan nama makanan kesukaannya. Misalkan saja kakakku, namanya Fish. Atau aku, Rabbit. Dan aku tidak bisa menolak nama itu."
Janette menggaruk kepalanya tak gatal. Wajahnya terlihat jelas tak mengerti. Tapi dia tetap menganggukkan kepala.
Rabbit mendengus. "Manusia memang agak bodoh. Nah, sekarang, apa kau tidak mau menjadi ba- maksudku apa kau tidak mau merawatku?"
Sang puan berkacak pinggang. "Tadi kau mau bilang menjadi babu kan?"
Rabbit menggeleng. "Iya. Maksudku tidak." Dia memainkan ujung-ujung kaki depan berbulunya. Membuatnya terlihat menggemaskan. Lantas ia menghela napas.
"Hidup itu susah, kawan. Aku jarang sekali mendapat makanan. Kalaupun dapat biasanya berasal dari tong sampah. Maksudku, tidakkah kau kasihan pada kucing manis ini?" Dia menatap Janette dengan bola matanya yang besar dan bersinar.
Janette sampai menutup mata. "Duh, jangan menatapku seperti itu!"
Sang kucing kembali menurunkan dua kaki depannya. "Ayolah, aku akan melakukan apa saja. Aku bisa membuatmu bahagia saat kau sedih. Kau mau apa? Melihatku bermanja-manja disebelahmu? Berguling seperti ini? Atau kita bisa bermain bola bersama." Dia bertingkah setiap dia berbicara. Mengeluskan tubuhnya pada kaki Janette, berguling di rumput, juga mengibaskan ekornya beberapa kali.
Janette nampak diam sebentar. "Bagaimana dengan orang yang sedang kesal?"
Rabbit mengernyit. "Apa?"
"Bagaimana caramu menghibur orang yang sedang kesal?"
Jujur saja, rasa kesal Janette sudah hilang sejak dia tahu kucing di depannya ini bisa bicara. Kucing ini hanya benar-benar terlihat menggemaskan.
"Oh, itu agak rumit. Bagaimana dengan pelukan dan dengkuran?" Rabbit merentangkan kedua kaki depannya hendak memeluk.
Sang puan terkekeh. Dia meraih kucing itu dan memeluknya erat. "Kau benar-benar manis, Rabbit. Baiklah, aku akan merawatmu."
Rabbit memerima pelukan dengan baik. "Memang harus begitu. Omong-omong, aku hanya makan ikan segar dan daging ayam. Daging rusa agak alot jadi kurang menyenangkan untuk digigit. Kalau daging sapi tidak buruk. Tapi aku pribadi lebih suka ikan segar."
Janette tertawa. "Baiklah. Tapi aku harus izin pada Profesor Digory dulu. Kau ikut aku saja. Nanti biar ku gendong."
Janette beranjak sambil menggendong kucing itu di pelukannya. Bulunya cukup lebat dan lembut. Janette merasa tidak ingin melepas pelukannya.
Rabbit nampak tak ragu menyamankan diri dalam gendongan Janette. "Wah, aku digendong manusia! Manusia cerdas. Kau harus rajin menggendongku begini."
Janette melangkah masuk ke dalam rumah. "Padahal tadi kau mengataiku bodoh. Omong-omong, jangan banyak bicara. Orang di rumah ini tidak begitu tertarik melihat kucing bicara."
Rabbit mengangguk. "Aku juga tidak tertarik untuk bicara dengan mereka. Mereka bau." Dia berbisik.
Janette berhenti tepat sebelum dia menaiki tangga. "Apa maksudmu bau? Aku juga bau?"
Rabbit menggeleng. "Tidak. Kalau kau, entahlah. Ada aroma yang belum pernah kucium selama aku hidup. Tapi yang jelas ketimbang manusia lain, kau lebih baik."
Janette hanya mengernyit dan melanjutkan perjalanannya. Hingga dia tiba di depan ruangan Profesor Digory.
Janette memperbaiki gendongannya. Lantas mengetuk ruangan Profesor tiga kali. "Sir, aku Janette. Apa aku boleh masuk?"
Ruangan tampak hening sebentar. Hingga terdengar suara "masuk" dari dalam. Janette membuka pintu dan kembali menutupnya rapat. Dia mendudukkan diri sofa ruangan sang Profesor. Rabbit dia taruh disebelahnya.
"Ada apa, Jane?" Sang Profesor melepas kacamatanya dan mendudukkan diri diseberang sofa Janette.
Janette mengangkat Rabbit dalam sekali hentakan. "Sir, kucing ini bisa bicara!" Dia berseru antusias.
"Meong"
Wajah Rabbit nampak kaget. Tentu saja kaget. Setahu dia, orang dewasa tidak akan mudah percaya hewan bisa bicara. Kebanyakan dari mereka akan berpikir dia adalah monster karena bisa bicara.
Sang Profesor mengusap dagunya perlahan. Matanya nampak meneliti dari ujung kepala sampai ujung kaki kucing berwarna oranye itu.
"Tubuhnya agak besar. Mengingatkanku dengan kucing-kucing berbicara di Narnia. Apa kau benar-benar bisa bicara?"
Janette mengangguk. "Ayo, Rabbit. Profesor juga pernah ke Narnia, jadi dia akan percaya padamu." Dia menurunkan Rabbit ke lantai.
Sang kucing nampak menghela napas. Dia mengangkat dua kaki depannya, mencoba berdiri. "Benar, Sir. Aku bisa bicara."
Sang Profesor nampak kaget. Alisnya terangkat tertarik menatap Rabbit. "Luar biasa. Aku hanya tahu kalau manusia bisa pergi ke sana. Kupikir orang-orang disana tidak bisa pergi ke sini."
Rabbit menatap Janette. Lalu kembali menatap Profesor Digory. Lantas dia menggeleng.
"Tunggu dulu! Kenapa kau tidak terlihat kaget atau semacamnya. Aku benar-benar heran. Janette saja sampai melemparku. Dan kau? Hanya mengangkat alis?"
Janette melebarkan mata tak percaya menatap Rabbit. "Rabbit! That's rude!"
Tapi sang Profesor tertawa. Dia menggeleng. "Para kucing Narnia memang harusnya seperti ini! Mereka memang terkadang tidak bisa menahan mulut untuk mengatakan apapun yang ada di kepala mereka."
Profesor Digory mengulurkan tangannya. "Aku Digory. Orang-orang menyebutku pengembara dari dunia lain. Kalau kau?"
Rabbit nampak menganga. Tapi dia tetap meraih tangan sang Profesor untuk dijabat. "Aku Rabbit dari lembah hutan liar."
Digory mengangguk. "Tapi bagaimana kau bisa ada disini?"
•
•
•
TBC~
Hai haii~~
Met tahun baruuuu!!! Ini gak terlalu telat buat ngucapin kan? Ehehe.
Gak nyangka tahun lalu fanfic pertama aku bisa selesai. Bahkan sampai ada book duanya. Dan aku seneng banget kalian mau bertahan buat baca book ini.
Btw, makasih udah mau baca~~
Lop u semua sangat-sangat <333
______________________________________
7 Januari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top