Bab 10
Enjoy
•
•
•
"Eh?"
Janette menatap nanar pada reruntuhan didepannya. Dia ingat sekali terakhir kali sebelum ke Narnia, dia dan Evalyn berada di bawah pohon. Dan pohon itu berada tepat di depan halaman Cair Paravel.
Tapi apa-apaan? Yang ada didepannya sekarang bukanlah istana megah. Melainkan reruntuhan yang penuh dengan lumut dan sepertinya telah lama hancur.
"Dimana kita?" Evalyn bertanya.
Janette menggeleng. "Aku tak yakin. Jika kita memang berhasil ke Narnia, semuanya terasa benar. Selain itu."
Dia menunjuk reruntuhan didepannya. Perasaannya terasa buruk. Tidak mungkin Cair Paravel yang megah bisa hancur begitu saja.
Evalyn menatap penasaran pada reruntuhan yang ditunjuk sang adik. Dia mendekati batu-batu reruntuhan itu. Sudah banyak yang berlumut. Bahkan rumput telah tumbuh panjang di halamannya.
Dia menyentuh sedikit lumut-lumut itu. Mencoba merasakan tekstur yang menggelitik jemarinya.
***
"PENYUSUP!"
Teriakan faun, draiad dan minotaur yang ada dalam aula bergema. Mereka berseru menunjuk manusia dengan zirah di tubuh mereka yang masuk ke aula.
Semuanya menarik pedang dan bersiaga. Beberapa dari faun yang tidak bisa bertarung, kabur lewat pintu belakang istana.
Para manusia itu menyerbu. Melontarkan panah api dan mengadu pedang. Beberapa dari mereka gugur lantaran tidak bisa melawan minotaur yang lebih besar dari mereka.
Selain itu, pedang milik para faun juga merupakan pedang-pedang terbaik yang di tempa oleh penempa pedang terbaik di dunia, para dwarf. Pedang itu mampu mengiris kulit bahkan jika hanya di tempelkan saja.
Tak lupa para draiad yang menggerakkan sulur-sulur untuk melilit manusia. Para manusia itu hampir kalah.
Setidaknya itu adalah sesaat sebelum sesuatu menabrak dinding Cair Paravel. Meruntuhkannya, membuat semua yang ada disana tertimpa batu-batu porselen. Meninggal dengan tidak terhormat.
***
Evalyn menarik napas cepat. Dadanya terasa sesak. Tiba-tiba sesuatu masuk ke kepalanya, membuatnya menjadi pusing.
"EV!!" Janette berseru panik. Berlari menghampiri sang kakak. "Hidungmu berdarah!"
Evalyn tidak bisa menggerakkan tubuhnya lagi hingga kegelapan menguasai penglihatannya.
Janette memeluk Evalyn tepat sebelum kakaknya itu jatuh ke tanah.
"Ev? Evalyn!" Ia mencoba menepuk-nepuk pelan pipinya. Tapi nampak tak ada tanda-tanda sang kakak akan bangun.
Janette menarik napas dalam. Dia harus tenang. Di situasi genting begini, dia tidak boleh panik dan harus mencari jalan keluarnya.
Dia membaringkan Evalyn di lantai. "Oke. Pertama-tama, maafkan aku Ev. Tidak ada kasur disini. Kau terpaksa harus tidur di tanah penuh rumput. Tak masalah, rumput juga empuk."
Setelahnya dia berlari menuju sumur. Dia ingat sekali ada sumur di dekat Cair Paravel. Dan syukurlah memang masih ada disana. Dengan pelan, dia melepas sepatu dan mengambil airnya.
Tidak ada wadah lain yang bisa digunakan. Baskom kayu yang biasanya ada di sebelah sumur telah lapuk dan tidak bisa digunakan lagi.
Sekarang hanya tersisa sepatu berwarna hijau cantiknya dengan mutiara asli dan pita sebagai pemanis. Dengan berat hati, dia mengisi sepatu dengan air dan mulai mencuci tangan.
Angin berhembus, menerbangkan beberapa daun. Mereka seolah memanggil Janette. Perasaan Janette semakin buruk sekarang. Semoga saja ada faun atau makhluk sihir lain yang datang untuk memberi tahu apa yang telah terjadi selama mereka pergi dari Narnia.
"Janette."
"KYAAA!" Sontak Janette melempar sepatunya. Membuat sepatu cantik itu tenggelam ke dasar sumur.
"TIDAAAAK!! VANESSAAAAA!" Ia menatap nanar pada sepatu cantiknya yang sudah tenggelam. "Vanessa. Sepatu cantikku. Padahal, padahal kamu hanya ada dua di London."
Janette berbalik, menatap pelaku di belakangnya. Evalyn dengan wajah tanpa dosa yang ikut-ikutan menatap ke dasar sepatu. "Lupakan sepatu itu. Aku akan minta ibu mengirim yang baru dari Prancis."
Alis Janette terangkan sebelah. "Oh? Ingatanmu sudah kembali?"
Sang kakak mengukir kurva. Ia mengangguk kecil. "Sudah. Semuanya. Bahkan ingatan baru juga ikut masuk." Netra emeraldnya menatap tanah sendu.
"Ingatan baru? Apa maksudmu?" Janette kini melepas sebelah sepatunya yang masih menempel dikaki. Menentengnya sambil berdiri.
Evalyn berjongkok dan meraih sepatu ditangan sang adik. Janette yang masih bingung membiarkannya. Hingga Evalyn mengambil air dengan sepatunya.
"Hey! Itu satu-satunya sepatuku yang tersisa!" Janette memukul kepala sang kakak.
Evalyn hanya melambai. "Nanti kubelikan lagi. Aku juga butuh air." Dia mencuci bekas darah di hidung, sekaligus mencuci tangan dan muka.
"Cair Paravel telah diserang." Kata Evalyn setelah mengembalikan sepatu sang adik.
Janette hanya mendengus kesal. "Nah, siapa yang serang?" Ia mencoba mengeluarkan air dari sepatu cantiknya.
"Manusia."
Ucapan Evalyn membuat Janette berhenti dari kegiatannya dan menatap sang kakak heran. "Calormen? Aku tidak akan heran jika mere–"
"Bukan." Evalyn menggeleng. Menatap sang adik datar. Binar dimatanya telah hilang.
Janette meneguk ludah kasar. "Jangan bilang Archen–"
Evalyn menggeleng. "Tidak. Itu sih mustahil. Meski pernah berseteru dengan Narnia dan sempat hilang kabar, Archenland tidak pernah membenci Narnia. Kalau mau, mereka bisa saja kembali ke sini karena disini memang tanah lahir mereka."
Janette berdecak. Dia menggaruk kepalanya kasar. "Lalu siapa? Jangan membuatku penasaran, dong!"
"Aku tidak yakin. Mereka menggunakan baju aneh dan berambut hitam. Kulit mereka tak segelap bangsa Calormen. Aku yakin mereka bukan bangsa Archenland karena Archenland berambut cerah."
"Berarti bangsa baru yang datang dan menjajah." Janette kini melepas kaus kakinya dengan lesu. "Tunggu dulu, dari mana kau tahu semua itu?"
Evalyn mengangkat tangannya. "Aku semacam bisa melihat masa lalu dari suatu benda yang ku sentuh."
Sang adik mengangkat sebelah alisnya. "Kalau orang? Apa bisa?"
Evalyn mengulurkan tangan sembari tersenyum hampa. "Boleh. Kita bisa menjadikanmu bahan percobaan."
Janette menggeleng. "Tidak tidak! Aku bercanda. Lupakan saja. Em, omong-omong, kita tidak boleh berlama-lama disini. Kita harus pergi sebelum terlalu lama." Dia mencoba mengalihkan topik.
Tapi Evalyn menggeleng. Dia berjongkok di depan Janette. "Naiklah. Ada yang mau kuperiksa dulu."
Dengan senyum sumringah, Janette melompati bahu sang kakak. Membiarkan Evalyn menggendongnya. "Harusnya kau begini dari tadi. Nah, kuda! Let's go!"
Evalyn terkekeh. Die berjalan menuju kearah seberang Cair Paravel. Tapi berhenti di depan sebuah sungai. "Sejak kapan Cair Paravel punya sungai?"
Janette mengernyit melihatnya. "Cair Paravel memang terletak di peninsula. Mungkin sudah beratus-ratus tahun berlalu, mengingat reruntuhan itu sudah berlumut dan pohon-pohon apel itu sudah terlihat tua. Sepertinya terjadi banyak hal pada tanah Narnia makanya bisa ada sungai disini."
Evalyn mengangguk mendengar penjelasan Janette. Dia berteleportasi menuju seberang sungai. Berjalan menyusuri pohon-pohon dalam diam dengan Janette yang tak henti-hentinya menarik daun-daun yang terlewati tangannya.
"Kita mau kemana?" Janette kini bertanya. Masih heran kenapa sang kakak belum memberitahukan tujuan mereka.
"Perjalanan kita agak jauh. Pegangan yang erat."
Janette mengeratkan pelukannya pada leher Evalyn. Mereka berteleportasi ke tempat yang Janette yakin tidak pernah dia lihat sebelumnya.
***
Rambutnya hitam legam sebahu. Pakaiannya agak unik tidak terlihat seperti bangsa Narnia maupun Archenland. Tentu saja karena dia bukan salah satu dari dua bangsa itu.
Meski begitu, kulitnya juga tak segelap bangsa Calormen. Namanya Caspian. Caspian 9 lengkapnya. Ayahnya adalah Caspian 8, Raja Narnia saat ini.
Leluhurnya disebut Caspian Pertama. Sang Raja penakhluk Narnia. Mereka menghancurkan Narnia dan merebut tanahnya. Padahal mereka tidak berasal dari sana. Melainkan dari sungai Telmar di barat. Setidaknya itu yang selalu diceritakan pelayannya.
Orang-orang banyak yang tidak percaya akan hal itu. Beberapa percaya kalau merekalah penguasa Narnia yang sesungguhnya. Tapi berbeda dengan Caspian.
Caspian percaya seratus persen bahwa Narnia Lama itu ada. Empat Raja yang bertahta dalam istana putih itu nyata. Dia yakin itu. Meski dia tak pernah melihatnya langsung.
Caspian tidak begitu menyukai ayahnya yang suka bersembunyi dalam istana dan menjauhkan diri dari laut. Dia pernah mendengar tentang laut dari pelayannya.
Air asin berwarna biru indah yang mengkilap dan luas. Ada pasir putih di pesisir pantainya. Konon katanya Raja dan Ratu Narnia dulu pernah dinggal di tempat yang bernama Cair Paravel di pantai itu.
Caspian menceritakan setiap cerita yang diberitahukan pelayannya pada dua temannya. Mereka adalah anak-anak dari dua bangsawan tinggi di Narnia baru.
Dan kerennya, dua anak yang seumuran dengannya itu juga langsung percaya dan tidak pernah berpikir Caspian gila atau semacamnya.
"Collin! Yorez!" Sapanya. Dua lelaki berumur tiga belas tahun yang berdiri di samping gerbang istana itu melambaikan tangan.
Collin berambut pendek hitam. Kulitnya agak tan. Dia lebih pendek beberapa senti dari Yorez. Sedangkan Yorez memiliki rambut sebahu seperti Caspian.
"Kalian sudah membereskannya?" Caspian merangkul bahu Collin. Itu lebih nyaman untuknya ketimbang merangkul Yorez yang lebih tinggi darinya.
"Lihat saja sendiri." Collin menunjuk dua orang yang sedang berbaring di balik semak-semak.
Mungkin tak akan kelihatan jika orang keluar masuk dan tak begitu memperhatikan. Tapi Caspian bisa melihat jelas kaki-kaki yang terbujur disana.
Caspian myeringai puas dan mengangguk. Dia menepuk bahu Collin dan Yorez bersemangat.
"Bagus kawan. Sekarang kita harus secepatnya pergi dari sini. Sebelum ayahku memerintahkan pengawalnya mencari kita yang hilang."
Ketiganya mendekati tiga kuda yang sudah terikat cantik di pohon sana. Melepaskan tali dan berkuda menuju hutan hitam.
Mereka sedang kabur dari istana. Ketiganya berencana untuk menjelajahi hutan hitam untuk menyelidiki sesuatu. Mereka tak percaya akan hantu dan penyihir hitam yang katanya hidup disana.
Kalaupun ada, mereka tak yakin kalau para penyihir itu jahat. Katanya di masa Narnia Lama juga ada Penyihir Agung yang baik hati. Namanya Eva.
Caspian suka mendengar cerita tentang Eva. Penyihir yang menjaga Narnia selama ratusan tahun sembari menunggu ramalan terjadi. Bisa dibilang dia adalah fans beratnya. Jika boleh berharap, dia ingin bertemu sekali dengan Eva.
Sayangnya, pelayannya bilang Eva telah lama meninggal. Tapi beberapa percaya kalau Eva bisa dibangkitkan kembali melalui ritual khusus di meja batu. Karena itulah Caspian dan dua temannya akan mencari meja batu dan membangkitkan Eva.
Terdengar seperti lelucon memang. Tapi menurut Caspian, tidak ada lagi yang bisa menolong Narnia saat ini. Caspian belum cukup umur, dan ayahnya yang bengis juga masih hidup.
Lalu, para Raja dan Ratu Narnia lama menghilang begitu saja. Hanya tersisa ritual kuno menurut Caspianlah yang bisa dia lakukan saat ini.
Narnia baru jauh dari kata aman. Pajak tinggi, kekerasan dimana-mana. Caspian sering melihat banyak kejahatan di kastil tempatnya tinggal.
Beda jauh dengan apa yang diceritakan pelayannya. Konon katanya, Narnia lama begitu damai. Tidak pernah satupun rakyat yang mengeluh akan pemerintahan raja mereka.
Semuanya hidup dengan tolong-menolong. Kalaupun ada yang bertengkar, semuanya akan mencari jalan agar bisa akur kembali. Sungguh negara impian.
Collin menghentikan kudanya. Membuat Caspian dan Yorez juga ikut berhenti. "Ada apa, Collin?" Yorez bertanya.
"Aku yakin. Harusnya tidak jauh lagi."
•
•
•
TBC~
Hai haii~~
Huwaaaaaaa!!!! Maafkan saya yang sempat lupa update.( TДT)
Sebagai permohonan maap, aku double update! Semoga kalian suka!
Btw disini mukaknya Caspian 9 anggap aja kek Caspian 10.
______________________________________
31 Desember 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top