3. Tak Punya Pilihan
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
'Beberapa hal memang harus diterima, bukan karena Allah benci, tapi karena mungkin itu adalah yang terbaik.'
De Beste Imam
~Thierogiara
***
Zahra mengurut keningnya, dia tak tahu lagi dengan jalan pikiran abinya yang sangat rumit untuk dimengerti. Bagaimana bisa dia menikah di umur segini dengan seseorang yang juga umurnya sama dengannya.
"Abi yakin mau nikahin Zahra sama Andaru?" tanya Zahra, cita-cita menikah muda tak ada dalam kamusnya, apalagi dengan sosok seperti Andaru.
"Yakin," jawab Arifin tanpa menoleh ke arah Zahra, bagaimanapun dia adalah seorang ayah, bohong kalau dia tak luluh dengan tatapan anak perempuannya.
"Bi! Aku sama Andaru itu beda banget. Dia cuma anak supir dan aku udah biasa hidup enak." Zahra melipat kedua tangannya di depan dada, dia merasa perlu mengungkapkan semua kegelisahan hatinya agar orang tuanya sadar kalau semua ini tak benar.
"Jaga bicara kamu Zahra, siapa yang mengajarkan kamu untuk menilai seseorang dari segi ekonomi?" Yumna angkat bicara, kalau masalah ini maka dia sebagai ibu harus ikut turun tangan.
Zahra mengatupkan bibirnya, apa hidupnya benar-benar sebercanda itu di mata kedua orang tuanya? Kenapa kedua orang tuanya sama sekali tak memikirkan masa depannya, dia masih ingin ke Belanda, dia masih memiliki mimpi untuk belajar di Leiden University. Zahra tak siap dengan pernikahan dan segala permusuhan di dalamnya.
"Aku masih punya masa depan," kata Zahra mulai putus asa.
"Gimana sama kuliah ke Belanda? Gimana sama mimpi-mimpi aku soal sejarah Indonesia di sana? Aku nggak mau nikah Bi, bukan nggak mau tapi nggak bisa." Dan kini Zahra sudah menurunkan emosinya, Zahra berusaha memelas agar abi dan uminya sedikit melunak.
"Kamu nggak akan bisa mencapai itu semua dengan kelakuan kamu yang sekarang? Kamu akan tetap menikah, dengan atau tanpa persetujuanmu," pungkas Arifin masih enggan menatap ke arah Zahra, keputusannya sudah bulat, Zahra harus memiliki sosok yang tepat untuk berada di sampingnya, menggandeng tangannya guna menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Zahra memejamkan matanya. "Kenapa? Aku janji bakal ikutin maunya Abi mulai sekarang, pokoknya aku janji nggak bakal ngelakuin hal yang nggak Abi suka, tapi tolong jangan nikahin Zahra Bi, Zahra nggak mau." Zahra memegang lengan abinya, Arifin menoleh jujur saja dia hampir terpengaruh dengan bujukan Zahra, namun kemudian dia sadar kalau ini adalah yang kesekian kali Zahra mengatakan kalau dia ingin berubah.
"Andaru, adalah sosok yang baik agamanya, ketika Abi memintanya untuk menikah dengan kamu dia menjawab dengan matap kalau dia mau, kamu nggak akan menemukan sosok seperti dia lagi di lain waktu, sebagai ayah, Abi selalu mau kamu mendapatkan yang terbaik." Karena Zahra melunak dan mulai berbicara lembut dengannya, Arifin juga melakukan hal yang sama.
"Umi... " Kini Zahra beralih ke uminya.
"Kalian hanya menikah, kamu akan mendapat bimbingan dari Andaru, tak ada paksaan kamu harus menjalani pernikahan sebagaimana mestinya." Yumna mengelus kepala Zahra lembut.
Merasa sudah tak ada lagi yang bisa ia lakukan, gadis itu memilih bangkit dari duduknya kemudian berjalan cepat menaiki tangga meninggalkan kedua orang tuanya. Zahra kesal tentu saja! Masa depannya terancam terjadi tak sesuai dengan keinginannya. Selamanya dia akan bersama Andaru, hal yang sama sekali tak pernah Zahra bayangkan sebelumnya.
Saat Zahra akan masuk ke kamarnya, matanya tak sengaja menangkap kedua abangnya sedang duduk di balkon. Maka Zahra berbelok, kedua abangnya sangat menyayanginya, Zahra tahu kalau keduanya juga pasti tidak setuju dengan keputusan kedua orang tua mereka.
Zahra mendudukkan dirinya di sebuah bangku kemudian menghela napas lelah.
"Kayaknya di antara kita bertiga, anaknya abi sama umi yang paling nggak beruntung cuma aku," ujar Zahra memulai obrolan, kedua abangnya sudah sukses Fatih adalah sosok ustadz muda yang mengajar di salah satu pesantren, tak hanya itu lelaki dua puluh tujuh tahun tersebut bahkan memiliki sebuah brand busana muslim untuk laki-laki yang relasinya adalah para artis dan celebgram. Sementara Al sudah menjadi kapten penerbangan nasional. Kedua abang Zahra tak pernah dipaksa untuk mengikuti kemauan kedua orang tua mereka. Hanya Zahra! Titik.
"Ngomong apa sih Dek!" tegur Al tak suka.
"Iyalah, kalian yang udah cukup umur nggak pernah tuh direcokin soal pernikahan, kenapa aku yang bahkan nggak ngerti sama dunia itu dipaksa untuk menjalaninya. Dunia itu nggak adil, seharusnya aku emang nggak usah lahir sebagai anaknya abi sama umi, aku nggak cocok di keluarga ini," terang Zahra dengan sorot mata sendu yang amat sulit dijelaskan.
Berbeda dengan Al yang sudah mulai terpancing, Fatih memilih untuk tetap tenang, dia sudah biasa menghadapi murid-muridnya, tak terlalu sulit untuk memahami Zahra.
"Setiap orang tua mau yang terbaik untuk anaknya, abi pilihkan Andaru karena suatu saat mungkin kamu nggak akan menemukan sosok seperti itu, kamu nggak akan menemukan seorang penghafal Qur'an seperti Andaru," terang Fatih, dia sedikit mempermasalahkan umur Zahra yang masih muda, namun dia tak mempermasalahkan soal Andaru, karena Fatih yakin Andaru adalah pengaruh baik untuk Zahra.
"Baaang, tolong bilang sama abi Zahra nggak mau nikah." Kini Zahra memasang pupy eyes ke arah Fatih, dia tahu abangnya sangat menyayanginya, pilihan terakhir adalah membujuk mereka untuk membujuk kedua orang tua.
"Semua ini adalah yang terbaik." Fatih mengelus kepala Zahra penuh cinta.
"Makanya jangan bandel, dibilangin kalau udah tujuh belas tahun udah jangan lagi suka gonta-ganti warna rambut, masih aja bandel!!" omel Al. Dia sudah mewanti-wanti kalau Zahra harus berhenti nakal saat sudah umur tujuh belas tahun, karena ini terkadang abinya mengambil keputusan yang sangat tidak terduga. Umur tujuh belas tahun adalah umur yang sudah cukup dewasa di keluarga mereka, maka menikah di umur segitu tidak akan menjadi masalah, asal dengan orang yang tahu asal usulnya, sudah kenal dan sudah dipastikan siap.
"Ish." Zahra memukul perut Al, abangnya yang satu itu memang sangat menyebalkan. "Tujuh belas tahun aku juga masih remaja, nggak mau nikah umur segini," keluh Zahra.
"Menurut kamu remaja, menurut abi sama umi? Kamu sih bandel banget Ra, mau jadi apa sih?" lipstikah dengan kelakuan adiknya itu, sering memakai lipstik berwarna hitam menurut Al itu sangat tidak masuk akal.
"Kamu terus berusaha memberontak menunjukkan kenakalan kamu, kamu pikir abi nggak bakal bertindak?"
"Makanya aku bilang aku nggak cocok terlahir di keluarga ini." Zahra melipat kedua tangannya di depan dada lantas kembali menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi.
"Mau nyalahin takdir Allah? Sendirinya yang nggak mau berubah, malah mau nyalahin Allah!!!"
Fatih menatap Al lantas menggeleng, Zahra sedang tidak akur dengan kedua orang tua mereka, di saat seperti ini mereka tak boleh membuat hubungan mereka dengan Zahra renggang, nanti siapa lagi tempat Zahra mengadu? Siapa lagi yang akan Zahra dengarkan?
"Aku tuh di sini mau cari pembelaan, selama ini kalian sebenarnya sayangnya cuma pura-pura ya sama aku?" tanya Zahra marah.
"Abang setuju sama abi," ujar Fatih. "Kamu mungkin akan lebih baik jika ada yang membimbing."
"Pura-pura apaan sih." Al mengacak rambut Zahra.
Zahra langsung menghempas tangan Al. "Ish tolongin aku sih!!" kesal Zahra.
"Udahlah nurut aja, kapan lagi kamu dapet yang kayak Andaru," ujar Fatih.
"Ganteng juga kok Andaru," kata Al.
Zahra bangkit dari duduknya menghentakkan kaki lantas pergi dari sana. "Kalian berdua sama aja!!!"
***
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Gimana? Masih setia kan sama kisah ini?
Jangan bosen-bosen ya.
Maaf publish nya lama, karena kehidupan di luar dunia kepenulisan ternyata nggak pernah semudah itu🙃🙃🙃
Do'ain aku semangat terus untuk hidup ya.
Oke see you on next chap enjoy!!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top