09. Antara Kau, Hujan dan Mekdi
Media : Kangen Band - Yolanda (udah dengerin aja)
Vommentnya yuhuuu (:
.
.
.
.
.
"Yang lembek cukup kentang goreng aja, nyali kamu jangan!"
----
Petang sudah datang saat Hari dan Bulan masih terjebak di sebuah restoran cepat saji yang mereka kunjungi sepulang sekolah. Bulan masih menatap dinding kaca yang basah karena cipratan air hujan yang masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
Sebenarnya, ia bisa saja meminta Mang Aming menjemputnya. Namun, ia tidak setega itu membiarkan Hari terjebak hujan sendirian di tempat ini.
"Ayo, balik aja, Har. Hujan-hujanan." saran Bulan tersebut langsung ditolak mentah-mentah oleh Hari.
"Gak! Nanti, kalo sakit gimana? Lagian, ini udah gelap. Kamu kalo mau minta jemput, ya jemput aja. Saya, kan, laki-laki. Bisa pulang nanti-nanti nunggu hujan reda."
"Gak bisa, dong. Saya gak setega itu ninggalin kamu sendirian di sini."
Hari hanya bisa menatap kesal ke arah Bulan. Ia tahu, gadis itu sudah tampak kebosanan karena terus memandang ke arah luar, ponsel dan jam tangannya terus-menerus.
"Ngeyel banget, sih."
"Terserah!"
Perdebatan keduanya menarik perhatian orang-orang yang duduk dekat mereka. Bahkan, bukan sekali mereka mendengar celotehan kalau mereka adalah pasangan remaja labil yang tengah meributkan hubungan mereka. Baik Hari ataupun Bulan, sama-sama bergidik ngeri mendengarnya.
"Mau pesen makan lagi? Saya yang bayar, deh." tawar Hari.
"Gak mau. Yang tadi aja belum sempurna dicerna di perut."
"Kamu kalo mau pulang, pulang duluan aja gapapa, ya. Saya, kok jadi ngantuk gini, ya?" Hari menguap beberapa kali sebelum meletakkan kepalanya ke atas meja dan memejamkan mata.
Bulan yang melihat itu hanya bisa geleng-geleng sambil tersenyum. Bagaimana bisa, lelaki itu tidur di tempat umum seperti ini? Meskipun, suhu di ruangan ini sudah diatur, tapi gemericik hujan di luar terdengar syahdu seperti lagu pengantar tidur.
Melihat Hari yang sudah pulas, membuat Bulan merasa mengantuk juga. Ia menopang dagunya namun tetap menjaga matanya agar tidak terpejam.
Tiba-tiba...
Dukkk.....
Kepala Bulan menimpa kepala Hari yang berada di atas meja dan tentu saja hal itu membuatnya terbangun karena hantaman kepala Bulan cukup keras mengenai kepalanya.
"Aww..." Hari meringis memegangi kepalanya yang terasa agak pusing.
"Aduh, maaf, Har. Tadi, kebawa ngantuk juga terus tanganku oleng." Bulan memeriksa kepala Hari dengan tangannya. Takut-takut lelaki itu gegar otak.
"Gapapa. Cuma, agak kaget aja."
"Beneran?" Bulan masih mengusap-usap kepala Hari dengan khawatir.
"Iya. Kalo saya amnesia, pasti langsung nanya. Aku siapa? Aku di mana?"
"Malah bercanda!" Mau tidak mau, Bulan tertawa juga.
Bukan karena jokes Hari, tapi muka lelaki itu terlihat konyol saat memperagakan orang amnesia.
"Eh, eh, matanya ilang. Di colong siapa tuh?" tanya Hari sambil menunjuk mata Bulan yang terpejam karena tertawa.
"Gak ilang, Hari."
"Tapi, ya. Kamu jangan ketawa kalo lagi jalan, nanti kesandung."
Bulan hanya mengerucutkan bibirnya. Memang, matanya selalu menyipit saat tertawa. Bahkan, terlihat seperti terpejam.
"Udah lah, Har. Ayo, pulang aja. Hujannya pasti gak bakal berhenti."
Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul tujuh malam dan hujan masih turun konsisten seperti beberapa jam lalu saat pertama turun.
"Gak. Sakit baru tau nanti!"
"Ih, masa, cowok lembek gitu?"
"Bukan saya, tapi kamunya."
Ucapan Hari yang baru saja itu menciptakan perasaan lain dan memicu detak jantungnya menjadi lebih cepat. Bulan sempat membuang napasnya kasar dan mengenyahkan atmosfer aneh ini.
"Gak bakal sakit, kok. Lagian, aku gak takut hujan. Kalo kamu yang cemen, ngaku aja!" tantang Bulan.
"Ya udah, kalo kamu maksa. Tapi, kalo besok demam, aku gak tanggung jawab, ya."
"Iya, ayo!"
Bulan menyerahkan jaket yang sejak tadi ia tenteng di tangan kanannya pada Hari.
"Pake aja," tolak Hari.
"Nggak. Kamu, kan yang di depan. Aku kehalang, kok. Lagian, ini gak keliatan kayak jaket cewek."
Hari akhirnya menurut dan mengenakan jaket Bulan setelah mengenakan helm.
"Kalo naik motor, biasain pake jaket. Selain biar seragamnya gak cepet kusam, jaga-jaga juga kalo pas musim hujan gini."
"Iya, Bunda." kekeh Hari yang membuat Bulan melayangkan sebuah pukulan ke bahunya.
"Lagian, kamu ngomongnya kayak bunda kalo ngomel di rumah."
"Udah, ayo jalan. Nanti, makin kemaleman."
Hari mulai melajukan vespanya berusaha menembus hujan yang masih lebat. Ia lebih berhati-hati karena jalanan cukup licin. Untung saja, tidak banjir.
"Kalo kamu kedinginan, masukin tangannya ke saku jaket. Ini bukan modus, lho, ya. Cuma, emang udaranya dingin banget. Apalagi, seragam kamu tangan pendek," ucap Hari agak berteriak karena deru vespa yang melaju terdengar bising.
Bulan memilih memeluk pinggang Hari daripada memasukkan lengannya ke dalam jaket. Memang, cuaca benar-benar terasa sangat dingin. Terbayang, kalau Hari tidak mengenakan jaketnya. Pasti, rasa dinginnya lebih menusuk, karena selain lelaki itu berkendara, tubuhnya yang kurus juga pasti tak bisa menghalau angin.
"Har, badan kamu gemukin, kek. Biar enak dipeluk," ujar Bulan.
"Hah?"
Bulan langsung memukul mulutnya yang salah bicara. "Badan kamu kecil banget, untung aja gak terbang kebawa angin." Kali ini, Bulan berteriak.
"Gak tau. Takdir kali. Padahal, makan mulu."
"Makanya, jangan pelihara cacing pita."
"Eits, tolong ngaca dong. Emang, kamu tumbuh? Udah SMA badannya masih kayak anak TK. Ini meluk juga serasa upil nempel."
"Heh! Enak aja upil!"
"Nah, nyampe. Helmnya jangan lupa lepas, ongkosnya, jangan lupa kasih bintang lima ya, Mbak."
Bulan tertawa sambil melepas helm yang dikenakannya.
"Jaketnya?"
"Pake aja sama kamu. Kan, masih jauh. Dingin."
"Oke, makasih."
"Aku yang makasih."
Bulan masih berdiri di depan pagar rumahnya sampai Hari melakukan vespanya menjauh dari sana.
****
"Bulbul." Hari yang sudah menunggu di depan kelas Bulan, langsung menyerahkan paper bag yang dibawanya.
"Lho, kok, wangi banget?" tanya Bulan setelah melihat isi paper bag tersebut.
"Semalem, langsung Bunda cuciin biar bisa dibawa hari ini. Soalnya, saya lupaan. Nanti, dikira nyolong jaket kamu."
"Gak gitu juga, Hari."
"Dah, ah. Cuma gitu aja. Bye!"
Bulan hanya tersenyum sambil mendekap jaketnya tanpa memasukkannya kembali ke dalam paper bag.
"Bulan, kamu abis dapet arisan, ya?" tanya Nela tiba-tiba.
"Ah, nggak. Kata siapa, kamu?"
"Itu, aku liat, kamu senyum-senyum terus."
"Nggak, Nel."
Bulan memilih menenggelamkan kepalanya di atas meja untuk menyembunyikan senyumnya. Lagi-lagi, jantungnya berdetak lebih cepat. Padahal, ia tak punya riwayat penyakit jantung.
"Oh, jangan-jangan, kamu lagi jatuh cinta, ya?"
Pertanyaan Nela kali ini membuat Bulan mengubah posisinya menjadi duduk tegap.
"Jatuh cinta sama siapa?" sambarnya cepat.
"Ya, mana aku tau." Nela mengangkat bahunya.
Tunggu, jatuh cinta katanya? Masa, Bulan jatuh cinta pada Hari? Bagaimana bisa? Lelaki itu lebih banyak membuat Bulan kesal. Bagaimana bisa membuat gadis itu jatuh cinta?
"Nggak! Aku gak jatuh cinta! Masa, diperhatiin dikit aja baper? Lembek banget!" rapal Bulan dalam hati.
Dari seratus, mungkin, persentase menyukai Hari hanya nol koma sembilan persen. Apalagi, sampai jatuh cinta. Rasanya, akan sangat mustahil. Tapi, masalah hati siapa yang tahu? Memang, manusia punya hati, tapi kendali perasaan bukan di tangan manusia itu sendiri.
Yhaaaaa generasi buchen nih!
#SalamKetjupBasyah 😘💦
#authorterjomlosedunia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top