07. Zona Nyaman

On mulmed : Fourtwnty - Zona Nyaman
Vote vote vote
.
.
.
.
.

"Nyaman belum tentu cinta. Bisa saja itu... sofa."

----

Bulan sudah beberapa kali jalan dengan Bintang. Tentu saja, dengan ide gila Hari yang awalnya mengajak bertemu dan membatalkannya secara tiba-tiba. Jadilah tinggal mereka berdua. Entah, kenapa manusia normal harus percaya pada ucapan konyol lelaki cungkring itu.
Namun, satu hal yang membuat Bulan galau. Ia sebenarnya cinta atau tidak pada Bintang? Gadis itu sampai mencari 'ciri-ciri orang jatuh cinta' di sosial media untuk meyakinkan perasaannya. Dan anehnya, tak ada satupun ciri-ciri yang mengarahkannya pada jatuh cinta.

Yang Bulan rasakan, hanya gugup biasa ketika pertama bicara dengan orang asing. Selanjutnya, ia dapat bicara biasa karena bawaan Bintang yang menyenangkan saat bercakap-cakap. Tetapi, di sisi lain, Bulan merasa nyaman. Ya, bisa bebas bicara, berekspresi, tapi tidak berdebar-debar khas orang jatuh cinta. Ia malah lebih merasa dekat dengan kakaknya. Meski, Bulan adalah anak tinggal. Ia merasa ada seseorang yang membuatnya merasa seperti seorang adik kecil yang manis.

"Arghhh... jadi gimana?" Bulan mengacak rambutnya sendiri sambil membolak-balik tubuhnya di atas kasur seperti ikan sedang digoreng.

****

"Hari," panggil Bulan saat melihat kakak kelasnya itu tengah membereskan mading depan kelasnya.

"Heh, ngapain di sini, sih? Mau nyamperin Bintang? Ampun, jangan lenjeh-lenjeh banget, deh!" omel Hari sebelum Bulan menyampaikan maksudnya.

"Dih, bacot! Orang belum ngomong apa-apa udah nyamber aja kayak api kena bensin! Belum juga ngomong udah kesel duluan!"

Bulan yang awalnya akan bercerita pada Hari menjadi malas. Moodnya jelek seketika karena omelan Hari yang tak berdasar.

"Dasar cungkring! Manusia cilok! Jama gelo! Sebel!" umpat Bulan sepanjang jalan kembali ke kelasnya.

Namun, saat melihat kelasnya tampak hanya beberapa orang, Bulan memutar balik menuju kantin. Marah-marah membuat perutnya terasa lapar. Lumayan, masih ada sepuluh menit. Cukup untuk mendiamkan cacing-cacing yang demo di perutnya.

Jangan tanya di mana Didi dan Jihan. Kedua sohib kentalnya itu sudah tertular virus rajin anak-anak IPA yang lain. Dan kini, tinggallah Bulan sendirian di kantin. Ia ingin secepatnya menghabiskan bakso dihadapannya. Namun, ia bukan tukang debus yang bisa menyantap makanan panas.

"Semoga, bisa habis sebelum lima menit," gumam Bulan pada dirinya sendiri.

"Bulbul, tadi mau ngomong apa?"

Kedatangan Hari yang tiba-tiba dan memanggilnya dengan panggilan kesayangan mamanya itu sontak membuat Bulan hampir memuntahkan bakso yang sudah dikunyahnya dengan sempurna.

"Minum, minum." Hari menyodorkan air mineral dingin pada Bulan.

"Sorry, ngagetin. Tadi, mau ngomong apa?"

"Gak jadi, udah masuk!" ketus Bulan sambil berjalan cepat meninggalkan Hari yang masih duduk menatap punggung gadis itu.

"Jih, pundungan." Hari mengangkat bahunya dan berlalu juga dari kantin.
(Yeu, ngambekan)

Bulan masih murung bahkan sampai di rumah. Entah kenapa, tuduhan Hari tadi sangat mengena di hatinya. Kan, jadi baper, kan? Padahal, ia hanya ingin menyampaikan, kalau sebenarnya ia tidak ingin punya hubungan selain kakak adik dengan Bintang. Memang terdengar klise, sih. Bulan juga merasa, sejauh ini, Bintang tidak menyukainya dalam arti lain.

Alih-alih menghilangkan galau karena ucapan Hari, Bulan malah mengajak Bintang bertemu. Mungkin, ini saatnya ia mengungkapkan semuanya.

Tenyata, Bintang adalah cowok paling on time yang pernah Bulan kenal. Tidak seperti cowok sekelasnya saat kerja kelompok yang bilang sudah OTW padahal baru bangun tidur.

"Bulan, ada apa?" tanya Bintang to the point.

"Makan dulu, Kak. Masa ke sini gak makan apa-apa. Malu sama Mbak waitress yang mondar-mandir ngasih kode dari tadi," kekeh Bulan.

Selesai makan, Bulan yang gugup hanya mengigiti ujung sedotan yang minumannya sudah habis. Sedangkan, Bintang yang menyadari kegugupan Bulan mengurungkan niatnya untuk bertanya. Ia punya banyak waktu sampai gadis itu siap bicara.

"Kak Bintang, jadi, gini." Bulan membuka pembicaraan dengan ragu-ragu.

"Oh, gitu," sahut Bintang untuk mencairkan suasana.

"Kak Bintang, maaah..."

"Iya, iya. Kenapa?"

"Kak, jadi, Bulan suka sama Kak Bintang dari SMP. Jangan ketawa! Tapi, ya. Bulan ngomong gini karena setelah deket sama Kak Bintang, Bulan ngerasa ternyata, Bulan selama ini cuma kagum sama Kak Bintang. Bulan sampe searching ke google tapi emang Bulan cuma kagum sama Kak Bintang," celoteh Bulan dengan polosnya.

Bintang malah tertawa mendengar celotehan Bulan yang terdengar polos.

"Tau."

"Pasti Hari yang ember, kan?" tebakan Bulan tepat sasaran.

"Tapi, dengan konyolnya, kita nurut-nurut aja dibegoin dia."

"Nah iya."

"Sebenernya, nih. Aku mau ngomongin ini juga, kalo kata Hari, coba aja jalanin siapa tau move on. Tapi, perasaan gak bisa dipaksa, kan?"

"Betul, Kak. Lagipula, nyaman belum tentu cinta, kan? Siapa tau sofa."

Bintang tertawa mendengar ucapan Bulan yang sangat absurd.

"Sejauh ini, aku nyaman, kok sama kamu. Kamu itu lucu, enak diajak cerita. Gak sok jaim. Tapi, bukan suka dalam arti lain."

"Bulan juga gitu ngerasanya, Kak. Bulan kira, Kak Bintang itu cowok impian Bulan. Ternyata, nggak."

"Lagian, aku belum move on dari mantanku. Jahat banget, dong kalo jadiin kamu pelarian."

"Hehehe, iya. Btw, kita enteng banget, ya bahas perasaan."

"Hooh, aneh deh."

Akhirnya, mereka malah bercerita banyak hal dan Bulan juga tenang bisa mengatakan semuanya tanpa mengubah apapun. Bulan tidak membiarkan Bintang mendengar berita simpang siur tentang perasaannya dan malah membuat salah paham.

"Pulangnya mau dianterin, gak?" tawar Bintang.

"Gak usah, ah. Nanti, kepergok mantan Kakak di jalan malah bikin salah paham. Good luck buat misi balikannya, Kakakku."

"Thanks. Hati-hati, ya."

Nah, selama-lamanya memendam perasaan, alangkah baiknya jika kemudian diungkapkan. Daripada didahului oleh gosip orang lain yang malah membuat kedua belah pihak salah paham dan membuat pertemanan renggang.

****

"Hai, Bulan. Selamat pagi."

Bulan malah memalingkan wajahnya. Ternyata, ngambeknya pada Hari masih berlanjut. Pokoknya, Bulan masih kesal karena tuduhan Hari yang tanpa sebab itu. Ia tak suka dianggap seperti itu.

"Bulbul. Jangan pundungan gitu, ih."

"Memangnya, kamu pikir, dituduh seperti kemarin itu gak kesel? Kamu kalo mau ngomong tuh mikir dulu bisa, kan? Jangan bacot seenak jidat!"

Bulan sengaja menabrak bahu Hari sebelum berjalan meninggalkan lelaki itu.

"Bul, mukanya kenapa? Kok, ditekuk kayak martabak, gitu?" tanya Nela absurd.

"Nel, kamu kesel gak?"

"Nggak."

"Aku belum kelar ngomong, ih! Kamu kesel gak kalo dituduh lenje, padahal nggak. Terus kamu dituduh suka sama orang padahal nggak. Aku mau jelasin, tapi keburu kesel!"

"Apa? Cowok yang kamu suka, nuduh kamu suka sama cowok lain? Dan kamu takut dia salah paham?"

Pertanyaan Nela sedikit membuat Bulan berpikir. Kenapa ia kesal karena tidak bisa menjelaskan pada Hari? Dan kenapa ia kesal saat Hari menganggapnya mencintai Bintang? Dan yang lebih kenapa, kenapa ia harus menjelaskan semuanya pada Hari?

"Gak gitu juga, Nela," cicit Bulan.

Padahal, kan, Hari memang sering membuatnya kesal. Jadi, wajar saja, kalau kali ini, tingkah lelaki itu kembali membuatnya kesal. Kenapa Bulan malah repot-repot memikirkan kekesalannya? Bukannya itu memang sudah biasa?

Kenapa oh kenapa?













Benang Bulan dan Bintang emang gak kusut. Soalnya bukan itu benang merahnya. Ehehe
Masih stay gak?
#SalamKetjupBasyah 😘💦
#authorterjomblosedunia

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top