05. Obat Anti Nyamuk

Vote vote vote...
.
.
.
.
.

"Kalau suka, bilang. Gak berani, ya beraniin. Soalnya, kasih surat udah gak zaman!"

----

Pagi ini, senyuman di bibir Bulan merekah seperti mendapat kuis berhadiah dua juta rupiah. Gadis itu bersenandung kecil sambil berjalan sedikit melompat-lompat. Ia lupa kalau ini gedung SMA, bukan TK. Tapi, apa peduli nya? Yang penting, ia sedang berada dalam fase bahagia-bahagianya.

Bagaimana tidak, semalam, Bintang membalas pesan yang dikirimkannya. Jangan ditanya lagi, dari mana ia mendapat kontak Bintang. Siapa lagi kalau bukan Hari? Lelaki cungkring yang sudah mengikrarkan diri akan membantu proses PDKT Bulan dengan Bintang.

"Ayam geprek!"

Panggilan itu membuat bunga-bunga cinta di hatinya memudar perlahan. Kenapa bukan Bintang yang menyapanya di pagi yang selalu gak cerah-cerah amat akhir-akhir ini?

"Ish, kok, kamu sih?" tanya Bulan sewot.

"Heh ayam geprek, bodi lepek, kamu yang sopan dong sama saya. Oh, iya, saya cuma mau ngingetin, ciloknya jangan lupa nanti pulang sekolah, ya." Hari mengedipkan sebelah matanya sebelum meninggalkan Bulan yang masih menekuk bibirnya.

Sibuk bucin, ia lupa kalau hari ini ada tugas. Memangnya, kalau tidak bucin, bakal ingat tugas? Tidak juga, sih. Dengan jurus paling ampuh pelajar yang malas mengerjakan tugas, Bulan dan Nela langsung berbagi tugas untuk browsing dan mencatat. Ya, kelakuan dua rekan sebangku ini tidak ada bedanya, ternyata.

"Kelar juga, ya, Bul."

"Yoai, Nel. Keren juga, ya, kita?" sahut Bulan sambil memberi tos pada teman sebangku nya itu.

Keren apanya? Memindahkan seluruh jawaban dari internet dengan tanpa dibedakan satu titikpun.

"Eh, guru sosiologi gak masuk!" teriak ketua kelas Bulan dengan lantang.

Sorak-sorai tak henti-hentinya terdengar di kelas itu. Hanya Bulan dan Nela yang agak kecewa karena sudah menghabiskan kuota demi tugas kilat yang mereka kerjakan.

"Eits, tapi, kita dapet tugas lagi."

Lanjutan pembicaraan dari sang ketua kelas kali ini juga mendapat sorakan. Namun, bukan sorak bahagia, melainkan melayangkan protes.

"Ah, tugas terus, masuk juga gak pernah!" maki Bulan sambil menutup buku paket dihadapannya.

Siapa yang mau mengerjakan tugas segini banyak? Sedangkan, tangannya saja belum beristirahat dari mengerjakan PR yang terlambat.

"Nela, mau ikut ke kantin, gak?"

"Nggak, ah. Nanti, kalo ketahuan guru piket males, harus kena hukum," tolak Nela yang memilih tidur saja di kelas.

Bulan yang malas mendengar keributan di kelas, lebih memilih pergi ke kantin meski waktu KBM masih berlangsung. Ia yakin, kalau guru piket tidak akan berkeliaran dan memergokinya. Dengan langkah santai,  gadis itu berjalan memasuki kantin yang benar-benar sepi. Ia memilih duduk di tempat paling pojok agar bisa bersandar pada tembok.

"Cie... bolos nih, ye?"

Bulan hampir saja tersedak mendengar suara yang tak asing lagi baginya. Siapa lagi kalau bukan Hari? Belum setengah hari saja, ia sudah dua kali bertemu Hari. Hari-harinya seakan penuh dengan Hari. Ia jadi bergidik ngeri. Takut kayak peribahasa, alah cinta karena biasa.
Peribahasanya alah bisa karena biasa, padahal. Tapi, berhubung Bulan selalu mengantuk saat pelajaran bahasa Indonesia, otaknya keseleo merekam peribahasa itu.

"Kenapa, sih? Kalo ada saya, kayaknya kamu bergidik mulu. Saya bukan hantu, ya. Lagian, kalo saya hantu, yang lain minder, dong?" celoteh Hari.

"Apa sih, gak jelas banget?"

"Heh, baru kelas sepuluh udah berani bolos."

Bulan tidak menjawab. Mie ayam dihadapannya lebih menarik dari pertanyaan yang dilontarkan Hari.

"Kalo ditanya itu, jawab!"

"Jamkos. Terus, kamu juga kenapa bolos?"

"Cie... nanya balik, tuh?" goda Hari.

"Gak usah dijawab!" bentak Bulan sewot.

"Yang lain lagi remedial."

"Kamu gak remedial sendiri? Masa? Kak Bintang?"

"Bintang molor waktu mau ulangan, lupa belajar. Kalo saya, kan pinternya udah di luar kepala." Hari menepuk dadanya jumawa.

"Kalo di luar kepala, keanginan dong?"

"Yeu, sa ae, gantungan kunci."

Hari tetap memilih duduk di depan Bulan meski sudah diusir berkali-kali. Ia berdalih, kalau ini tempat umum. Jadi, siapa saja boleh duduk di sini. Kecuali, anak TK. Ya, karena beda sekolah.

****

"Hari, mana, Kak Bintangnya?" tanya Bulan tak sabaran.

"Udah di bilang, sopan gitu. Hari, Hari. Kakak, kek. Aa, kek," protes Hari yang lagi-lagi karena panggilan yang dilontarkan Bulan.

"Tuh, makhluknya!" tunjuk Hari pada lelaki yang berjalan sambil merapikan rambut gondrongnya yang berantakan tertiup angin.

Bulan hampir tak berkedip memperhatikan Bintang yang seakan berjalan slow motion ke arahnya dengan back song tetetetew.

"Biasa aja liatinnya!" Hari tak tahan untuk mencibir Bulan dengan wajah mupengnya.

"Gak usah sirik!"

"Hai, Bulan," sapa Bintang yang kini sudah berada di depan Bulan.

"Hallo, Kak Bintang. Ada yang bisa Bulan bantu?"

Hari segera menoyor kepala gadis itu saat mendengar jawabannya yang malah mirip dengan petugas operator.

"Namanya juga gugup!" bisik Bulan.

"Oh, iya. Katanya, kamu mau traktir--"

"Iya, dalam rangka anak kadalnya ulang tahun, Bulan mau traktir kita cilok, Tang," sambar Hari sebelum sepupunya itu melanjutkan pembicaraannya.

Tentu saja, Bulan kesal bukan main. Mana ada dia pelihara kadal? Tanggung. Bulan malah berharap bisa memelihara buaya... darat.

Hari malah lebih antusias dengan ciloknya sampai lupa kalau ia di sini dalam rangka memperingati HUT RI. Bukan. Dalam rangka menjadi pak comblang bagi Bulan dan Bintang. Ia memang tak ingin dipanggil mak, soalnya dia bukan perempuan katanya.

"Eh, Kak Bintang suka cilok juga ya?" tanya Bulan akhirnya dengan suara yang sangat beda sekali saat ia memaki Hari.

"Suka, sih. Tapi, gak kayak Hari yang no cilok no life. Saya kadang-kadang aja."

Jawaban Bintang membuat Bulan mendelik tajam ke arah Hari yang di mana lelaki itu malah tak melihat ke arahnya sama sekali. Niatnya, ia ingin mentraktir Bintang dengan makanan kesukaannya. Ini malah Hari yang memanfaatkan keadaan.

Walau masih ada obat nyamuk macam Hari, tapi Bulan masih senang karena bisa mengobrol dengan Bintang. Walaupun lagi, cuma di samping sekolah sambil makan cilok. Rasanya, ia tak mau detik ini berlalu begitu saja.
Lagi pula, berdua dengan lelaki yang bukan muhrim, yang ke tiganya pasti setan. Ya, setannya Hari, dong?

"Saya pulang duluan, ya, Bulan." Bintang pamit terlebih dahulu karena memang ada urusan, tapi harus terlambat karena pertemuan dadakan ini.

"Iya, Kak. Makasih waktunya."

Hari menoyor kepala Bulan setelah Bintang melajukan motornya. "Lebay! Sok imut pisan, ih!"

"Diem! Segitu aja udah syukur. Saya kena tipu kamu! Kena obat nyamuk sama kamu lagi!" omel Bulan.

"Saya, kan mengawasi, takut kamu tiba-tiba kesurupan. Bahaya, lho. Dan lagi, kamu aja tadi malah ngomong kayak operator gitu. Kalo gak ada saya, malunya sendirian."

Bulan hanya mencebik ke arah Hari sebelum melirik jam tangannya. Harusnya, jemputannya sudah sampai sepuluh menit lalu. Kegusarannya bertambah setelah ia menerima pesan kalau ia tak akan dijemput karena Mang Aming mendadak harus mengantar papanya. Mana uang jajan sudah habis. Saldo OVO belum di top up. Apes!

"Hari," panggil Bulan lirih.

Hari yang masih berada di sana dan tengah menyantap cilok ronde keduanya hanya memandang heran ke arah gadis itu.

"Anterin aku pulang, ya. Gak dijemput, nih." Bulan menatap Hari dengan wajah memelas.

"Pesen ojol aja."

"Duitnya habis," rengek Bulan.

"Aku yang bayarin."

"Hari, anterin aja. Sekalian kasih tau langkah selanjutnya buat deketin Kak Bintang."

Hari memutar bola matanya malas. Namun, ia juga tak bisa menolak permintaan Bulan. Bukan apa-apa, kalau ia menolak, gadis itu akan mengeluarkan jurus teriak andalannya. Kasihan, orang-orang di sini kupingnya belum diasuransikan.










Hayo hayo ada yang setuju, Bulan sama Bintang?
Masih sepi-sepi aja nih 😭
#SalamKetjupBasyah 😘💦
#authorterjomblosedunia

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top