04. Bumi = Cilok (?)

Vote dulu ya guys!
.
.
.
.
.

"Namanya juga isi hati, ya susah ditebak. Yang gampang ditebak itu isi cilok."

----

Bulan masih merutuki dirinya sendiri yang dengan bangsulnya keceplosan mengatakan maksudnya mematai-matai Hari. Pelajaran yang sedang dijelaskan guru di depan pun tak bisa ia simak. Lho, memang biasanya Bulan menyimak? Ya, kadang-kadang, tidak satu semester sekali.

Kira-kira, untuk tak bertemu lagi dengan Hari bagaimana caranya, ya? Bulan terus memutar-mutar pulpen di tangannya. Untung saja, pulpen itu tidak pusing dan mual. Kalau iya, Bulan sudah disuruh tanggung jawab.
Satu-satunya hal yang bisa Bulan simak tanpa loading lama adalah bel tanda pulang. Dengan semangat,  gadis itu merapikan buku-bukunya ke dalam tas. Padahal, guru belum selesai memberikan materinya.

"Heh, urusan kita belum selesai, ya!"

Bulan hampir saja terjerembab saat sebuah suara tiba-tiba mengagetkannya dari samping pintu kelasnya.

"Astagfirullah, kamu ya! Kalo saja mati serangan jantung gimana?"

"Lebay! Saya masih butuh penjelasan kamu!" Hari menarik lengan Bulan.

"Kamu mau modus? Stop! Saya kan sudah bilang, kalo saya cuma curiga sama hubungan kamu sama Kak Bintang! Lepasin! Saya mau pulang!" Bulan mencoba melepaskan cengkraman tangan Hari.

"Kamu ini bisa panggil Bintang pake Kakak, tapi ke saya nggak."

"Soalnya, kamu gak cocok dipanggil Kakak!"

Jawaban Bulan membuat Hari mencebik. "Siilnyi, kimi gik cicik dipinggil Kikik!"

"Dasar aneh!" cibir Bulan.

"Disir inih!" ulang Hari dengan semua huruf vokal diganti dengan i lagi.

"HARIII..." Akhirnya, Bulan mengeluarkan jurus andalannya. Suara cempreng yang bisa menggemparkan jagat raya.

"Udah! Berisik banget, sih, jadi cewek! Mau dijelasin, gak?"

Bulan mengangguk dengan antusias. Raut wajahnya berubah seketika. Hal itu membuat Hari menoyor kepala adik kelasnya itu.

"Cepet! Aku keburu dijemput!"

"Yang sopan sama kanjeng!"

"HA--"

Sebelum Bulan kembali teriak, Hari langsung membekap mulut gadis berbadan mini itu.

"Batalin jemputannya. Kamu pulang sama saya. Satu lagi, kamu beliin saya cilok!"

Bulan hampir saja melayangkan protesnya kalau saja Hari tak langsung melanjutkan perkataannya.

"Gak ada penolakan! Atau saya gak bakal bilang ke kamu."

"Oke, fine!" Bulan tak punya pilihan lain selain menuruti perkataan Hari.

Memang, daripada berlagak seperti detektif tak jelas, bukannya menemukan fakta tapi malah semakin banyak spekulasi, lebih baik dijelaskan oleh sumbernya langsung. Walaupun, sumbernya ini hanya Bulan anggap 0,01% tingkat akurasinya.

"Nih!" Bulan menyerahkan satu bungkus cilok yang sudah dibelinya kepada Hari.

Lelaki itu tampak sumringah. Persis seperti anak SD.

"Cepet cerita, dong."

"Kamu gak liat saya lagi makan cilok? Nanti, kalo udah habis, saya cerita. Makan sambil ngomong, kan gak boleh."

"Itu, kamu ngomong?"

"Ini contoh."

"Sabodo teuing!" dengus Bulan.
(Terserah!)

Menunggu Hari memakan cilok sudah seperti menunggu gebetan peka atau putus sama pacarnya, alias lama banget. Bulan hampir kehilangan kesabarannya. Beberapa kali, gadis itu mendelik ke arah Hari, tapi lelaki itu dengan santainya tetap fokus pada cilok di tangannya sambil duduk santai di atas vespa kuning kesayangannya.

"Udah?" tanya Bulan setelah Hari membuang bungkus plastiknya ke tempat sampah.

"Santai, dong."

"Ini kamu mau jelasin apa mau modusin saya, sih?"

"Cie... jomblo, ya? Mau banget di modusin," kikik Hari sambil menghidupkan vespanya.

Bulan hanya mendelik tajam ke arah Hari sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang. Persis ibu kos yang hendak menagih bayaran mahasiswa yang nunggak bayar kos.

"Ayo, naik."

"Cerita sambil jalan mana kedengeran, Hari," protes Bulan.

"Cie... modus lagi diajakin nongkrong."

Bulan mencubit pinggang Hari sampai lelaki itu mengaduh. Karena, sakitnya bukan main.

"Masa, saya harus mampir ke rumah kamu cuma buat cerita doang?"

"Sambil makan mau gak?" tawar Bulan.

"Kamu yang traktir?"

"Kan, tadi kamu yang bilang, kalo makan gak boleh ngomong."

Skakmat! Padahal, Hari akan dengan sangat senang hati menerima traktiran. Lumayan, karena di rumahnya sedang tidak ada orang yang memasak makan malam. Seluruh keluarganya tengah menghadiri hajatan saudara jauh mereka. Saking jauhnya, Hari saja tidak tahu.

"Jadi? Berhenti di sini?" tanya Hari.

"Ya, nggak atuh. Memangnya jamet apa, nongkrong pinggir jalan?" balas Bulan sewot.

"Diskusi mulu, lama-lama, sampe ke rumah kamu ini."

Sedang sama-sama berpikir, hujan turun tiba-tiba dengan derasnya. Padahal, langit tidak terlalu mendung. Gerimis juga tidak, tapi tiba-tiba saja hujan deras. Mungkin, ini yang dinamakan jatuh tiba-tiba, seperti cinta.

Ternyata, hujan-hujanan sambil naik motor romantis itu hanya mitos bagi Bulan. Pasalnya, ia malah satu motor dengan Hari. Bagaimana bisa romantis?

"Pulang aja, jelasinnya lain kali, ya."

"Gak mau! Masa, udah beliin cilok, udah kehujanan, malah gak jadi cerita?" tolak Bulan dengan keras kepala.

"Tapi, basah."

"Kamu pake baju Mang Aming aja, nanti. Gak usah nolak!"

Hari hanya bisa bungkam saat Bulan sudah memutuskan. Percuma berdebat.

Sampai di rumah Bulan, rupanya memakai baju Mang Aming hanya bercanda. Karena, Bulan malah memberikan pakaian papanya untuk dikenakan Hari. Ukuran yang sangat kontras. Tubuh papa Bulan mungkin tiga kali lebih besar bahkan lebih dari tubuh hari yang kurus.
Bulan menahan tawa saat melihat Hari yang tampak kerepotan dengan pakaian yang dikenakannya.

"Udah, daripada kamu pake baju saya atau Mamah?"

Hari bergidik ngeri membayangkan... Sudah, tidak usah dilanjutkan.

"Langsung aja, ya. Pertama, saya dan Bintang adalah teman sekelas." Hari memulai pembicaraannya di sela-sela menyeruput teh jahe yang dibuatkan Bulan.

"Teman sekelas, cowok sama cowok gak harus nonton berdua, kan?" sanggah Bulan.

"Kita ada tugas review film. Satu kelompok dua orang, teman sebangku." Hari harap, jawaban kali ini membuat rasa penasaran Bulan terjawab.

Namun, bukan Bulan namanya kalau tidak diusut sampai tuntas.

"Lalu, kenapa kamu boncengan sama Kak Bintang?"

"Vespa saya mogok."

"Terus, kenapa kalian sering nyanyi bareng di Instagram?"

"Asyik, stalking nih, ye!"

"Jawab aja!"

"Karena kita temen."

"Temen? Cowok? Harus banget ngacak-ngacak rambut?"

"Astagfirullah, Bulan. Kamu bukan psycho, kan? Kok, kamu sampe sebegitunya mengintai kami."

"Ih, jawab aja. Kalian ada hubungan ya?"

Hari mengangguk sebelum kembali menyeruput teh jahenya selagi masih hangat. Anggukkan Hari membuat Bulan seketika melemas. Kalau lawannya laki-laki, mana bisa menang?

"Saya sama Bintang memang ada hubungan. Deket banget malah."

"Udah, gak usah dilanjut. Gak sanggup dengernya!"

"Lah? Kan, saya belum kelar jelasin. Saya itu sepupuan sama Bintang. Ayahnya itu adik Bunda saya. Jadi, kita dari kecil udah bareng-bareng. Paham?"

Bulan menyandarkan tubuhnya yang sempat menegang. Penjelasan Hari kali ini membuatnya lega bukan main. Ternyata, tuduhannya sama sekali tidaklah benar.

"Terus, kamu kenapa kepo banget?" tanya Hari kali ini.

"Saya suka Kak Bintang. Dari SMP. Sorry, ya. Saya gak kenal kamu soalnya. Makanya gak tau kalo kalian sodaraan," jawab Bulan to the point.

"Ya ampun, saya kira kenapa."

"Kak Bintang udah punya pacar belum?"

"Baru putus," jawab Hari enteng.

"Serius?"

Hari menaikkan alisnya sebagai jawaban. "Mau saya bantuin, gak?"

Pertanyaan Hari membuat senyum di bibir Bulan merekah.

"Biasa aja! Lebay deh!" cibir Hari.

"Suka-suka, lah."

"Yang sopan sama kanjeng." Hari menjitak kepala Bulan.

"Iya, maaf." Kali ini, Bulan mengucapkannya dengan tulus.

Satu langkah lagi menuju pangeran pujaan hatinya. Bulan tak henti-hentinya tersenyum meski mendapat ejekan dari Hari bertubi-tubi. Anggap saja, Hari adalah makhluk yang ngontrak di bumi.














Hiyahiyahiya... Ternyata....
Spam komen dong. Aku suka yang rame-rame 😂
#SalamKetjupBasyah 😘💦
#authorterjomblosedunia

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top