03. Detektif Karbitan
Votenya cuy vote jangan sider!
.
.
.
.
.
"Dua tiga kura-kura, aku gak bisa pura-pura."
----
"Bul, masih kesel sama yang waktu itu?" tanya Didi tiba-tiba.
Bulan mendelik kesal ke arah sahabatnya itu. Padahal, selama weekend, ia mati-matian melupakan kejadian di bioskop itu, tapi dengan entengnya, Didi mengingatkan tanpa merasa bersalah.
"Maaf, maaf. Eh, gimana, kalo kita mata-matai mereka?"
Usulan Didi disambut tidak senang oleh Bulan. Maksud memata-matai atau membuat hatinya panas?
"Hai, ayam geprek dan kawan-kawan!"
Bulan berdecak malas. Kenapa harus ada Hari lagi? Yang paling menyebalkan, lelaki itu lagi-lagi berangkulan mesra dengan Bintang. Lagi.
Selera makannya mendadak hilang saat itu juga. Dengan sedikit menggebrak meja, Bulan berdiri dan memilih meninggalkan kantin. Ia sengaja melewati Bintang dengan gerakan yang dilambat-lambatkan. Berharap Bintang akan menahan lengannya seperti cerita-cerita FTV yang sering ditonton mamanya.
Namun, sayangnya, Bintang malah berjalan berlawanan arah juga dengannya. Jangankan menahan, peduli saja tidak. Lagu kecewa milik BCL terputar otomatis di kepalanya. Coba saja hujan, Bulan pasti akan berteriak 'kuingin marah, melampiaskan...', tapi sayangnya lagi, itu semua hanya ada dan bersarang dalam imajinasi Bulan.
Semenjak masuk SMA, Bulan merasa pikirannya semakin absurd. Apalagi, setelah melihat gelagat Hari dan Bintang. Pikirannya semakin tidak jelas. Padahal, ia suka Bintang, tapi yang mendapat banyak tempat di kepalanya malah Hari. Diam-diam, ia sering sekali menyumpah serapah pada lelaki itu.
Bel masuk tinggal lima menit lagi, tapi Bulan masih enggan beranjak dari tempat duduknya sekarang. Ya, ia melarikan diri ke halaman belakang sekolah yang terdapat banyak pepohonan rindang. Siapa tau, asupan oksigen yang banyak bisa menetralisir rasa kesalnya. Tolong, ini tidak ada korelasinya sama sekali. Memang, sejak dulu, Bulan selalu bolos saat pelajaran IPA. Sekarang pun, ia tidak masuk kelas IPA. Jadi, maklum saja, pikirannya jauh melantur.
"Met met culametan met met..."
"Ampun, ampun, Bulan gak ganggu," rapal Bulan saat mendengar suara yang mulai mendekat ke arahnya. Bulu kuduknya meremang.
"Ih, saya dikira demit mulu, ya?"
"Lagian, kamu ngapain di sini?" tanya Bulan sewot.
"Kamu ngapain di sini?"
"Ya, suka-suka, lah! Ditanya balik nanya!"
"Saya juga suka-suka saya, dong!"
"Pikasebeleun!"
(Nyebelin!)
Bulan mati-matian menjauhi Hari untuk menenangkan pikirannya, lelaki itu malah muncul dihadapannya tanpa dosa.
Sebenarnya, Bulan bisa saja menanyakan hubungan Hari dan Bintang. Namun, nanti Hari bisa besar kepala kalau ia kepo pada urusan pribadinya dan bisa saja lelaki itu berkilah. Eh, kenapa Bulan bukannya takut ketahuan suka pada Bintang, ya?
"Tadi ngoceh, sekarang diem. Kesurupan?" Pertanyaan Hari membuyarkan benang-benang kusut di kepala Bulan.
"Au ah! Males!" Gadis itu memilih beranjak menuju kelasnya dan meninggalkan Hari yang masih bingung oleh tingkah laku Bulan.
****
"Jadi, semua siap?" Bulan memberikan aba-apa pada Didi dan Jihan.
Jadi, rencananya, pulang sekolah ini, ketiga gadis itu hendak melancarkan aksinya dalam memata-matai Hari dan Bintang. Kedua lelaki yang menjadi kakak kelas mereka itu kembali pulang bersama. Yang Bulan ketahui, vespa milik Hari memang mogok. Tapi, cukup mencurigakan juga mengingat beberapa hari lalu mereka melihat dua sejoli, eh, dua lelaki itu nonton berdua.
Kali ini, dengan entah apa tipu muslihat yang dijalankan Didi, ia berhasil membujuk orangtuanya agar hari ini ia bisa membawa mobil ke sekolah demi melancarkan aksinya.
Didi melajukan mobilnya pelan saat Hari seperti curiga dan menatap tajam ke arah mobil itu. Ia membiarkan motor Bintang melaju agak jauh agar tak terlalu kentara mengikuti.
"Bul, ternyata, Kak Hari itu anak orang kaya juga ya. Kok, dia mau-maunya naik vespa butut ke sekolah?" tanya Jihan tiba-tiba.
"Biar gak ada cewek yang naksir karena harta kali," timpal Didi yang masih sibuk mengikuti arah motor Bintang yang memasuki kawasan perumahan elit.
"Cih. Siapa yang mau naksir sama cowok stress kayak dia?" Bulan menimpalinya dengan sinis.
Didi menghentikan mobilnya secara tiba-tiba saat di depan sana, Bintang juga menghentikan laju motornya. Kalau tidak salah, berarti benar, kalau itu adalah rumah Hari. Karena, lelaki cungkring itu turun dari motor dan menanggalkan helm dari kepalanya.
Bulan hampir saja menjatuhkan bola matanya saat melihat adegan yang cukup mengejutkan manusia sebangsa setanah air.
"Aw, so sweet banget, Kak Bintang. Kak Hari yang diacak-acak rambutnya, aku yang baper!" pekik Jihan.
"Hooh, lucu banget" Didi tak kalah heboh mengiyakan.
"Heh! Kalian dipihak aku atau mau jadi fujoshi?"
Didi dan Jihan hanya terkikik melihat wajah kesal Bulan yang tidak terkontrol.
Kesimpulan penelusuran hari ini, Hari dan Bintang punya hubungan spesial, dan Bulan masih belum bisa menerima semua itu. Ia nyaris meminum satu liter jus yang baru saja ia ambil dari lemari es. Sejak pulang dari membuntuti dua lelaki itu, hatinya terasa panas. Gerah.
"Bulbul, sehat?" tanya Esti --mama Bulan saat melihat anaknya berperilaku aneh.
"Sehat, Mah. Cuma, udara di luar panas banget."
Jawaban Bulan kontradiktif dengan apa yang terjadi. Karena, pada saat Esti menengok ke arah jendela, langit sudah sangat mendung. Bahkan, mama rempong itu heboh karena lupa kalau jemurannya belum diangkat.
Bulan mengembuskan napasnya kasar. Beruntung, cuaca dapat mengalihkan perhatian mamanya. Kalau tidak, beliau akan sangat kepo.
Kegalauan tentang hubungan Hari dan Bintang tidak boleh mengganggu sekolahnya. Meski tak pintar-pintar amat, Bulan masih suka mengerjakan tugas sekolahnya. Kalau ingat. Dan kali ini, ia mengingat betapa banyaknya tugas yang harus ia kerjakan. Dari pada menunggu malam, ia lebih baik mengerjakannya sekarang. Tak lupa ia mematikan ponselnya. Karena, godaan terberat dalam mengerjakan tugas adalah bunyi notifikasi dari grup rumpi.
"Akhirnya, selesai juga." Bulan menatap bangga pada cermin di hadapannya sebelum pergi mandi.
****
Rupanya, hujan masih betah mengguyur bumi sampai pagi. Bulan yang sempat bangun, hendak tidur kembali kalau saja Esti tidak memukul-mukul kualinya menandakan kalau kini sudah bukan waktunya tidur lagi.
Cuaca dingin memang sangat cocok untuk bermalas-malasan. Apalagi, untuk makhluk pelor (nempel molor) seperti Bulan. Ia terus menguap sepanjang jalan.
"Neng, sudah nyampe ini." Suara Mang Aming membangunkannya sayup-sayup terdengar. Namun, Bulan lebih mengalah pada rasa kantuknya.
"Neng, nanti keburu masuk. Atau saya telepon Ibu?" Usaha Mang Aming kali ini berhasil. Nama Esti selalu menjadi ancaman paling mematikan bagi Bulan.
Dengan mata yang masih menyipit dan nyawa yang belum terkumpul semua, Bulan berjalan gontai menuju kelasnya.
Namun, belum sampai ke kelasnya, ia sudah mendapat sesuatu yang mengejutkan. Ranselnya tertarik ke belakang sampai badan mungilnya ikut tertarik. Apa ini yang dinamakan aktivitas makhluk astral? Cuaca lembab seperti ini membuat makhluk tak kasat mata menunjukkan eksistensinya. Bulan mencoba setenang mungkin sambil merapalkan beberapa doa yang diingatnya. Termasuk, doa mau makan.
"Kamu sama temen kamu ngikutin saya, ya kemarin?"
Setelah mengenal suara itu, Bulan memberanikan diri menengok ke belakang.
"Apa? Siapa? Kapan?"
"Udahlah, gak usah ngeles! Kenapa ngikutin saya? Kalo mau tau alamat rumah saya, kan bisa nanya. Atau, kamu mau niat jahat sama cowok ganteng kayak saya, ya?" tuding Hari dengan percaya dirinya.
"Nggak! Siapa? Aku cuma penasaran, kamu sama Kak Bintang punya hubungan apa?"
Bulan buru-buru menutup mulutnya saat dengan santainya, mulutnya menjelaskan semua maksud dan tujuannya mengikuti Hari dan Bintang secara diam-diam. Dasar, mulut sendiri tak bisa dipercaya!
Kalian tim Hari-Bulan, Bulan-Bintang atau Bintang-Hari nih? Awokawok
#SalamKetjupBasyah 😘💦
#authorterjomblosedunia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top