Tujuh Belas

Kota Shinjuku dan pemandangan Skycraper District membuat pemuda berlesung pipi tersebut tersenyum menatapnya.

Lihatlah, bagaimana manusia dibawah sana masih saja menikmati dunia malam di kota ini, padahal waktu sudah beranjak fajar, dan kurang dari tiga puluh menit lagi matahari siap menyapa.

Satu gelas Wine Screaming Eagle Cabernet Sauvignon 1992 tenggelam cantik dalam jari-jarinya yang panjang. Matanya, kini tidak berhenti menatap kota pada balkon hotel yang ia tempati.

"Haruskah aku menghubungi Seokjin hyung?"

Namjoon mengotak-atik telepon genggam miliknya, "Tidak, Sepertinya lebih baik aku pulang saja."

Pemuda cerdas berlesung pipi tersebut menenggak habis sisa cairan di dalam gelasnya. Ia berjalan, memasuki kamar bernuansa cozy yang di dominasikan warna hitam.

Terlihat dari pandangnya, Seorang wanita berambut panjang terbaring di atas kasur miliknya dengan selimut yang menutup seluruh tubuh. Wanita itu pun mengeliat dari tidurnya, "Kau sudah bangun?"

"Apa aku mengganggu tidurmu?" Namjoon menghampiri, tangan lebarnya ia bawa pada sisi pipi si wanita, mengelusnya dengan lembut, kini Namjoon mendekatkan wajahnya pada tenguk jenjang, lalu mengecupnya pelan.

Wanita tersebut menggeleng sebagai jawaban.

"Aku akan pergi, penerbangan ku pukul delapan." Namjoon bangkit dari duduknya, tangannya mengencangkan kembali tali bathrobe yang sebelumnya terbuka, menampakkan otot perutnya dengan cuma-cuma.

"Mengapa terburu-buru sekali, apa kau memiliki urusan lain?"

"Ya, aku memiliki pekerjaan karena atasan ku sedang tidak dalam keadaan sehat. Istirahat lah lebih lama, kamar milik ku masih memiliki waktu untuk di tempati."

Si wanita memasang wajah masamnya. Bisa di lihat punggung lebar yang menghilang pada pintu kamar mandi.

Sebut saja ia adalah wanita beruntung saat ini. Lagi pula, Siapa yang tidak tergila-gila pada pria muda berkarisma seperti Kim Namjoon?

Para gadis rela merangkak, menjilat sepatunya hanya demi tidur dengan pemuda itu, walau hanya satu malam.

Selang beberapa menit, Namjoon telah rapih dengan satu set setelan berwarna hitam, pemuda itu sedang sibuk memasang jam Rolex miliknya.

Melihat hal tersebut, si wanita bangkit dari tidurnya, di bungkusnya tubuh miliknya dengan selimut, lantas ia setengah berdiri pada sisi kasur dengan bertumpu pada lututnya.

"Aku akan membantu mu memasangkan dasi."

Namjoon tersenyum, bibirnya terangkat satu sisi saat ia memperhatikan wanita yang sedikit kesulitan menahan selimut yang menutupi tubuhnya. Tanpa pikir paanjang ia membawa selimut tersebut di atas pundak si wanita dengan kedua tangannya.

"Arigato gozaimasu, Nyonya Jeon..."

.
.
.


Pukul 12 siang di Incheon, dan Namjoon menginjakan kakinya kembali setelah lebih dua minggu ia habiskan waktunya di Jepang.

Namjoon berjalan menuju pintu keluar bandara, bisa ia lihat mobil berwarna merah familier dari kejauhan. Saat pemuda berkaki panjang itu menghampiri, benar saja, adiknya Park Jimin menunggunya dengan bosan.

"Sudah lama?"

"Iya! Lama sekali! Aku lapar sekarang." ucap Jimin menggerutu. Di bawanya koper Namjoon pada bagasi, Jimin yang melakukannya, tapi di sisi lain bibirnya tak berhenti untuk mengoceh ini itu membuat Namjoon terkekeh ringan.

"Maaf, aku akan membelikan mu daging lain kali." ucap Namjoon menepuk pelan pucuk kepala Jimin beberapa kali.

"Kau orang sibuk, mana mungkin kau memiliki waktu untuk itu?"

Jalanan kota Seoul sangat ramai, Jimin mengendarai mobil kesayangannya dengan santai. Tak ingin terburu-buru sebab ia pun baru saja pulang dari tempat ia mengajar, Jimin hanya ingin bersantai.

"Mana mungkin aku tidak memiliki waktu untuk adik-adik ku? Malam ini juga aku akan membelinya."

Lampu merah terlihat di depan membuat Jimin menghentikan laju mobilnya. Ia melirik kakak ke empat mereka, "Jika malam ini, aku tidak ingin."

Namjoon menoleh, "Mengapa?"

Pemuda yang lebih tua memandang raut sedih yang terlukis di wajah Jimin.

Keadaan memang tidak begitu baik.

Mereka dalam situasi yang sangat sulit untuk di urai. Bahkan bagi dirinya, Namjoon masih kesulitan memikirkan bagaimana langkah yang tepat untuk ia ambil selanjutnya.

Ketidaksadaran Yoongi di antara mereka membuat situasi semakin runyam, di tambah emosi Seokjin yang naik turun karena lelah, sibuk mengurus mereka.

"Karena rumah sangat sepi, dan aku tak ingin makan di rumah."

Tidak ada jawaban yang Namjoon layangkan, saat ini ia merasa bahwa pembicaraan tak perlu di lanjutkan kembali. Walaupun Jimin sempat meliriknya, menunggu Bibir tebal kakaknya untuk berbicara.

15 menit waktu perjalan mereka, kini Namjoon dapat menangkap pagar tembok menjulang di sisi kiri. Di baliknya terdapat mension luas yang di kelilingi hutan kecil dengan pohon yang cukup besar.

Jimin pun turun, disusul oleh Namjoon yang kini membawa koper dan tas nya.

"Aku lelah, aku akan istirahat hyung." Jimin bercuap tanpa menoleh.

"Ya tuhan..." lirih Namjoon mengusap wajahnya kasar.

Ia tak bisa berkata apapun, karena pada dasarnya ini bukanlah hal yang Jimin inginkan, begitu pun dengannya. Ia mengerti dan memaklumi sikap Jimin yang tiba-tiba berubah dengan cepat.

"Namjoon..."

Sebuah suara menyapa telinga, membuat Namjoon mengangkat wajah lelahnya. Bisa ia lihat pemuda tinggi bediri di ambang pintu rumah mereka.

Seokjin menuruni tangga, menghampiri pemuda yang membeku di sisi mobil. "Memgapa kau melamun?"

"Naiklah ke atas, aku sudah menyiapkan makan siang. Hoseok menunggu mu." ucap Seokjin membuat Namjoon mengangguk dibuatnya.

Mereka memasuki rumah bersama, Namjoon mengangkat obrolan pertama kali, menanyakan bagaimana keadaan rumah selagi kaki mereka melangkah.

Terlihat Seokjin sedikit mengomel di sela pembicaraan mereka mebuat Namjoon tertawa puas.

Di ruang makan, Hoseok menunggu sambil memainkan ponsel miliknya. Ia menatap sesekali sup kimchi yang masih panas di atas meja makan. Perutnya yang sudah lama heboh meminta untuk degera di isi membuat pemuda bersurai mereh tersebut mengelusnya perlahan.

"Hoseok, kau sudah membaik?"

Hoseok menoleh, ia tersenyum menatap Namjoon yang terlihat sehat,  "Aku baik-baik saja, hanya terkadang sedikit nyeri di bagian sini." ucapnya menunjuk rusuknya yang patah.

"Aku membawakan sesuatu, tetapi lebih baik kita makan dahulu."

Seokjin melayani kedua adiknya, membawakan dua mangkuk penuh nasi yang baru saja ia masak beberapa waktu yang lalu.

"Bagaimana dengan rapat yang kau hadiri?" Hoseok meletakkan daging tumis di atas nasi milik Namjoon.

Ia menatap bagaimana laki-laki seumuran dengannya itu melahap lauk pemberiannya. Wajah Namjoon tampak segar dari terkahir kali Hoseok melihatnya.

"Anak angkatnya, Jeon Kouru tidak menghadiri 2 kali pertemuan yang di adakan. Ku rasa ini membuat ribut para pemegang saham lainnya. Di tambah pengumuman yang mengatakan bahwa ahli waris dari Tuan Jeon Sungha jatuh pada anak kandungnya."

Kening Hoseok mengerut,"Lalu?"

Namjoon meminum air yang berada di sisi kanannya, sedikit menyeka mulutnya dengan tisu, kini ia telah selesai dengan makan siangnya.

"Ini... " Namjoon membuka tas jinjing miliknya, tangan cantiknya mengeluarkan beberapa dokumen map dengan berlabel Perusahaan Jeon dan beberapa dokumen lainnya yang di pisahkan.

Seokjin dan Hoseok tentu saja terkejut melihatnya.

Apa apaan ini semua?!

Bagaiman bisa Namjoon membawa mereka ke korea bersamanya.

"Kau—!"

༺༻
TBC

Maaf untuk keterlambatannya.
Terima kasih sudah menunggu Day By Day, tolong berikan banyak komentar dan cinta untuk chapter ini. ❤️

'IndahHyera
26092022'

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top