Tiga Belas

'To You, 7 Years Ago'

☘️

Mereka berkata bahwa cinta adalah hal yang paling indah dalam hidup. Kiasan akan rasa bahagia yang meluap seiring berjalannya waktu, membuat mereka bertanya, bukankah perasaan ini begitu mengerikan?

Seorang ayah pernah berkata 'kau adalah anakku yang tampan dan berharga.'

Melewati masa, dimana sosok anak laki-laki tumbuh dengan tawa bahagianya. Kakinya yang melangkah mengisi kekosongan rumah, dan dengan girangnya anak itu berlari melepas penat sang Ayah.

Kouru tidak pernah merasakan itu semua.

Lalu bagaimana dengan adiknya?

Adik...

Apakah pantas ia sebut Jungkook sebagai adiknya?

Sudah satu minggu setelah pemakaman Tuan Jeon di laksanakan. Berita akan kematian pengusaha Jepang yang paling tersohor telah meluas seperti kacang di masyarakat, bahkan di kalangan mereka si para pembisnis dunia.

Selama seminggu itu pula Kouru tidak banyak berbicara. Mengabaikan ibunya yang terus mendesak dan menekan para pemegang saham, akan siapa kiranya yang akan meneruskan Tuan Jeon diperusahaan.

Rambut kelabu yang biasanya ia ikat rapih, kini ia biarkan terjatuh dan menari bersama angin. Kouru menatap dirinya dalam cermin, merapihkan rompi dan memasang jas miliknya dengan malas.

Dan ia pun memejamkan mata kala dobrakkan pintu terdengar.

"Kau sudah menemui pengacara ayahmu?!"

Kouru meliriknya dari cermin. Wanita itu, ibunya, "Belum."

"Hari ini adalah rapat pemegang saham, sekaligus pengumuman tentang siapa penerus Sungha!" Ritsu berteriak, menghentak sepatu tingginya pada lantai keramik dengan perasaan marah di dalamnya.

"Jika kau tidak menyelesaikan ini sesegera mungkin, maka aku yang turun tangan anakku. Kau kira aku tak tahu dengan tujuanmu yang pergi ke Korea beberapa waktu lalu?"

Kouru terkekeh, pandangannya terasa gelap sesaat. Ia menunduk, lalu memijat keningnya lelah,"bukankah itu adalah keinginanmu? Jangan merasa seakan-akan akulah disini yang harus di salahkan."

"Aku hanyalah bonekamu."

"Dan aku akan pergi, jadi, tolong berhentilah berteriak ibu..." ia melangkahkan kakinya, meninggalkan ibunya yang tergugu tak percaya.

.
.
.

Pagi ini, Jungkook menghabiskan waktunya seperti biasa. Sarapan bersama Hoseok, Taehyung dan Jimin, serta belajar sebelum kedua Pemuda Dosen itu pergi bekerja.

Jungkook buta, ia tahu itu.
Ia hanya mengandalkan pendengaran dan gerakan tubuh yang Taehyung serta Jimin lakukan untuknya.

"Kau rasa cukup untuk saat ini." Jimin menutup buku Sastra Inggris di tangannya.

Drrttt! Drrttt!

Getaran ponsel terasa di tangannya, Taehyung pun berdiri. Ia melirik Jimin, mengisyaratkan bahwa ia harus mengangkat sesegera mungkin panggilan.

"Seokjin hyung?" dahi dengan alis tebalnya pun mengkerut, karena sudah lebih dari dua minggu Seokjin tidak pulang kerumah.

Belum sempat Taehyung mengucap salam, sang kakak tertua sudah berteriak di ujung sana. Membuat Taehyung terpaksa menjauhkan ponselnya.

"Aku mendapatkannya!" Ucap Seokjin penuh semangat.

Taehyung kebingungan, tentu saja.

Mendapatkan apa? Uang? Dari hasil kerja kakaknya? Bukankah itu sudah pasti?

"Kau ini bicara apa? Aku tidak mengerti hyung, tolong jelaskan terlebih dahulu padaku." Taehyung bersandar pada pembatas kaca di rooftop rumah mereka.

"Donor mata untuk adik kita..."

Oh sial, kalimat yang keluar dari ponselnya membuat Taehyung berhenti dari aktivitas memantik api di tangannya.

Ia mencabut kembali batang rokok yang sempat ia apit di bibirnya, "Kau serius?"

"Apa bercanda adalah hal yang menyenangkan saat ini?!" yang paling tua mengeram kesal, membuat si adik tertawa puas sekali.

"Lalu? Kau sudah memberitahukan hal ini kepada Yoongi hyung?"

Suara helaan napas terdengar, "Si kutub itu tidak mengangkat ponselnya, begitupun dengan Namjoon. Aku sudah mencoba munghubunginya pagi-pagi buta."

"Ah, aku rasa itu adalah hal yang wajar. Lalu apa yang kau inginkan dariku?" kali ini Taehyung berhasil menghisap nikotinnya.

Sesekali Taehyung melirik ke dalam. Pintu kaca yang menjadi pembatas sangat membantu untuk mengawasi adiknya yang sedang belajar, bersama Jimin. Ia terus mendengarkan instruksi yang Seokjin berikan.

"Baiklah, aku mengerti. Saat ini juga aku akan kesana. Aku akan meminta bantuan Hoseok hyung untuk menghubungi kedua hyung yang lainnya."

.
.
.

Mobil Range Rover SVAutobiography Long Wheelbase berwarna hitam memecah jalanan kota Seoul saat ini. Taehyung yang mengendarainya.

Sesuai dengan permintaan dari Seokjin siang tadi, mereka bertiga sepakat membawa Jungkook menuju rumah sakit untuk menyiapkan segala ketentuan dan persyaratan perawatan operasi mata adiknya.

"Kau sudah mencoba menghubungi Yoongi hyung kembali?" Taehyung menumpukan pipi kanannya dengan siku yang bersandar pada sisi pintu mobil. Ia mempercayai tangan kirinyaa untuk membawa mobil ini menuju runah sakit.

"Sepertinya hyung masih dalam pertemuan pemegang saham keluarga Jeon di Jepang, kau tahu kan saat ini mereka sedang berlomba-lomba menjilat untuk kesempatan yang bagus?" ucap Hoseok dengan ponsel di tangannya.

"Hingga malam hari? Kau yakin?"

Hoseok hanya mengangkat bahunya kecil, tanda ia tidak begitu mengetahui urusan perusahaan yang dikelola kakaknya. Yah, selama ini ia hanyalah ssorang perentas, ia bekerja di balik komputer dengan segelas kopi atau wine kesukannya.

"Hyung, sebenarnya kemana kita akan pergi?" kali ini si bungsu bersuara. Lama ia berkecamuk dengan pikirannya membuat Jungkook terdiam dalam bisu sejak sore tadi.

Hoseok, Jimin, dan Taehyung memang belum memberitahu sang adik. Ini adalah permintaan Seokjin untuk mereka, karena akan lebih baik jika kakak tertua saja yang menjelaskannya pada Jungkook tentang operasi mata miliknya.

"Kita akan mengunjungi Seokjin hyung ditempat kerjanya, apakah kau tidak senang akan hal itu?" Jimin bersuara, menepuk dan mengusap kecil helaian langit malam yang terasa lembut jika di sentuh.

"Apa ada hal yang ingin kau beli untuk Seokjin hyung sebelum kita sampai?" Taehyung melirik sang adik pada rear-vision mirror mobilnya. Wajah cemberut yang selalu terlukis di wajah Jungkook membuat Taehyung selalu terkekeh melihatnya. Bibirnya yang tebal di bagian bawah dengan tahi lalat kecil sebagai pemanis, membuat siapa saja akan senang melihat Jungkook walaupun anak itu sudah beranjak remaja.

"Macaron." bisik Jungkook pelan.

Hening, tidak ada yang menjawab permintaan si bungsu. Jimin pun mengorek telinganya main-main, "apakah kita terlalu tua untuk mendengar cicitan suara dari adik kita?"

Perempatan siku muncul di kening Jungkook, sadar bahwa dirinya sedang di olok-olok oleh ketiga kakaknya. Salahnya. Pertanyaan yang keluar dari bibir Jimin membuat tawa mereka mengisi keheningan mobil.

"Macaron, apa ada yang lain?" Taehyung menghentikan mobilnya pada sisi jalan, ia melepas seat belt miliknya. Terlihat sebuah toko kue cukup besar dengan berbagai macam hidangan manis pencuci mulut.

Si bungsu hanya mengangguk, tak lama suara pintu mobil pun terbuka. Taehyung membantu Jungkook untuk turun, menggenggam tangan dingin adiknya dan membawanya pergi.

"Bukankah Taehyung adalah kakak yang cukup lembut untuk Jungkook?" Hoseok melihat pergerakan kedua adiknya yabg memasuki toko. Terlihat jelas bahwa Taehyung sangat menjaga Jungkook dengan merangkulnya agar sang adik tidak tertabrak oleh orang lain.

"Ku rasa, Taehyung masih melihatnya sebagai anak berusia 10 tahun."

༺༻
TBC

Hallo~~
Lama tak jumpa, aku sudah mulai liburan semester. Akhirnya aku bisa melanjutkan apa yang tertunda.
Apakah ada yang masih ingat dengan senjata yang Jimin pakai untuk membunuh pada chapter 6? Ternyata imajinasi ku terealisasikan di anime SPYxFAMILY. Senjatanya sama seperti Yor Forger.

Terimakasih untuk selalu menunggu Day By Day, tolong berikan banyak cinta dan bintang serta komentar review kalian khusus chap kali ini.

'Indahhyera
23072022'

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top