Duabelas
'Like a Devil'
🍀
Musim panas mulai menghilang, hujan membasahi bumi lagi dan lagi menandakan bahwa mungkin lautan jingga akan segera hadir membungkus kota Tokyo.
Jeon Sungha, laki-laki paruh baya yang menetap di Negara Matahari Terbit sejak ia baru di lahirkan, saat ini sedang terdiam di atas ranjang miliknya.
Tatapannya kosong, retinanya bergerak mencoba untuk mengfokuskan penglihatan yang ia miliki. Tetapi, seberapa lelah ia berusaha untuk itu, yang ia tangkap hanya keburaman hampir menyerupai putih.
Ia tak bisa melihat apapun.
"Kau sudah bangun?" ucap seorang wanita cantik memasuki bilik.
Si wanita, Min Ritsu, membawa sebuah nampan di tangannya. Berisi segelas air putih dan beberapa obat yang harus diminum suaminya saat ini.
"Bagaimana dengan perusahaan? Apa Kouru melakukannya dengan baik?"
Ritsu hanya terdiam, enggan menjawab pertanyaan Sungha saat ini.
Tangannya bergerak mengambil sesuatu di dalam kantong rok yang ia kenakan, sebuah kotak kecil berisi beberapa butir pil berwarna putih dan sebotol kecil cairan berwarna ungu.
Ia menuangkan cairan itu di dalam gelas yang ia bawa, menumpahkan lebih banyak dari pada biasanya. Tak lupa, ia menukar pil rumah sakit dengan pil yang sudah ia siapkan sebelumnya.
"Minumlah obatmu." ucapnya dengan menyuapi dan memberikan segelas air di tangan Sungha.
Tuan Jeon menurut. Tepat setelah ia menelan semuanya suara pintu menyapa kedua pasangan suami istri tersebut.
"Ayah..."
Suara berat itu terdengar, sedikit serak, terkesan elegan yang membuat siapa saja mungkin menyukai suara si pemuda tersebut. Rambut abu panjangnya kini ia kuncir rapih, dengan membiarkan beberapa helai menghiasi wajahnya.
"Aku membawa dokumen yang harus ayah tandatangani secepatnya," Kouru memberikan dokumen tersebut pada Ibunya, melirik, memberitahukan apa yang harus ibunya lakukan untuknya.
"Sayang, ini adalah kerjasama yang Kouru buat dengan Perusahaan Kaiden. Kau harus menandatanganinya segera." Ucap Ritsu.
Apa yang bisa dilakukan Sungha saat ini?
Ia membawa dirinya dalam bisu, jari-jarinya yang panjang menyentuh pena pemberian istrinya saat ini. Dengan cepat ia memberikan hak kuasanya di atas kertas tersebut.
.
.
.
"Ume..."
Di keheningan malam, di tengah suara tangis langit yang masih terdengar di telinga jelas oleh laki-laki tampan yang tak lagi muda tersebut, ia tergugu.
"Apa kau membenciku?"
Ia bergumam pelan, kelereng malamnya tertuju pada bingkai kaca luas di hadapannya—walaupun percuma karena ia tak bisa melihat dengan jelas.
"Ume... Kau membawa putera ku pergi..." Tetesan air asin tak mampu ia tahan kembali. Sungha menyadarinya, betapa tololnya ia dimasa lalu.
Gadis cantik dengan tatapan teduhnya yang lembut, Sungha bertemu dengannya pada akhir musim dingin di sebuah taman kota saat itu.
Wajahnya yang manis, dengan gigi kelinci terlihat menggemaskan saat wanita itu tersenyum, dan tubuhnya yang mungil serta rambut panjang menutupi punggung sempitnya.
Dirinya bertemu di antara lautan kelopak putih yang jatuh. Keisengannya saat berjalan-jalan melakukan Ume Kansho, ia tak menyangka bahwa keberuntungan akan datang di bawah pohon yang ia sukai.
Pada awal tahun, di bulan Januari yang dingin, saat dirinya baru saja memanjatkan doa di sebuah kuil di atas bukit.
"Aku merindukanmu. Aku merindukan Jungkook kecil kita..."
Orang-orang selalu berteriak, mengatakan bahwa betapa rasa menyesal itu sangatlah menyakitkan untuk di lalui. Permintaan maaf yang terdengar seperti omong kosong saat kau merasakannya, Sungha baru menyadari itu.
Mungkin terdengar konyol. Karena dirinya lah yang membuang gadisnya pada hari itu, tanpa peduli, tanpa ingin mendengarkan sepatah kata penjelasan dari bibir yang sering ia kecap.
Ume-nya...
Gadisnya yang begitu berharga...
Bunganya yang sangat rapuh...
"Aku tidak mengerti pada diriku sendiri. Mengapa bisa-bisanya aku berteriak mengeluarkan kalimat sampah yang tidak berguna itu?" matanya terpejam, memutar-mutar kecil cincin perak yang tenggelam di jari manisnya.
TAK!
TAK!
TAK!
Ketukan itu terdengar.
Suara yang menghantam lantai rumahnya terdengar sangat jelas saat ini. Sungha terdiam, menunggu, mungkin saja itu Ritsu atau putera sambungnya Jeon Kouru yang datang.
Ia menunggu, selama beberapa menit lamanya. Tetapi hanya keheningan yang ia terima, tidak ada suara pintu kembali terdengar atau suara langkah kaki itu lagi.
"Ritsu?"
Tidak ada jawaban yang di berikan. Sungha pun berusaha berdiri dari duduknya, mencoba meraba apapun yang bisa ia sentuh demi membawanya berjalan pada pintu hitam kamarnya.
"Hei, kau tidak menjawabku?"
Sungha membuka pintu biliknya, tidak ada suara, rumahnya terasa hening saat ini. Ia mencoba untuk memfokuskan penglihatannya, karena dirasa sia-sia ia pun berjalan pelan menuju anak tangga.
Tanpa ia sadari, ada sosok wanita berparas cantik yang memantaunya sejak ia keluar dari kamar. Ritsu bersandar, membawa punggungnya melekat pada dinding halus lorong dalam gelapnya malam.
Ia mematikan semua lampu rumahnya, hanya lampu dari luar yang masuk menerangi melalui sela-sela tirai.
Matanya tertuju pada gerakan langkah suaminya. Sungha saat ini sedang berdiri di ambang tangga membuat Ritsu tersenyum puas.
TAK!
TAK!
TAK!
Sepatu hak tunggi yang lagi-lagi menghantam lantai membuat Sungha berbalik. Ia mencari.
"Sayang sekali suamiku..." Ritsu saat ini berdiri di hadapan Sungha.
Ia membawa kedua tangannya pada pundak suaminya, mengelusnya dengan pelan dengan jari-jari kurusnya yang panjang.
"Aku sangat membencimu, saat kau mengigau memanggil si jalang itu pada malam hari..." usapan itu turun, meraba dada bidang yang masih saja ada, bahkan disaat umur Sungha tak lagi muda.
"Kau rasa... Sampai sini saja..." Wanita itu berbisik pelan.
Sungha terkejut bukan main, retinanya bergerak kacau tanpa sadar. Bibirnya bergetar hebat, ia ingin sekali mengeluarkan suara tetapi semua tertahan pada tenggorokannya yang mulai terasa sakit.
Ia tak mampu.
Tak lama, bunyi hantaman keras berkali-kali terdengar menghiasi rumah kediaman keluarga Jeon.
Ritsu berhasil mendorong suaminya.
"Oyasuminasai..." kekehan kecil keluar dari bibir wanita tersebut.
Ia tertawa, matanya menatap senang ke arah bawah, dimana Sungha sudah tak lagi bernyawa.
Genangan merah perlahan mulai menghiasi lantai marmer putih, terlihat kontras takala lampu di hidupkan kembali.
Ritsu sedikit terkejut dibuatnya.
"Ibu, apa yang sudah kau lakukan?!" Kouru berteriak, ia menghampiri ayahnya yang tak lagi bernyawa saat ini.
Tangannya tergerak, jari-jarinya bergetar menyentuh luka besar di kepala Sungha— anak itu berusaha menghentikan pendarahan.
Ia menangis. Rambut abu panjangnya yang dibiarkan lepas mulai kotor dengan warna merah yang mengenainya. Kouru tak mengharapkan ini, ia tak menginginkan ini.
Ritsu yang melihat hanya menatap datar puteranya saat ini. Ia mulai melangkah, menuruni anak tangga guna menghampiri mereka berdua.
"Shhh, Arashiba Kouru..." Ritsu menyentuh kepala Kouru, mengelus halus helai tebal yang sangat mirip dengan ayah kandung puteranya.
"Diamlah, dan tutup mulutmu. Kau hanya perlu melakukan apapun yang Ibu perintahkan untukmu. Lagi, akan ku tekankan sekali lagi padamu, laki-laki ini bukan lah ayahmu jadi berhentilah membuat ekspresi itu."
Benar, Jeon Sungha memang bukanlah ayahnya. Laki-laki diperlukannya saat ini hanyalah sosok pengganti dihidupnya.
Tetapi mengapa?
Mengapa sang Ibu melakukan hal yang sama dengan apa yang wanita itu lakukan pada Ayah kandungnya?
Tubuhnya bergetar hebat, Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan yang berdarah. Kouru merasa mual saat ini. Air mata tak henti-hentinya keluar dari kedua netranya.
Ia ingin muntah saat ini...
༺༻
TBC
- Ume : Bunga Plum, biasanya mekar lebih cepat di bandingkan Sakura.
- Ume Kansho : kegiatan melihat bunga Plum.
- Oyasuminasai : Selamat tidur (dalam bahasa Jepang)
Hai hai~
Semoga suka sama part ini. Jangan lupa tinggalkan bintang dan komentar kalian ya, agar aku semangat melanjutkannya! ❤️
'IndahHyera
28032022'
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top