#4 Ketika Dia Kembali
"Meow."
Ivi menoleh kanan-kiri saat mendengar sebuah suara yang sangat dikenalnya.
"Meooww."
Suara itu semakin keras, membuat Ivi semakin menelusuri dari tempatnya berdiri dengan seksama. Matanya melirik ke dahan pohon yang berada tepat di atasnya, namun tidak ada. Dia alihkan perhatiannya pada got yang ada di sampingnya, namun juga tidak ada.
"Meooww."
Seperti mendapat pencerahan. Ivi berlari ke pinggir jalan dan dia dapati sumber suara itu. Seekor kucing terjebak di tengah jalanan yang ramai oleh kendaraan hilir mudik.
"Ya Tuhan! Apa yang kucing itu lakukan?" jerit Ivi resah. Kepalanya ia tolehkan kanan dan kiri, mencari celah agar dapat menyeberang lalu membawa kucing itu ke tempat yang aman.
Ivi mulai menyeberang. Dengan gilanya dia menerobos celah-celah lalu lintas yang padat. Klakson demi klakson seolah menitahnya untuk menyingkir dari jalan karena telah menghalangi, namun Ivi tak peduli. Dia semakin dekat pada kucing yang tengah meringkuk ketakutan, dekat dengan lubang pembuangan yang tertutup oleh besi padat.
Ivi segera membawa kucing naas itu ke pelukannya saat dia melewatinya. Kaki pendeknya segera berlari untuk keluar dari lalu lintas.
Hampir sampai, namun akibat high heels yang Ivi pakai, kakinya harus tersangkut di antara dua batu jalanan yang rusak. Suara gedebug keras membuat beberapa orang yang lalu-lalang di trotoar berhenti, menyaksikan Ivi yang sekarang tertelungkup, tangan yang sempat memeluk kucing tadi terlepas dan membuat kucing tak tahu diri itu kabur. Antara ingin membantu atau tak acuh, dengan ragu orang-orang yang sempat berhenti kembali berjalan.
Ivi mengerang tertahan. Untung hari ini dia mengenakan celana jin, kalau dia mengenakan rok kerjanya yang mini, entah harus dikemanakan mukanya ini.
Ivi melepas high heelsnya, menarik kakinya yang terluka, akibat bergesekan dengan aspal dan membuat jin-nya robek. Rambutnya yang digelung rapat kini sudah acak-acakan. Ia memperbaiki letak kacamatanya sebelum berdiri dan membawa high heels-nya yang tersangkut. Hendak diraihnya tas kerja yang tergolek saat sebuah tangan telah lebih dulu meraihnya.
Kedua alis Ivi bertautan. Matanya meneliti dari bawah, siapa yang mau membantunya saat orang-orang bahkan tak peduli. Saat matanya sampai di atas, dia bertatapan langsung dengan sepasang mata cokelat yang membuatnya serasa dilempar ke masa lalu. Sepasang mata cokelat yang dulu menjadi objek favoritnya, sepasang mata cokelat yang dulu menatapnya teduh, sepasang mata cokelat yang pernah secara tak langsung menyampaikan rasa sayangnya.
"Kenapa?"
Hanya kata itu yang keluar dari bibir tipis Ivi. Matanya yang tergenang tidak beralih pada sosok jangkung di depannya.
"Kenapa baru sekarang, Dean?"
Detik itu juga, pertahanan yang telah ia bangun susah payah runtuh begitu saja.
***
Dean dengan telaten mengobati luka Ivi. Tidak ada suara selain embusan napas yang keluar dari organ pernapasan keduanya, menimbulkan suatu atmosfer tegang bagi mereka.
Tanpa bisa dikendalikan, keringat dingin terus meluncur dari pelipis Ivi. Bayangan masa lalu seketika menamparnya saat memandang lelaki yang dulu sempat menjadi prioritasnya. Lelaki yang membuatnya jatuh cinta pada kucing.
Klinik hewan kecil-kecilan yang dibangunnya susah payah, pula karena Dean, selama lima tahun terakhir ini masih sepi. Tanda "close" masih menghadap keluar.
"Selesai." Suara Dean kembali membawanya ke alam sadar. Ivi menarik kakinya dari pangkuan Dean, memastikan lukanya telah ditangani dengan benar.
"Gini-gini aku calon dokter tahu," ucap Dean membuat Ivi terperanjat.
Ivi segera berdiri, berniat menuju meja kerjanya. Namun, karena kakinya yang masih belum terlalu kuat menjadi beban tumpuan, hampir dirinya terjatuh jika saja Dean tidak tanggap dengan menangkap tubuh Ivi. Membuat wajahnya harus berhadapan dalam jarak dekat. Seketika rona merah telah menghias wajahnya.
"Ekhm..., sebaiknya jangan dulu berjalan kalau belum kuat." Dean berpendapat. Dipapahnya Ivi menuju meja kerjanya.
Baru Dean akan berbalik menuju sofa, Ivi mencekal lengannya. Didapati Ivi yang tertunduk saat Dean melirik pada gadis mungil itu.
"Sebenarnya kemana saja kamu ini?" tanya Ivi. Suaranya terdengar serak. Tidak ada isakkan namun Dean yakin, Ivi tengah menangis.
Dean berlutut di samping Ivi. Tangan kekarnya mengusap tangan Ivi yang masih mencekalnya. "Maaf, aku melakukan ini juga demi kamu," jawab Dean lembut.
"Demi aku? Kamu pikir aku baik-baik aja di sini? Ngejalanin klinik ide kamu ini sendiri?"
"Dengar Ivi," titah Dean. Lelaki itu menghadapkan Ivi padanya, "Aku cuma mau kamu jangan terlalu bergantung pada orang lain. Kamu ini orang yang hebat, dan orang hebat harus bisa berdiri sendiri di saat orang lain tidak bisa membantumu.
"Aku memang merahasiakannya. Aku nggak mau kamu mikirin aku yang harus pergi begitu jauh sama kamu. Terpisah jarak beribu-ribu kilometer."
"Aku benci," bisik Ivi. Isakkannya kini sampai di telinga Dean. "Aku benci ditinggal begitu aja. Kamu tahu itu, De,"
"Aku tahu. Maafin aku," bisik Dean dalam rengkuhannya.
"Jangan tinggalin aku lagi."
"Aku janji."
-Seperti aku mencintai kucing. Walau berulang kali aku disakiti, aku tetap memilihmu.-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top