#02 Ketika Aku Menunggu

Gadis dengan rambut ikal yang ia kuncir menjadi seperti buntut kuda menatap lelah ke seantero kelas. Bagaimana tidak? Ia melihat beberapa pasangan yang cinlok di dalam kelas, sedangkan dirinya? Dia tak tahu. Tak pernah tahu jawabannya.

Gadis itu menghela napas. Ia beralih untuk menatap papan tulis kosong di depannya. Waktu istirahat kali ini terasa lebih lama dari biasanya. Rasa lelah sudah sampai pada puncak, terlihat dari sorot matanya yang redup seolah mati tanpa cahaya.

"Mel, lo dari tadi kayaknya lemes. Kenapa?"

Seseorang menepuk punggungnya, menanyakan keadaannya yang lemas tanpa semangat. Amela Sagita, gadis kelas dua belas itu tak memperdulikan pertanyaan sahabatnya. Ia malah bersembunyi di balik lipatan tangan. Bagaikan keong yang mencoba masuk ke dalam cangkang.

Erifa, sahabatnya itu meletakkan kepalanya di atas meja, sejajar dengan Mela. Ia mencoba mencari celah untuk mengintip rupa Mela. Namun percuma, tak ada celah di antara lipatan tangan sahabatnya itu.

"Rif...," lirih Mela ketika Erifa masih mencoba untuk mencari celah.

"Ya?"

"Gue capek!!!" Mela menggertak. Dipukulnya meja yang selalu ia gunakan menjadi tumpuan menulisnya, suaranya membuat kelas hening, seluruh isi kelas memperhatikannya. Mela sadar akan perbuatannya, namun ia hanya kembali menenggelamkan diri di antara lipatan tangan penuhnya itu.

Erifa yang masih dalam keadaan shock akan tingkah laku Mela hanya terdiam, ia lalu menatap seisi kelas yang masih menaruh perhatian pada Mela, cengiran khas terpampang di wajahnya membuat seisi kelas kembali pada dunianya masing-masing. Saat yakin sudah tak ada yang memperhatikan, Erifa mengguncang tubuh Mela.

"Mel, lo kenapa sih? Cerita dong sama gue!" pinta Erifa masih terus mengguncang tubuh Mela.

"Gue capek, Rif. Gue capek nunggu!"

Ucapan Mela membuat Erifa terdiam. "Nunggu? Lo nunggu siapa?"

Mela mengangkat wajahnya, Erifa terkejut saat mengetahui air mata sudah membanjiri pipi tembem milik sahabatnya itu.

"Gue... sebenernya LDR."

"Eh? Kenapa lo gak pernah cerita?" Erifa mengernyitkan alisnya.

"Gue gak mau aja. Gue gak mau cerita hal kayak ginian. Tapi, gue jadi bingung sekarang mau cerita dari mana," ucap Mela sambil menangkup kedua tangannya di wajahnya.

"Lo cerita aja sini. Mungkin gue bisa bantu."

"Satu bulan, Rif."

"Satu bulan apa?"

Tangan Mela terjatuh lemas di atas pahanya. Matanya menatap kosong papan tulis berwarna putih di depannya. "Satu bulan gue nunggu, gak pernah ada kabar. Dia bilang dia sibuk, gue sabar dan rela gak ngehubungin dia sampai dia punya waktu senggang buat ngehubungin gue. Tapi, waktu senggang itu gak pernah ada. Dia gak pernah ngehubungin gue. Sampai sekarang." Air mata turun dalam diam. Buliran mutiara itu semakin membasahi wajah cantik Mela. "Gue harus gimana, Rif?" lirihnya.

Erifa terdiam sejenak setelah mendengar ocehan Mela. Ia tahu, jika ia menghiburnya dengan cara biasa, itu tidak akan berhasil. Jika ia beri masukan, ia tak pernah mengalami hal seperti itu. Rentetan kata-kata pun akhirnya meluncur dari bibir Erifa. "Positive thinking aja. Mungkin doi udah ada yang nemenin di sana. Jadi dia gak butuh yang jauh-jauh lagi," ucap Erifa santai.

Mela memalingkan wajahnya pada Erifa. Menatap tajam Erifa yang masih santai setelah mengucapkan kata-kata sensitif tersebut.

"Lo jahat banget sih! Hueeeeeeeeee," tangisan pecah seantero kelas. Kembali seisi kelas menaruh perhatian pada Mela, dan Erifa. Semua memandang Erifa menuduh membuat Erifa tak enak hati.

"E-eh... bukan gitu maksud gue. Lo positive thinking aja kalau dia lagi ngumpulin uang buat ngelamar lo sehabis SMA nanti!" teriak Erifa kalap, membuat kelas kini menjadi hening. Tangisan Mela berhenti, dan seisi kelas masih menatap mereka berdua. "Dan dia ngumpulin uang bareng temen-temennya," lanjut Erifa membuat seisi kelas kembali menapaki dunia masing-masing.

"Hiks... mungkin bener juga ya. Soalnya dia pernah janji buat nikahin gue nanti," ucap Mela di tengah isakannya. Erifa mengucap syukur dalam hati. Setidaknya ia dapat menenangkan sahabatnya untuk saat ini.

•°•°•°•°•

Mela melangkah gontai menuju gerbang sekolah. Sahabatnya, Erifa sudah pulang lebih dulu karena urusan keluarga sehingga ia tak bisa pulang bersama.

Tanah parkiran hanya tersisa beberapa motor dan satu mobil. Sekolah sudah sepi. Tentu saja, ini jam empat sore. Ia baru saja pulang dari kegiatan tambahannya.

"Lama banget. Lo bikin gue khawatir."

Suara berat menyapa gendang telinganya. Kepalanya yang tertunduk dapat melihat sepasang sepatu kulit berwarna cokelat gelap tak jauh dari tempat ia menghentikan langkah karena mendengar suara tersebut. Mela tak menjawab, ia perlahan mengangkat kepalanya. Mencari tahu, siapa orang yang berbicara padanya dan menghalangi jalannya.

Tepat saat Mela menatap wajah tegas di hadapannya, alisnya mengernyit bingung. "Lo siapa?" tanyanya.

"Orang yang selalu lo maki. Orang yang selalu lo wanti-wanti buat gak ngilang seenak jidat. Orang yang ngilang selama satu bulan, cuma buat ngunjungin lo ke sini," rentetan jawaban dari lelaki di depannya membuat air mata kembali turun membasahi pipi tembam Mela hari ini. Rasa lelah yang ia derita kini terbayar. Ia tak pernah tahu rupa lelaki yang selama ini mengisi hatinya. Hanya dalam foto, namun ia tak dapat mengingatnya. Dan kini, lelaki yang ia tunggu itu ada tepat di depannya. Dirinya menghambur pada tubuh tegap milik lelaki yang selalu membayangi pikirannya belakangan ini.

"Lo jahat! Lo jahat! Lo gak ngehubungin gue selama satu bulan cuma buat ke sini? Lo gila! Mending lo gak pernah ke sini tapi tetap ngehubungin gue!" oceh Mela sambil terus memukul dada lelaki tersebut. "Lo jahat, Ris!"

"Satu bulan?" tanya Aris sambil menerawang. "Kayaknya lebih tepat tiga minggu, deh." lanjutnya sambil menahan tangan Mela yang masih betah memukul dadanya.

"Lo pikir gue bodoh? Lo ngilang hampir lebih dari satu bulan!" isakan tangis kembali terdengar

"Yang bener itu tiga minggu."

Isakan tangis terhenti. Mela mendongak, menatap wajah Aris dengan penasaran.

"Satu minggu gue ada di dekat lo kok. Merhatiin lo dari jauh. Menunggu waktu yang tepat buat nunjukkin diri di depan lo." Aris menarik napasnya, "Ayo bawa gue ke rumah calon mertua," ucapnya sambil tersenyum.

•°•°•°•°• END •°•°•°•°•

29-07-2015

Aku harap kejadian di atas terjadi dalam kehidupanku. Hiks /abaikan

-lelouchy

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top