#01 Ketika Pulang Sekolah

Bel pulang telah berdenting dari sepuluh menit lalu. Tepat saat Rafelia izin ke toilet, dan ketika ia kembali ...

"Oh baguslah, Deva ninggalin gue lagi," umpatku kesal saat mendapati kelas sudah kosong melompong. Hanya tersisa tasku yang ada di atas mejaku. Astaga..., memangnya berapa lama aku ke toilet?

Segera kusambar tasku dan mengenakannya lalu berjalan dengan hentakan yang keras, memendam kekesalan karena lagi-lagi aku ditinggal oleh temanku.

•••

Aku menatap lurus dengan malas jalanan di depanku. Jalan ke terminal masih panjang. Tidak ada angkot atau ojek yang lewat di kawasan ini, dan aku harus jalan satu kilometer sendirian? "Deva sialan! Seneng banget sih tu anak ninggalin gue!" umpatku uring-uringan. Lututku rasanya lemas, apalagi pelajaran terakhir tadi olahraga. Akhirnya aku menghentikan langkahku, menarik napas lalu jatuh berjongkok dengan sengaja, mencoba mengistirahatkan kakiku.

Aku merogoh kantong kecil yang berada di samping kiri tasku, mengambil sebuah mp3 beserta earphonenya, "Ya setidaknya lagu-lagu ini bisa menemani perjalananku." Kupasang earphone ke telinga, memutar playlist yang berisi lagu-lagu kesukaanku. Aku berdiri dan bersiap untuk berjalan kembali.

Sambil berjalan, aku bersenandung mengikuti irama yang mengalun dari earphoneku. Lagu demi lagu berganti, namun rasa kesal dan bosanku tak kunjung hilang. Aku mendengus kasar sambil melepas earphoneku, dan tepat pada saat itu seseorang yang menepuk pundakku membuatku terperanjat. Aku berbalik dan mendapati sosok yang telah mengagetkanku.

'Astaga..., Ervan? Dia nyapa gue?' tanyaku dalam hari.

Ya, orang yang mengagetkanku adalah Ervan. Ervan Pangalima, si kapten basket sekolah yang baik hati, rajin menabung, tidak sombong..., dan cowok yang mencuri perhatianku. Wajah cakepnya yang tiba-tiba ada di hadapanku membuat mulutku membulat, terpesona bukan main, dan juga kaget. Bagaimana tidak? Seseorang yang kau suka diam-diam tiba-tiba berada di hadapanmu? Jantungku berdegup kencang memikirkannya, dan kuharap orang di depanku ini tak menyadarinya.

"Fel? Rafel? Lo gak apa-apa?" tegurannya membuatku kembali ke alam dunia. Mengerjapkan mata lalu memalingkan mukaku yang mungkin sudah memerah karenanya. Sebodoh apa wajahku tadi?! Melongo di depan dia? Oh My God!

"N-nggak, gak apa-apa," jawabku gugup.

"Oh, gue kira kesambet setan. Soalnya lo tiba-tiba diem," ucapnya diselingi kekehan yang terdengar renyah di telingaku. Ah, manisnya. Mau tak mau akupun tersenyum geli menahan tawa. "Oh ya, Fel. Ayo naik, gue anterin," tambahnya membuatku kembali terperanjat. Aku berbalik menatapnya dengan mengernyitkan sebelah alis menuntut jawaban.

"Rumah lo sejalur sama rumah gue kan?" tanyanya dengan sebelah alis yang menaik. Aku mengangguk. "Nah, kebetulan gue baru pulang, sekalian gue anter nih, mau?" tawarnya. Aku terdiam sejenak untuk berpikir. 'Ervan pulang sore? Ngajak gue pulang bareng? Rumahnya searah sama gue? Wah, ini keberuntungan gue!' seruku dalam hati dan akhirnya mengangguk, mengiyakan tawaran Ervan.

Aku segera menaiki motor bebeknya setelah sempat diberikan helm. Ervan melajukan motornya.

Beberapa saat dalam perjalanan, aku kembali berpikir, 'Dari mana Ervan tahu rumah gue? Dan..., bukannya Ervan ngekost gak jauh dari sekolah? Atau mungkin dia mau pulang ke rumahnya yang asli? Tapi tetep aja, tahu dari mana rumah gue?' Aku mendengus keras, membuat cowok yang tengah memboncengku ini menggedikkan bahunya. Ups, dengusan napasku kena tengkuknya, ya? Karena tak mau terus berdebat dalam pikiran, aku menyuarakan pikiranku, "Van, lo mau balik ke rumah?" tanyaku.

"Iya," jawabnya singkat membuatku agak takut untuk kembali bertanya. Namun, rasa penasaran lebih mendominasi rasa takutku.

"Oh..., lo tau rumah gue?" Ia hanya mengangguk, "lo tau dari mana?" tanyaku kembali.

"Gue kan kapten, data anggota ada di gue semua. Dan seinget gue rumah lo searah sama rumah gue. Kalau tepatnya rumah lo gue tau soalnya pernah liat lo di depan rumah," jawabnya membuat wajahku memanas. Wah, dia pernah melihatku?!

"O-oh...." Aku hanya ber-oh-ria menjawab penyataannya. Kutundukkan kepalaku, mencoba mengusir pikiran-pikiran aneh tentang cowok yang kini berdekatan denganku. Jantungku kembali berdegup dengan abnormal.

'Perasaan rumah gue gak jauh-jauh amat, tapi kok lama banget nyampe? Jantung gue gak kuat!' racauku dalam hati.

Menit demi menit tersisa berlalu dengan hening. Aku membisu dan Ervan fokus pada jalanan di hadapannya. Rasanya canggung, semenit rasanya seperti sehari, degup jantungku tak kunjung normal sejak tadi. Aku berharap setelah ini jantungku tidak rusak.

Baru saja aku akan memasang earphone, Ervan menghentikan motornya membuatku yang tengah terpecah fokusnya kehilangan keseimbangan, "Aw-" rintihku dan segera menarik diri saat tahu aku menabrak punggung Ervan, "S-sorry," ucapku gugup dan segera turun dari motornya.

"Ini kan rumah lo?" tanyanya tiba-tiba sambil mengamati halaman depan rumahku yang tertutup pagar besi berwarna biru laut. Aku mengangguk,mengiyakan pertanyaannya, "Syukur deh, takutnya nyasar," jawabnya sambil terkekeh. Astaga, dia terkekeh dua kali di hadapanku!

"Hehehe, enggak kok. Udah bener," jawabku ikut terkekeh. "Makasih ya udah ngasih tumpangan," ucapku sambil tersenyum.

"Iya, sama-sama," jawabnya dengan membalas senyumku. Aku mundur satu langkah mempersilahkan motor Ervan untuk bersiap kembali berangkat. Ervan menstarter motornya, derungan mesin membuatku meringis. Ervan menoleh padaku lalu tersenyum sebelum akhirnya ia menjalankan motornya, putar balik, kembali ke arah sebelumnya kami datang.

Setelah punggung Ervan menghilang di balik tikungan, aku berbalik lalu membuka gerbang sambil tersenyum. Berjalan menuju pintu utama sambil berjingkrak, "Ah, gue bahagia! Lucky day!" pekikku kegirangan. Tepat di depan daun pintu bercat cokelat muda, aku terpaku saat mengingat sesuatu yang seharusnya salah.

"Ervan mau pulang ke rumah kan? Tapi..., dia tadi putar balik arah?"

------------END-------------

27-08-2015, 11:40 PM.

Nah lho...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top